Jakarta, CNN Indonesia -- Langkah
Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok setelah bebas dari penjara menarik untuk disimak. Ke manakah mantan Gubernur DKI Jakarta itu akan menjejakkan kaki selanjutnya. Salah satu yang jelas disebutkan hanyalah soal Ahok akan menghabiskan waktu bersama keluarga, beristirahat, dan menjadi pembicara di sejumlah negara.
Sejauh ini, tak ada pula kabar bakal ada pertemuan antara Ahok dengan rekan sekaligus mantan atasannya, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) setelah keluar dari penjara. Pun begitu soal wacana Ahok bakal membantu upaya pemenangan Jokowi dalam Pilpres 2019, dan tentang bergabung dengan PDIP.
"Ya terserah Pak Ahok lah, terserah Pak Ahok," kata Jokowi usai menghadiri perayaan ulang tahun Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Rabu (23/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, kemarin, Ketua Umum PPP Romahurmuziy mengaku setelah bebasnya Ahok, koalisi pendukung Jokowi-Ma'ruf mencoba melokalisasi persoalan agar tak menjadi masalah bagi upaya pemenanganan Jokowi-Ma'ruf. Ahok bebas murni dari penjara pada 24 Januari 2019. Ia keluar dari Rutan Mako Brimob setelah menjalani vonis kurungan penjara dua tahun (kurangi total remisi 3,5 bulan).
"Memang kita mencoba melokalisir ini supaya tidak menjadi persoalan yang timbul, yang siap-siap, dan saya mendengar sudah akan digunakan sebagai amunisi oleh pihak sebelah. Karena kita tahu persis peristiwa yang dilekatkan kepada Pak Basuki dan kemudian terbukti di pengadilan adalah bagian dari amunisi yang dimainkan selama ini untuk dilabelkan kepada Pak Jokowi. Hanya kemudian susah untuk dikaitkan karena yang menjadi wakilnya
quote-unquote adalah lawannya Pak Basuki," tutur pria yang juga menjadi bagian dari dewan penasihat TKN Jokowi-Ma'ruf saat tampil di Layar Pemilu Terpercaya
CNNIndonesia TV, Kamis (24/1).
Pria yang karib disapa Romi itu mengakui keberadaan Ma'ruf sebagai cawapres Jokowi menjadi persoalan bagi para pendukung Ahok yang juga bersimpati kepada capres petahana tersebut.
"Nah ini yang kita coba mitigasi, daripada jadi bahan persoalan baru memang kita menyarankan kepada pendukung Basuki yang juga menjadi pendukung partai di dalam koalisi Pak Jokowi agar ini tidak usah diselebrasi terlalu berlebihan. Dan memang sebaiknya faktor Basuki ini dianalisir sedemikian rupa dan dilokalisir," kata Romi.
Romi mengatakan Jokowi sebagai capres nomor urut 01 pun mengaku bisa memahami dan memaklumi gagasan mitigasi tersebut. Pasalnya, kata Romi, label penista agama itu dilekatkan kepada Ahok tersebut potensi digoreng.
"Oleh karena itu kita mencoba menganalisir ini dengan melokalisirnya, 'sudahlah tidak usah ikut-ikut dulu di dalam kontestasi ini agar situasi politik bisa terkendali," kata Romi yang pula mengatakan anggota koalisi Jokowi-Ma'ruf memahami hal tersebut.
 Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pernah bermitra dengan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sebagai pasangan kepala daerah yang memimpin Jakarta usai memenangi Pilgub DKI Jakarta 2012 silam. (AFP PHOTO / BAY ISMOYO) |
Jokowi dan Ahok pernah bermitra sebagai pasangan kepala daerah DKI Jakarta yang terpilih dari Pilgub 2012. Setelah Jokowi terpilih jadi presiden pada 2014, Ahok pun naik jabatan jadi Gubernur DKI hingga kasus penistaan agama menjerat dirinya.
Pengamat Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta Adi Prayitno menilai dilema menanti Jokowi terkait sikapnya setelah kebebasan Ahok. Menurut dia, apapun keputusannya ke depan terkait Ahok bakal mempengaruhi peta kontestasi di Pemilihan Presiden 2019.
"Ini peta politiknya semakin dinamis, politik identitas akan muncul lagi. Harus dihitung," ucap Adi saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Kamis.
Adi berpandangan sejumlah risiko menanti Jokowi jika dia secara terang-terangan menggandeng Ahok untuk masuk ke kubunya.
Pertama, lanjut Adi, Jokowi akan diasosasikan dengan orang yang menampung penista agama. Meski Ahok sudah selesai menjalani masa hukumannya, ucap Adi, stigma penista agama bakal masih lekat di tubuh Ahok.
Apalagi, kata Adi, di tengah paparan isu politik identitas yang menguat. Stigma Jokowi yang tidak pro terhadap Islam akan semakin menguat.
"Menjadikan Ahok ke Jokowi bisa blunder, hal ini dapat mengasosiasikan Jokowi menampung penista agama dan itu cukup ampuh. Jokowi masih disasar isu agama apalagi kalau ada Ahok yang baru bebas," ucap Adi.
Risiko selanjutnya adalah keberadaan Ma'ruf Amin yang menjadi calon wakil presiden Jokowi. Suka tidak suka, Ma'ruf adalah 'seteru' Ahok saat dirinya menjalani sidang kasus penistaan agama. Ma'ruf, saat itu memberikan kesaksian yang memberatkan Ahok.
 Ma'ruf Amin. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan) |
Adi menilai andai Ma'ruf dan Ahok ada dalam satu kubu, apa yang disebutkan 'perseteruan lama' keduanya bakal kembali digoreng kubu lawan untuk menggerus elektabilitas Jokowi.
Dalam kasus penistaan agama, Ahok menjadi pesakitan setelah munculnya gerakan sosial berawal dari fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) soal ucapan pria asal Belitung Timur yang menyinggung surat Al Maidah ayat 51.
Ma'ruf, yang merupakan Ketua MUI, memberatkan Ahok saat menjadi saksi sidang penistaan agama di PN Jakarta Utara pada 2017 silam. PN Jakut kemudian menjatuhkan vonis 2 tahun penjara bagi Ahok pada 9 Mei 2017.
Lebih lanjut, secara psikologi politik, kata Adi, sulit membayangkan dua orang yang saling berseteru dalam kubu yang sama.
"Kalau Ahok deklarasikan dukung Jokowi membayangkan dua orang berseteru dalam satu perahu akan susah, irisan psikologi politiknya bertabrakan," ucap Adi.
Di sisi lain risiko juga menanti Jokowi bila Ahok tidak diajak bergabung untuk mendukungnya di pilpres. Dia mengatakan Jokowi berpotensi kehilangan suara dari simpatisan Ahok. Soal itu, kata dia, pun sudah terlihat ketika Jokowi mengumumkan Ma'ruf sebagai pasangan dalam kontestasi Pilpres 2019.
Saat itu, kata Adi, marak gerakan golongan putih (golput) dari simpatisan Ahok karena Jokowi memilih berduet dengan seteru lama Ahok.
Kendati suara pendukung Ahok tidak terlalu banyak, lanjut Adi, pengaruh mereka patut diperhitungkan. Sebab, kata Adi, mayoritas pendukung Ahok adalah kalangan milenial, pemilih rasional, dan orang-orang yang aktif di sosial media.
"Karena mereka ini kelompok rasional, anak muda dan kelompok moderat maka kuat dong, di media sosial kuat narasinya bagus ini yang dibaca terlepas jumlahnya tak terlalu banyak ya tapi mereka terkonsolidasi gerakan dan opininya," ujar Adi.
Peneliti Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego menuturkan Jokowi harus berhati-hati jika memilih mengabaikan Ahok setelah dia bebas. Sebab, tak hanya di Jakarta, orang-orang di luar Jakarta juga banyak yang bersimpati pada Ahok.
Di tengah kontestasi yang sengit ini, Jokowi membutuhkan dukungan dari siapa saja, termasuk Ahokers yang suaranya dianggap tidak terlalu signifikan.
"Semua kalangan harus dirangkul dan Ahok kan punya Ahokers jadi menurut saya normatifnya begitu kalau dibiarkan kan sayang selama ini Ahok dianggap dekat dengan Jokowi," ujar Indria.
Indria mengatakan apabila ingin menggandeng Ahok ke kubunya, Jokowi tidak perlu menggembar-gemborkannya lewat media massa. Caranya cukup mendekati, dan menerimanya sebagai warga negara yang sudah bebas.
"Kemudian diajak untuk mendukung dia, tidak usah gembar-gembor itu persoalan komunikasi politik. Kalau gembar-gembor pasti akan menimbulkan reaksi," ujar Indria.
Serupa Indria, Adi menilai Jokowi bisa menggandeng Ahok dan para pendukungnya lewat gerilya bawah tanah.
"Tentu jangan sampai diumbar ke publik, karena kalau diumbar ke publik akan memancing suasana politik identitas kembali menguat," ujar Adi menilai situasi akan dihadapi Jokowi serta Ahok yang kini ingin dipanggil BTP tersebut.
Pengamat Politik dari KedaiKOPI Hendri Satrio memilik pandangan lain. Dia menilai lebih baik Ahok tak memilih untuk terjun ke politik dulu baik langsung maupun tidak langsung dengan menyatakan dukungan bagi peserta Pemilu 2019, baik di tingkat legislatif maupun pilpres.
"Ditahan saja dulu hasrat masuk politiknya, sampai siapapun presiden yang terpilih nanti bisa menyelesaikan residu yang tersisa dari 2017 (Pilgub DKI 2017). Karena bagaimanapun juga residu dari 2017 itu cukup memberatkan. Dan, ini sebetulnya pekerjaan besar yang harus diselesaikan Jokowi sejak 2017 lalu namun belum juga selesai," kata Hendri, Jumat (25/1).
Di satu sisi, Hendri malah menilai sebagai salah satu peserta Pilpres 2019, Jokowi sendiri 'bermain-main' di atas residu Pilgub DKI 2017 tersebut.
"Itu terlihat dari keputusannya memilih Ma'ruf sebagai cawapres," kata Hendri.
Dalam bursa cawapres 2019, Ma'ruf yang menjadi pemberat bagi Ahok dalam persidangan kasus penistaan agama, diumumkan sebagai pendamping Jokowi dalam Pilpres 2019 pada detik-detik akhir.
Sebelumnya, Jokowi disebut akan menggandeng mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD sebagai bakal cawapresnya.
Hendri mengatakan secara karakteristik, loyalis Jokowi dan Ahok memiliki irisan yang tipis. Oleh karena itu, kata dia, bila pun nantinya baik Jokowi ataupun Ma'ruf akan bertemu Ahok sebaiknya itu tak dibungkus dalam bingkai politik. "Jadikan pertemuan biasa saja," ujarnya.
Mengenai rencana Ahok yang disebutkan akan berlibur dan sibuk menjadi pembicara di luar negeri, Hendri menilai itu sebagai bagian dari upaya mendinginkan residu dari Pilgub DKI 2017--terutama yang paling kencang soal kasus penistaan agama.
"Yang penting tahan saja dulu hasrat politiknya. Baru nanti bisa dipikirkan kembali misalnya ingin masuk parpol, yang menonjol misalnya ke PDIP atau juga PSI. Atau, bisa pula reuni dengan Prabowo. Terserah Ahok, tapi tahan dulu," kata Hendri menyikapi langkah yang bisa diambil setelah Ahok bebas.