Jakarta, CNN Indonesia --
Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan akan menggunakan format debat dengan metode debat setengah tertutup. Nantinya daftar pertanyaan dalam debat calon presiden-wakil presiden pada
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 akan diberitahukan ke capres-cawapres.
Ada 20 pertanyaan yang nantinya akan 'dibocorkan' ke capres dan cawapres sebelum pelaksanaan debat. Tapi, menurut KPU, sebenarnya yang ditanyakan masing-masing cuma tiga pertanyaan.
KPU menegaskan, capres dan cawapres tidak akan tahu tiga pertanyaan yang akan ditanyakan. Yang pasti, capres dan cawapres telah mempersiapkan semua jawaban saat debat, karena telah memiliki modal dari kisi-kisi yang telah diberikan KPU.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Debat pertama capres-cawapres akan dilaksanakan pada 17 Januari 2019, dengan tema hukum, HAM, korupsi, dan terorisme. Sepekan sebelum debat, capres-cawapres akan mendapat 'bekal' dari KPU tentang pertanyaan seputar tema tersebut. Jumlahnya 20 pertanyaan.
Langkah KPU membocorkan pertanyaan dalam debat menuai polemik. Ada yang pro dan ada juga kontra.
Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Ferdinand Hutahaean menyebut langkah KPU itu justru merendahkan kualitas pemilu.
"Debat, itu semangat dasarnya untuk menguji wawasan para kandidat, penguasaannya terhadap isu yang akan didebatkan kalau pertanyaannya sudah dibocorkan tidak ada gunanya debat," kata Ferdinand kepada
CNNIndonesia.com, Senin (7/1).
Melalui debat, para kandidat akan mencari sebuah jawaban atas permasalahan. Kata Ferdinand, itu menunjukkan wawasan seorang kandidat.
"Tapi sekarang ini kandidat akan menghafal, kandidat kita juru hafal, dan rakyat tidak lagi mengetahui kapasitas seorang calon," katanya.
Ferdinand berpendapat KPU saat ini sedang mempertontonkan sebuah dagelan tentang pemilu.
"Ini namanya pura-pura pemilu, tujuannya untuk melegitimasi kemenangan. Lebih dari lawakan," kata dia.
Ferdinand menambahkan, KPU sejak awal terkesan tidak netral dan mengikuti arahan pasangan calon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin yang berstatus petahana.
"Mulai dari soal visi-misi (yang dibatalkan) maunya 01. Ini (debat) juga bentuk keberpihakan 01. Kalau soal wawasan pasangan 01 akan kalah 02," katanya.
Kubu Prabowo-Sandiaga, berencana mengajukan protes tentang format debat itu. "Kami sudah protes melalui media sosial, tetapi secara resmi kita akan melihatnya. Lagi pula protes ke KPU baik secara resmi atau tidak, tidak akan berguna. KPU sangat tidak netral," katanya.
Pendapat berbeda disampaikan Pengamat Komunikasi Politik Emrus Sihombing. Menurut Emrus, langkah KPU membocorkan pertanyaan debat merupakan terobosan baru dan patut diapresiasi.
"Debat itu bukan seperti tes Pegawai Negeri. Ini sangat bagus karena kalau para kandidat diberikan pertanyaan lebih awal, mereka akan menyajikan fakta, data, bukti dan rasionalitas terhadap suatu masalah," katanya.
Hal itu, kata Emrus, akan membuat masyarakat menjadi cerdas dan dapat menentukan pilihannya pada pilpres mendatang.
Tapi, diakui Emrus, KPU memiliki kelemahan dalam menetapkan format debat setengah tertutup itu. Yakni, mengumumkannya secara mendadak.
"KPU mengumumkannya
last minutes, ini harusnya dilakukan sejak dulu-dulu. harusnya jangan last minutes. Bahkan, itu sebaiknya dimuat dalam bentuk Undang-Undang," katanya.
Ide untuk memberikan pertanyaan kepada kandidat, kata Emrus, adalah ide cemerlang. Sebab, kata dia, debat capres bukan untuk menguji
knowledge seorang kandidat dan menguasai sebuah materi seperti tes masuk pegawai negeri. Dia menjelaskan debat presiden untuk melihat tentang
leadership.
"Kalau soal
knowledge para calon tak perlu dipertanyakan. Prabowo seorang jenderal, kan enggak gampang menjadi jenderal, Sandiaga pengusaha, dan Jokowi bisa dilihat rekam jejaknya dari pengusaha, wali kota, gubernur, dan presiden," katanya.
Jadi dalam sebuah debat, kata dia, yang harus dilihat adalah gagasan dan ide. Misalkan, seorang calon mendapat pertanyaan tentang soal utang luar negeri. Apakah bila Anda terpilih menjadi capres, apakah akan berutang?
Bila seorang capres telah mendapatkan pertanyaan seperti itu jauh sebelumnya, maka si calon akan dapat menjelaskan dengan fakta, dan data.
"Misalnya dijawab akan berutang, maka dia akan menjelaskan utang itu buat apa saja, di pos-pos mana saja, bila dia jawab tidak, apa yang akan dilakukannya. tentunya dengan data dan fakta," ujar Emrus.
Dengan demikian, kata dia, rakyat nantinya akan menjadikan jawaban para calon itu sebagai janji politiknya. Sebab, para calon memberikan sajian data, fakta, bukti yang sangat matang.
Suatu saat bila si calon terpilih, rakyat bisa menagih janji tersebut.
"Kalau saya berpendapat, dari 20 pertanyaan itu kenapa hanya tiga yang ditanyakan sekalian saja semuanya ditanyakan. Karena kalau hanya tiga, yang 17 pertanyaan itu buat apa," katanya.
Pengamat politik Hendri Satrio justru menilai langkah KPU membocorkan pertanyaan kepada pasangan capres justru merugikan KPU. Masyarakat akan menuding KPU terlalu akomodatif terhadap kontestan yang ada.
"Saya enggak mau nuduh ini akomodatif ke kubu mana, biar masyarakat menilai," katanya.
Soal bocoran sebelum debat, kata Hendri, hal itu membuat level debat Pilpres 2019 lebih rendah dari ulangan anak Sekolah Dasar.
"Hari itu ulangan, hari itu dikasih soal. Apa sih yang diharapkan KPU dari itu? Setiap paslon ada jawaban, bawa dokumen banyak banget itu pasti, begitu ada soal, ada jawaban," katanya.
Padahal, menurut dia, yang dibutuhkan adalah jawaban otentik dari capres-cawapres. "Itu sudah jawaban dari timses, kalau calon tidak tahu jawabannya, itukan jadi penilaian masyarakat," ujarnya.
Debat itu, kata Henri, bertujuan untuk menyaksikan 'wajah' asli capres dan cawapres. "Hoaks pencitraan, drama politik itu enggak ada yang asli, pada saat debat, misalnya dia ngarang, dia salah memaksakan jawabannya, kita bisa lihat," ucapnya.
Tapi, kalau membawa contekan, menurut Henri bukanlah sebuah debat. "Kita butuh presiden yang
genuine dan otentik," ucap dia.
KPU, kata dia, telah menghalangi masyrakat untuk mendapatkan pemimpin yang
genuine.
"Menurut saya, semua paslon pasti mempelajari enam panellis, mereka menganalisa itu, justru itu serunya. Tapi kalau pertanyaan dibocorkan nantinya jadi debat antar timses bukan capres cawapres," katanya.
Pengamat politik Ray Rangkuti mengatakan posisi KPU sebagai lembaga penentu kebijakan teknis pelaksanaan pilpres tidak jelas. KPU terlihat seperti malah tidak punya desain sendiri yang bisa diajukan dan ditawarkan kepada kedua pasangan capres.
KPU, kata Ray, juga terlalu mendengarkan keinginan peserta pilpres. "Tentu saja sikap ini bukan sesuatu yang buruk. Tapi jika segala hal harus disesuaikan dengan keinginan dua pasangan capres, malah posisi KPU terlihat lemah, ambigu dan tidak punya sikap dalam menghdapi keduanya," katanya.
Sejatinya, KPU memiliki desain dan pikiran yang bisa ditawarkan kepada kedua pasangan dan memastikan posisi KPU dalam titik tertentu tidak berubah. Tidak memihak salah satu calon.