Jakarta, CNN Indonesia --
Reuni Aksi 212 di Monumen Nasional, Jakarta, Minggu (2/12), memberi panggung yang besar kepada calon presiden nomor urut 02
Prabowo Subianto. Namun hal itu dinilai tak berarti membuat elektabilitasnya melonjak. Gelaran itu dianggap hanya memelihara pemilih lamanya.
Pada aksi Minggu (3/12), beberapa kali tokoh-tokoh yang hadir mengajak peserta aksi bernostalgia ke tahun 2016, ketika aksi serupa dianggap berhasil menumbangkan Gubernur DKI Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Selain berhasil menyeret Ahok ke jalur hukum, aksi tersebut menggagalkan sang petahana dalam
Pilkada DKI 2017.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kenangan itu coba diwujudkan kembali dalam Reuni Akbar 212. Dewan Pembina Tunggal PA 212
Rizieq Shihab melontarkan pernyataan politik jarak jauh dalam ajang reuni alumni 212 itu dari kediamannya di Arab Saudi.
"Bahwasanya di Pilpres haram memilih capres dan caleg yang diusung partai yang diusung partai penista agama," kata Rizieq dalam rekaman yang diputar dalam Reuni Akbar 212 pada Minggu (2/12).
Direktur Program lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas mengatakan ada intensi Reuni Akbar 212 untuk mengulang kejayaan. Kali ini targetnya mengantarkan Prabowo ke Pilpres 2019.
Namun, ucapnya, aksi kali ini tidak akan memiliki dampak yang sama dengan Pilkada DKI 2017. Menurutnya tak ada 'tsunami politik' seperti kasus penistaan agama oleh Ahok.
Sirojudin menyebut efek elektoral yang dihasilkan juga tidak besar. Pasalnya peserta aksi kemarin adalah pendukung lama Prabowo.
"Saya kira yang hadir memang pendukung Partai Gerindra, PKS, atau PAN yang memang sudah dukung Prabowo dari awal. Dugaan saya kecil kemungkinan ada pendukung baru dari gerakan itu karena yang sudah
commited sejak 2016," ujar Sirojudin kepada
CNNIndonesia.com, Senin (3/12).
Sirojudin mengatakan aksi ini tidak akan membuat elektabilitas Prabowo melesat. Bahkan, saat ini ada kecenderungan penurunan elektabilitas Prabowo. Reuni Akbar 212, katanya, hanya menjaga elektabilitas Prabowo di level yang sama.
Berdasarkan survei SMRC yang dilakukan pada 7-14 September 2018, elektabilitas Prabowo hanya di angka 29,8 persen di saat Jokowi 60,4 persen. Survei dilakukan terhadap 1.220 responden dengan margin of error kurang lebih 3,05 persen.
Padahal pada survei di bulan Mei 2018, elektabilitas Jokowi hanya 57 persen dan Prabowo ada di level 33,2 persen.
Selain itu, Sirojudin menyebut reuni 212 ini juga tidak menawarkan kebaruan dalam hal isu alias masih sama dengan 2016, seperti penistaan agama dan rezim Jokowi tak pro-Islam.
"Saya kira tidak cukup Reuni 212 itu untuk mengubah konstelasi. Hanya menunjukkan eksistensi saja, kelompok yang hadir juga yang terlibat dalam pemenanhan Anies di 2016," tambah dia.
Dihubungi terpisah, Direktur Indonesia Democracy Watch Abi Rekso mengatakan Prabowo membatasi dirinya dengan ikut dalam Reuni Akbar 212 Minggu (2/12). Prabowo hanya mempermanenkan dukungan dari 212, dan di saat sama menjauhkan diri dari kalangan Islam non-212.
"Memang kemarin massanya tidak bisa dibilang sedikit, tapi harus diakui itu pemilih lama Prabowo," ucap Abi kepada CNNIndonesia.com, Senin (3/12).
"Tapi dengan semakin agresif mengidentifikasi Islam 212, seakan-akan memisahkan [diri] dari Muhammadiyah dan NU. Padahal 212 sendiri di daerah-daerah belum diterima sepenuhnya," lanjut Abi.
Ia membaca gerakan Prabowo di Reuni Akbar 212 hanya upaya memperpanjang nafas di pertarungan Pilpres 2019. Pasalnya, saat ini elektabilitas Prabowo cenderung turun dan tidak dibarengi dengan gagasan program solutif.
Prabowo, kata Abi, hanya melakukan konsolidasi internal pendukungnya. Lebih jauh, efeknya untuk menjaga Gerindra sebagai partai terbesar kedua di Pemilu 2019.
"Pengerahan massa ini jelas menguntungkan Gerindra dibanding rekan koalisi lainnya. Kecenderungan pemilih muslim yang aktif di 212 ke Gerindra, kalau PKS karakternya cenderung punya budaya argumen teologis yang kuat," tutur dia.