Jakarta, CNN Indonesia -- Politikus Partai Solidaritas Indonesia (
PSI) Guntur Romli menyebut pelanggaran toleransi masih banyak terjadi di Indonesia. Hal itu bahkan dilakukan oleh aparatur negara, seperti kepolisian dan Pemerintah Daerah (Pemda).
Bentuk pelanggaran ini pun diakui Romli berupa penerbitan Peraturan Daerah (Perda) yang mendiskriminasi golongan atau pemeluk agama tertentu yang menjadi bagian minoritas di suatu daerah.
"Karena ada persoalan kebijakan diskriminatif makanya munculah aksi intoleransi ini. Sedangkan pemerintah kemudian tak berani mengoreksi karena alasan elektoral sekaligus pembuat kebijakan," kata Romli di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (16/11).
Dia pun mencontohkan peraturan yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah di era sebelum Joko Widodo berkuasa. Namun karena alasan tertentu, pemerintah yang melanjutkan pun tak memiliki keberanian untuk mencabut Perda tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Misalnya peraturan bersama dua menteri dan kejaksaan soal rumah ibadah yang terbit di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan saat ini Jokowi tidak berani cabut aturan diskriminatif tersebut," kata Romli.
Tak hanya itu, dia juga menyoroti kebijakan yang mewajibakan warga untuk baca Al Quran dan salat berjamaah di beberapa daerah. Bagi dia, peraturan ini justru menimbulkan perilaku syirik karena mejalankan salat lantaran takut kepada Satpol PP, bukan karena Tuhan.
Sementara para politikus justru lebih takut mengutak-atik aturan yang bersifat diskriminasi ini karena ingin membangun citra positif di masyarakat.
"Gara-gara aturan itu, solat menjadi syirik karena takut kepada Satpol PP kalau tidak dilakukan dan takut jenjang karirnya terhambat apabila tidak mengikuti kebijakan tersebut," katanya.
(tst/osc)