Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) sudah mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada tersangka dugaan tindak pidana korupsi (tipikor)
PLTU Riau-1, Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)
Sofyan Basir.
Namun, Jubir KPK Febri Diansyah, mengatakan penyidik belum menjadwalkan panggilan pemeriksaan bagi Sofyan.
"Jadi kalau di penyidikan ini tentu nanti ya baru akan diagendakan pemeriksaan nanti kalau sudah ada waktunya akan kami sampaikan," kata Febri saat dikonfirmasi, Rabu (24/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Febri pun meminta pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini, baik itu berstatus tersangka maupun saksi agar bersikap kooperatif saat dipanggil lembaga antirasuah untuk diperiksa. Hal itu bertujuan agar proses hukum dapat berjalan cepat dan efisien.
"Jadi kalau dipanggil bisa datang, kecuali kalau ada alasan yang sah menurut hukum. Bukan alasan yang mengada-ada," kata Febri.
Sementara itu, dikutip dari
Antara, hari ini KPK menjadwalkan pemeriksaan saksi untuk Sofyan Basir yakni Saksi tersebut adalah Tahta Maharaya yan merupakan pegawai pemerintah non-PNS pada DPR RI yang juga keponakan dari anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar nonaktif Eni Maulani Saragih.
Dalam kasus ini KPK sudah menetapkan mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, mantan Sekjen Golkar Idrus Marham, dan Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited sebagai tersangka, dan telah diadili Pengadilan Tipikor.
Dalam kasus ini, Sofyan diduga menerima janji dengan mendapatkan bagian yang sama besar dengan Idrus dan Eni Saragih.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan pihaknya menduga Sofyan telah menerima uang dari Johanes Kotjo. Sofyan diduga turut membantu Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan menerima hadiah atau janji dari Johanes Kotjo.
"SFB diduga menerima janji dengan mendapatkan bagian yang sama besar dari jatah Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham," kata Saut di Kantornya, Selasa (23/4).
 Johannes Kotjo saat memberikan kesaksian dalam salah satu masa sidang dugaan tipikor PLTU Riau-1 di Pengadilan Tipikor Jakarta. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Kronologi KasusDalam kronologi kasus tersebut, Johannes Kotjo mencari bantuan agar diberikan jalan untuk berkoordinasi dangan PT PLN untuk mendapatkan proyek "Independent Power Producer" (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1).
Diduga, telah terjadi beberapa kali pertemuan yang dihadiri sebagian atau seluruh pihak, yaitu Sofyan Basir, Eni Maulani Saragih, dan Johannes Kotjo membahas proyek PLTU.
Pada 2016, meskipun belum terbit Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK), dalam pertemuan tersebut diduga Sofyan telah menunjuk Johannes Kotjo untuk mengerjakan proyek di Riau (PLTU Riau-1) karena untuk PLTU di Jawa sudah penuh dan sudah ada kandidat.
Kemudian, PLTU Riau-1 dengan kapasitas 2x300 MW masuk dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Johannes Kotjo meminta anak buahnya untuk siap-siap karena sudah dipastikan Riau-1 milik PT Samantaka.
Setelah itu, diduga Sofyan Basir menyuruh salah satu Direktur PT PLN agar "Power Purchase Agreement" (PPA) antara PLN dengan Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Co (CHEC) segera direalisasikan.
Sampai dengan Juni 2018, diduga terjadi sejumlah pertemuan yang dihadiri sebagian atau seluruh pihak, yaitu Sofyan, Eni Maulani Saragih, dan Johannes Kotjo serta pihak lain di sejumlah tempat seperti hotel, restoran, kantor PLN, dan rumah Sofyan.
Tersangka Sofyan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat (2) KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
(sah/kid)