Jakarta, CNN Indonesia -- Yusro (56) pusing. Utangnya di bank belum terbayar. Dia terpaksa menunggak bayar cicilan karena uang yang ia harapkan dari pembayaran ganti rugi lahan yang dijanjikan pengembang proyek
Jalan Tol Semarang-Batang tidak kunjung cair.
Rumahnya yang terletak di Desa Rejosari, Kecamatan Ngampel, Kabupaten
Kendal, Jawa Tengah terkena penggusuran proyek tol Semarang-Batang.
Sebenarnya Yusro sudah mendapatkan uang gusuran tol pada tahap pertama, saat pembangunan Tol Semarang-Batang selesai tahun 2018. Ratusan juta rupiah dia terima. Tapi, uang ganti rugi itu, katanya, telah dia habiskan untuk membeli rumah dan lahan lagi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Duit yang dulu sudah habis. Saya juga gunakan untuk umrah," kata Yusro kepada
CNNIndonesia.com di Desa Rejosari, pertengahan Maret 2019.
Pada Desember 2018, Presiden Joko Widodo meresmikan Jalan Tol TransJawa, salah satunya ruas tol Batang-Semarang. Belum lama dioperasikan, pengelola tol ingin menambah perluasan pembangunan. Tanah Yusro pun kembali masuk dalam daftar lahan yang akan terkena gusuran tahap II.
Begitu mendengar lahannya akan kembali digusur, Yusro mengambil uang di bank. Alasan dia berani mengambil uang di bank karena berkaca dari pencairan dana ganti rugi tahap I yang menurutnya lancar, dan tak bermasalah.
"Karena ada pelebaran lagi, untuk perbaikan rumah saya ngutang. Utang saya di bank Rp20 juta," kata Yusro.
Namun, janji ganti rugi di tahap II yang dia harapkan tak kunjung cair. Sejumlah upaya, mulai dari mendatangi Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) PT Jasamarga Semarang Batang (JSB) hingga beraudiensi dengan DPRD Jawa Tengah dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sudah dia lakukan bersama warga lain yang terkena gusuran tahap II.
PT Jasamarga-Semarang Batang merupakan pelaksana proyek pengembangan jalan tol Semarang-Batang. PT JSB berbentuk konsorsium, yang dimiliki PT Jasamarga (Persero) Tbk dengan PT Waskita Toll Road. Jasamarga menguasai 60 persen kepemilikan dan Waskita 40 persen.
Yusro hanyalah satu dari puluhan Kepala Keluarga di Desa Rejosari yang nasib pembayaran ganti ruginya terkatung-katung.
Aminudin (36), warga Desa Rejosari lainnya yang juga menjadi korban gusuran tahap II juga menuntut kejelasan pembayaran dari PT JSB.
"Untuk tahap kedua itu, saya pribadi, juga dari warga yang terdampak itu ingin secepatnya dibayarkan karena itu sudah ada nominal harga. Terus satu hal lagi, itu belum dibayar tapi sudah ada pagar pembatasnya," katanya.
Dia bahkan mengancam, bila tidak ada kejelasan pembayaran ganti rugi dari pemerintah, dia akan berunjuk rasa dan membongkar pagar yang membatasi Desa Rejosari dengan jalan tol.
"Makanya kami, bersama warga dan ke pemerintah desa mendorong bagaimana caranya supaya tanah untuk pelebaran jalan dibayarkan dan tolong segera dibangun akses jalan yang telah dijanjikan oleh pihak-pihak terkait," katanya.
Menurut Aminudin, dia telah berulang kali menagih janji ke pengembang tol. Tak hanya ke operator tol, Jasa Marga-Semarang Batang. Bahkan, katanya, dia sempat mendatangi kantor Waskita Karya di Jakarta untuk menagih kejelasan.
Amin mengatakan janji pembayaran sudah disosialisasikan sejak Desember 2018.
"Ngomongnya dari pihak terkait katanya enggak lama dari itu, akan ada pembayaran. Ternyata kita sudah sering kumpulan, mengundang instansi terkait, sampai beberapa kali selalu dijanjikan," katanya.
Kepala Desa Rejosari Qomaruddin Abbas menjelaskan, protes warga muncul setelah tol dioperasikan pada Desember 2018. Saat pembebasan tanah tahap pertama, kata Qomaruddin, secara keseluruhan berjalan lancar dan proses pembayaran ganti rugi tak mengalami kendala.
"Memang, ada satu warga yang hingga kini masih bersengketa, dan belum mau menerima pembayaran. Tapi secara keseluruhan lancar," katanya.
Di pembebasan lahan tahap II ini, ada puluhan warga Rejosari yang kembali didata oleh PT JSB.
"Ada perluasan, karena akan ditinggikan tujuh meter, terus rumah-rumah di bawahnya berbahaya, makanya PT Waskita ingin memperluas lahan. Total yang kena 54 warga, totalnya Rp5 miliar," katanya.
Pernyataan Qomaruddin diamini oleh Yusro. Kata dia, tim penilai pembebasan tahap dua telah melakukan penilaian tentang ganti rugi.
"Janjinya dari bapak-bapak yang kompeten mau segera dibayar tunai. Tapi kenyataannya sampai sekarang pun enggak ada kata-kata kapan ujungnya. Enggak ada kepastian. Jadi warga merasa dirugikan," katanya.
[Gambas:Video CNN]
Direktur Utama PT JSB Arie Irianto membenarkan belum tuntasnya pembayaran ganti rugi untuk tahap II karena terkendala payung hukum.
"Ganti rugi itu prosesnya di 2019. Kami sebagai Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) belum ada landasan MoU," kata Arie kepada CNNIndonesia.com.
MoU dana talangan rencananya akan langsung dibayarkan oleh Badan Layanan Umum (BLU) Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN).
"Masih menunggu keputusan dari LMAN apakah masih lanjut pakai talangan BUJT atau mau langsung ke LMAN," katanya.
Selain Desa Rejosari, ada sembilan desa lainnya yang terkena pembebasan lahan tahap II. Data PT Jasa Marga Semarang-Batang, total ganti rugi lahan yang belum dibayarkan untuk proyek tersebut masih mencapai Rp50 miliar. Nilai ganti rugi tersebut untuk pembebasan 462 bidang tanah di 10 desa di Kabupaten Kendal. Selain Rejosari, diantaranya Sambongsari, Galih dan Cepokomulyo.
Arie mengakui proses ganti rugi tahap II ini berbeda dengan proses tahap pertama. Pada tahap tahap I, katanya, perusahaan melakukan talangan untuk mempercepat proses pengadaan tanah sehingga bisa percepatan konstruksi.
"Seharusnya pada tahap I itu memang dibayarkan oleh LMAN, cuma karena sifatnya percepatan, pengadaan tanah untuk percepatan konstruksi sehingga BUJT diminta untuk menalangi dulu," katanya.
Setelah ditalangi, kata dia, dana dikembalikan oleh LMAN, sebab dana dari LMAN biasanya membutuhkan proses. Namun, karena 2018 butuh percepatan supaya konstruksi bisa selesai.
"Sekarang sudah tidak percepatan lagi, jadi dulu kenapa talangan BUJT, karena sifatnya percepatan. Sekarang sudah beroperasi," katanya.
Namun, saat ini PT JSB tak bisa lagi mengeluarkan dana talangan.
"Kalau dasar hukumnya ada, juga masih tergantung bank, itu uangnya pinjam ke bank juga. Jadi sama saja gitu. Kalau LMAN punya anggaran mereka sendiri kalau kami pinjam ke bank komersial," katanya.
Arie tidak dapat memberikan kepastian pencairan ganti rugi tahap II kepada wargaRejosari dan Sembilan desa lainnya.
"Infonya masih menunggu izin Kemenkeu. Setelah beroperasi kami kembalikan ke LMAN, seharusnya ke LMAN. Jadi fungsi talangan untuk percepatan," katanya.
Lagipula, katanya, dana talangan yang dikeluarkan oleh PT JSB untuk pembebasan lahan tahap pertama, juga belum dikembalikan.
"Selama masa konstruksi untuk percepatan ditalangi badan usaha, walaupun sekarang (duit talangan) saya belum kembali 100 persen. Yang sudah saya talangi Rp5,5 triliun itu kita baru dikembalikan Rp4 triliun," katanya.
Masih ada Rp 1,6 triliun dari bulan Oktober itu yang belum terbayar sampai sekarang.
"Berapa bunganya itu per hari?" katanya.
Arie enggan menjawab kepastian tentang pembayaran ganti rugi. Dia malah melimpahkan ke pada pejabat pembuat komitmen (PPK) selaku pihak yang berwenang.
"Saya kan BUJT sebetulnya di undang-undangnya kita menerima lahan bebas 100 persen, kemudian, tugas kami membangun kami tidak ada urusan dengan tanah. Tapi begitu tanahnya Clear and Clean kami baru masuk," kata dia.
Dia juga tak mau membayarkan ganti rugi karena khawatir memiliki dampak hukum.
"Kalau saya bayar sekarang nanti jadi risiko pribadi saya karena saya bayar dengan sesuatu yang enggak ada dasarnya, Pasti uang saya enggak diakui pemerintah enggak dibalikin gimana. Tiba-tiba pemerintah enggak mengakui kan duit yang saya talangi. Risikonya pribadi," katanya.
Tapi, Arie mengatakan proses pembayaran ganti rugi akan terus berlanjut, hanya saja menunggu proses. Bukan ingkar janji.
"Ini bukan mandek, tapi lagi berproses, pemerintah tahu proseduralnya, izinnya macam-macam, memang kalau di pemerintahan tidak sederhana," kata dia.