Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Yohana Susana Yembise mengatakan akan melakukan pendekatan kepada parlemen dan masyarakat adat perihal
batas usia perkawinan.
"[kami] mendorong keputusan ini dengan institusi-institusi terkait. Kami juga akan melaporkan ini kepada presiden sekaligus akan melakukan pendekatan dengan pihak parlemen," ujarnya setelah melakukan audiensi terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK), di gedung MK, Jakarta, Rabu (26/12).
MK sebelumnya mengabulkan sebagian gugatan uji materi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait batas usia perkawinan anak, 13 Desember.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya dalam UU itu, batas usia perkawinan bagi laki-laki 19 tahun, bagi perempuan 16 tahun. Para penggugat menilai batas usia itu melanggengkan perkawinan dini.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan perbedaan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan menimbulkan diskriminasi. Namun demikian, mahkamah menyerahkan penetapan batas usia itu kepada pembuat UU.
Yohana melanjutkan bahwa pendekatan itu akan dilakukan setelah tahun baru. Selain itu, pihaknya juga sudah menimbang soal opsi tindaklanjut putusan MK berupa Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu), dan revisi UU. Ia meyakini hal ini dapat diselesaikan kurang dari 3 tahun.
 Gedung Mahkamah Konstitusi. ( CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
"Jadi akan kita lihat kembali lagi apakah Perppu atau revisi [UU], tapi ada
feeling sepertinya revisi langsung satu pasal di situ," jelasnya.
Selain pendekatan kepada parlemen, Yohana juga akan melakukan pendekatan kepada masyarakat dan organisasi kemasyaratan.
"Kami sudah melakukan beberapa [pendekatan]. Jadi setelah keputusan MK, kami sudah melakukan dua kali diskusi publik di kementerian dan sudah banyak dari organisasi masyarakat," jelas dia.
Soal tradisi perkawinan dini di sejumlah masyarakat adat, seperti di Kabupaten Asmat, Papua, Yohana mengaku akan mengupayakan sosialisasi.
"Kami rencana mau launching nanti kabupaten Asmat itu menuju kabupaten layak anak sehingga bisa mencegah jangan ada lagi perkawinan anak itu karena tradisi yang menginginkan seperti itu," jelasnya.
Selain itu, ia juga menjelaskan bentuk sosialisasi edukasi soal usia perkawinan tersebut dan pendekatannya terhadap masyarakat sudah dilakukan bersama dengan pemerintah daerah, tokoh masyarakat dan tokoh agama dan lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi (liptek).
" Nanti itu sudah memberikan gambaran kepada kita kira-kira bagaimana masuk ke Papua dengan pendekatan-pendekatan khusus," tandas Yohana.
(ani/arh)