Jakarta, CNN Indonesia --
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI masih gamang menyikapi polemik pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berstatus pengurus partai. KPU gamang karena ada tiga putusan saling bersinggungan dari
Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 pada 23 Juli lalu menyatakan bahwa DPD tidak boleh diisi oleh pengurus parpol. KPU sempat menindaklanjutinya dengan menerbitkan aturan perubahan yang meminta bakal calon anggota DPD melampirkan surat pengunduran diri dari parpolnya masing-masing.
Lebih jauh KPU mencoret nama Oesman Sapta Oedang (OSO) sebagai balon anggota DPD karena tidak melampirkan surat pengunduran diri dari partai. Ketua Umum Hanura itu merespons dengan mengajukan gugatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
OSO memenangkan gugatan di MA dan PTUN. MA dalam putusan 25 Oktober 2018 berpendapat bahwa aturan KPU tersebut tidak bisa diberlakukan terhadap bakal calon anggota DPD pemilu kali ini, karena putusan MK tidak berlaku surut.
Sementara putusan PTUN pada Rabu (14/11) kemarin memerintah KPU mencabut surat ketetapan (SK) calon tetap DPD yang telah diterbitkan. KPU juga diminta mengeluarkan SK baru untuk meloloskan calon anggota DPD dari pengurus parpol yang sebelumnya digugurkan.
Ketua KPU Arief Budiman mengakui pihaknya harus berhati-hati mengambil langkah agar tidak muncul polemik baru yang justru menghambat pelaksanaan Pemilu 2019.
 Ketua Hanura Oesman Sapta Odang (OSO). (CNN Indonesia/Abi Sarwanto) |
Berbagai cara pun ditempuh untuk mengatasi persoalan ini. Salah satunya dengan meminta pendapat dari para pakar hukum tata negara yang dilaksanakan kemarin.
"Perlu dipahami hari ini kami mendengarkan masukan dari para ahli hukum. Jangan tanya KPU mau memutus apa, (karena) belum (diputuskan)," kata Arief usai pertemuan tersebut di kantornya, Rabu (14/11).
Selain itu, kata Arief, pihaknya juga akan meminta pendapat dari MK jika dirasa masukan yang dibutuhkan belum cukup.
Ahli hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari menyarankan KPU lebih mengedepankan putusan MK karena kedudukannya sederajat dengan undang-undang. Jika tidak demikian, Feri berpendapat hal itu sama seperti mengabaikan UUD 1945.
Mematuhi putusan MK bukan berarti mengabaikan putusan MA dan PTUN. Feri menganggap hal itu hanya persoalan putusan mana yang diikuti oleh KPU.
Feri pun menyebut KPU tidak perlu terlalu khawatir muncul polemik setelah mengambil kebijakan yang mengacu pada putusan MK. Sebab, menurut dia, polemik itu tak lagi jadi ranah KPU.
"Nanti kalau putusan MK itu bertentangan dengan putusan PTUN dan MA, itu soal lain. Itu soal MK," kata Feri.
Sementara itu, pakar hukum tata negara dari Universitas Udayana, Bali, Jimmy Z Usfunan menyangsikan putusan MA.
MA sudah mengatakan putusannya tidak bertentangan dengan putusan MK. Namun, menurut Jimmy, putusan MA itu jika ditelaah lebih dalam justru mengesampingkan putusan MK.
"Dalam konteks pertimbangannya kita telusuri itu bertentangan," ujar Jimmy.
Jimmy berkata sedianya hal ini tidak terjadi, hakim agung dalam memutuskan perkara harus memperhatikan aturan yang telah berlaku.
"Ini kan jadi hal krusial. Ketika hakim agung ini disumpah atau janjinya harus memegang teguh UUD, tapi di satu sisi melakukan peristiwa atau membuat keputusan yang bertentangan dengan UUD itu sendiri. Karena bertentangan dengan putusan MK," ujarnya.
KPU tak dibatasi waktu untuk mengatasi polemik itu. Meski demikian KPU sedianya harus menyelesaikan polemik ini sebelum pencetakan kertas surat suara 2 Januari mendatang. Ini untuk mengantisipasi terjadi pencetakan ulang kertas suara.
(fhr/wis)