Jakarta, CNN Indonesia -- Kata '
asing' kini menjadi salah satu istilah yang kerap jadi bahan narasi para tokoh politik jelang
Pemilu 2019. Kata ini kerap disandingkan dengan kata 'antek', 'pro', 'tenaga kerja' dan belakangan dengan kata 'konsultan'. Kata 'asing' seakan bermakna negatif sehingga jadi amunisi serangan yang ditudingkan ke lawan politik.
Calon presiden petahana
Joko Widodo kerap jadi subjek yang dikaitkan kata 'asing' ini. Jokowi kerap dituding antek asing atau pro asing.
Salah satunya oleh Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Ferdinand Hutahaean. Dia menyerang Jokowi dengan menyebut bahwa mantan Wali Kota Solo itu mempermudah tenaga kerja asing masuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terkait lapangan kerja, kita akan evaluasi kontak kerja sama yang dilakukan Jokowi dengan perusahaan asing yang mengakibatkan serbuan tenaga kerja asing. Harus jadi lapangan kerja untuk anak bangsa," ucap Ferdinand beberapa waktu lalu.
Selain soal tenaga kerja asing dan Jokowi kerap dituding karena dinilai mempermudah investasi asing masuk.
Jokowi pun belakangan jengah. Ia juga melontarkan tuduhan serupa. Kali ini dengan tudingan bahwa ada yang menggunakan konsultan asing dan propaganda Rusia.
"Konsultannya konsultan asing. Terus yang antek asing siapa?" kata Jokowi di Karanganyar, Jawa Tengah, Minggu (3/2).
Jokowi tak menyebut siapa pihak yang memakai konsultan politik asing. Mantan Wali Kota Solo itu hanya menyebut konsultan asing tersebut menggunakan teori propaganda Rusia.
 Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Ucapan Jokowi ini dipertegas oleh Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf. Wakil Ketua TKN yang juga Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menyebut Prabowo didukung oleh konsultan asing sejak kontestasi politik 2009 silam.
"Sejak 2009 yang lalu, kami tahu Pak Prabowo itu didukung oleh konsultan asing. Kami jadi saksi mata dan hal tersebut adalah persoalan di mana kami membangun martabat dalam memenangkan itu," katanya.
Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati mengamini istilah 'asing' dalam pemilu berkonotasi negatif.
Alhasil istilah ini dapat digunakan untuk mendiskreditkan satu sama lain sehingga diharapkan bisa menggerus elektabilitas lawan.
"Labelisasi 'asing' itu langsung mengena soal visi misi, progam kerja yang diusung, dan pola kepemimpinan figur tersebut. Semuanya kemudian mengerucut pada capres-cawapres ini apakah seorang nasionalis atau agen luar?" ujar Wasisto saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Kamis (7/2).
Wasisto mengatakan definisi 'asing' yang sudah kadung negatif ini sudah terpatri sejak lama. Di era kolonial, istilah 'asing' akrab untuk pendatang eropa yang diberikan keistimewaan ketimbang pribumi.
 Capres nomor urut 01 Joko Widodo. (CNN Indonesia/Christie Stefanie) |
Berlanjut di era revolusi dan demokrasi terpimpin, istilah 'asing' kerap disematkan untuk menyebut pihak luar atau kaki tangan dalam negeri yang bekerjasama untuk melawan republik.
Sementara di era reformasi, lanjut Wasisto, istilah 'asing' merujuk pada orang luar yang bukan orang Indonesia asli.
"Dari lintasan sejarah tersebut, istilah 'asing' sebenarnya istilah politik yang bermakna agen maupun kaki tangan pihak luar untuk menguasai," ujar Wasisto.
Sementara itu, Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun menilai istilah 'asing' sebenarnya tak sepenuhnya negatif. Jika mau objektif, kata 'asing' justru bisa bermakna positif.
Ia mencontohkan, dalam konsep kemampuan mengelola kedaulatan negara, 'asing' justru bisa dianggap sebagai mitra, bukan musuh. Namun jika konsepnya adalah kedaulatan di bidang ekonomi politik, 'asing' bisa dimaknai negatif.
Apalagi, kata Ubed, di era komunitas digital saat ini di mana harus dikedepankan kolaborasi antarnegara.
"Jadi sebetulnya diksi asing harus dibongkar harus diperdebatkan dalam arena publik. Apa yang dimaksud asing itu. Apa misalnya terkait dominasi investasi lebih menguntungkan kepentingan asing dari pada nasional, sehingga kepentingan nasional dikesampingkan," kata Ubed.
Tanpa ada definisi dan konsep yang jelas pada istilah ini dari dua kubu yang bersaing di Pilpres, publik menurut Ubed malah bisa berpersepsi negatif.
Imbasnya, publik jengah, apatis dan bisa jadi meningkatkan angka golongan putih atau golput.
"Diksi ini (asing) tidak perlu digunakan kecuali mampu didefinisikan secara detil. Masalahnya keduanya kurang jelas mendefinisikan. Karena tafsir liar, yang rugi ya mereka sendiri," kata Ubed.
Ia mengusulkan dua kubu lebih memilih diksi yang lebih subtantif ketimbang istilah yang belum jelas maknanya. "Misalnya membahas ekonomi lebih detail sehingga orang bisa paham," katanya.
(sah/sur)