Selain menyita sorotan publik lewat karya, Ahok juga tetap diseret dalam rangkaian peristiwa politik. Saat pendaftaran Pilpres 2019, Jokowi, yang merupakan pasangan Ahok saat masih menjadi Gubernur DKI Jakarta, memilih Ma'ruf Amin jadi pendampingnya.
Ma'ruf Amin sendiri dikenal sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengeluarkan sikap keagamaan yang menyatakan bahwa Ahok melakukan penodaan agama dalam kasus Al-Maidah ayat 51. Ma'ruf juga jadi saksi memberatkan dalam sidang penodaan agama bagi Ahok. Pada akhirnya, Ahok pun dijebloskan ke dalam penjara.
Namun, Ahok tak marah pada Jokowi atas pemilihan Ma'ruf itu. Lewat mulut Djarot Syaiful Hidayat, pasangannya saat menjabat Gubernur DKI Jakarta, Ahok mengaku mendukung pilihan Jokowi itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ngobrol masalah pencalonan capres, Joko Widodo dan Ma'ruf Amin. Yang kita tahu seperti apa dulu, tetapi apa dia bilang? 'Enggak apa-apa, Mas. Malah bagus. Kita akan bantu'," ucap Djarot menirukan Ahok.
"Nanti kalau saya keluar (penjara), saya mau ketemu sama Pak Ma'ruf Amin'," Djarot melanjutkan ucapan Ahok.
Pengamat Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing mengatakan terpeliharanya eksistensi Ahok meski sedang dikurung terjadi karena karakter unik yang melekat padanya.
 Ribuan pendukung loyal Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menyalakan lilin di acara Malam Solidaritas atas Matinya Keadilan di Tugu Proklamasi, Jakarta, 10 Mei 2017. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Pola komunikasi Ahok yang ceplas-ceplos dan sensasional, lanjut dia, selalu ditunggu-tunggu publik. Karenanya, media massa pun memberi panggung luas untuk Ahok.
"Ahok ini sosok yang unik, di satu sisi ada masyarakat yang memberikan suatu dukungan secara militan yang kita kenal Ahokers. Tapi di sisi lain juga Ahok ini tidak sedikit juga orang yang resisten karena pola komunikasinya," tutur Emrus kepada
CNNIndonesia.com, Senin (14/1).
Emrus juga menyebut Ahok menjadi
media darling karena gebrakan-gebrakan saat duduk jadi Gubernur DKI Jakarta. Diketahui Ahok sering membuat kebijakan yang kontroversial.
Misalnya, penggusuran Kalijodo. Lokasi yang dikenal sebagai pusat prostitusi itu 'disikat' Ahok dan dijadikan ruang publik. Penggusuran sempat mendapat pertentangan dari LSM dan preman setempat.
Atau saat Ahok mengusik DPRD DKI Jakarta dengan mempermasalahkan anggaran siluman serta penghapusan anggaran pokok pikiran. Tak sedikit anggota dewan yang berteriak dan menghujat Ahok. Namun dukungan publik terhadap kebijakan antikorupsi itu juga tak surut.
Emrus melihat eksistensi Ahok meski sedang dalam masa tahanan bakal jadi modal politik yang cukup baik. Namun ia memprediksi Ahok tidak akan langsung terjun ke politik usai bebas.
"Bisa jadi sampai selesai pemilu tidak berada dalam suatu partai tertentu, kekuatan politik tertentu. Terlalu riskan karena Ahok punya pendukung militan, tapi banyak juga yang resistan. Kalau masuk ke kubu tertentu bisa saja menggerus suara di pemilu," kata Emrus.
(dhf/sur)