Jakarta, CNN Indonesia -- Ajun Komisaris Ibrahim Sadjab masih terbaring di kamar nomor 402 Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur, Senin (27/5). Dia adalah salah satu anggota Brimob yang terluka saat melaksanakan tugas menghalau massa perusuh pada
22 Mei lalu.
Hari ini Ibrahim dijenguk oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo. Gips yang dibalut perban putih masih melekat di tangan kanan Ibrahim.
Luka di tangan kanannya didapat saat mengamankan Asrama Brimob Petamburan, Slipi, Jakarta Barat, yang jadi sasaran amuk massa saat kerusuhan pecah di sejumlah titik di Jakarta, 22 Mei lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ibrahim menceritakan kronologi kejadian kepada Dedi yang datang didampingi Kepala Rumah Sakit Polri Brigjen Musyafak.
Pada 22 Mei Ibrahim tak masuk dalam anggota yang mengamankan Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dia pun bersiap di Polda Metro Jaya jika sewaktu-waktu dibutuhkan pengamanan tambahan.
"Sekitar jam 02.00 WIB, karena
standby di kantor, di-
bangunin sama piket 'Izin Komandan Markas diserang'," kata Ibrahim.
Kondisi keamanan di Jakarta pada 22 Mei memang tidak menentu. Polisi sebelumnya telah menetapkan status siaga 1 untuk keamanan ibu kota. Ketegangan antara massa dan polisi di lokasi unjuk rasa di depan Gedung Bawaslu, kerap terjadi.
Setelah mendengar Asrama Brimob diserang Ibrahim mengaku langsung bersiap secepat mungkin.
Setiba di lokasi Ibrahim sempat mengira yang terjadi sebenarnya adalah tawuran antarwarga. Namun dia heran mengapa justru Markas Brimob yang diserang.
 Sejumlah kendaraan di Asrama Brimob, Petamburan terbakar saat kerusuhan 22 Mei. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan) |
"Kami lari sampai di depan itu, depan pinggir jalan saya kira tawuran tapi arahnya
nyerang ke asrama. Kami bertahan di situ. Kami sisir, dorong massa sebelah Tanah Abang ke kiri, sebelah Slipi diserang juga," tuturnya.
Ibrahim menduga massa saat itu berjumlah ratusan. Jumlahnya sangat jomplang dengan petugas keamanan yang ditaksir Ibrahim hanya 50-60 orang. Kalah jumlah, Ibrahim mengaku kewalahan untuk mengurai massa.
Kewalahan menghalau massa membuat Ibrahim melepaskan tembakan peringatan. Tapi massa tidak bubar. Saat itu juga Ibrahim mengatakan diperintah untuk tidak menggunakan senjata api dan peluru tajam.
"Tidak ada peluru tajam," tuturnya.
Sekitar pukul 04.00 WIB, Ibrahim mengatakan pihaknya mengontak HT Garda 00 untuk meminta bantuan pengurai massa dari arah Slipi.
Berkat bantuan itu Ibrahim dan kawan-kawan berhasil mendorong massa di Tanah Abang mundur sampai Pelni. Namun upaya memukul mundur massa tak berjalan lancar.
 Petugas berusaha mengurai massa yang menyerang Asrama Brimob di Petamburan, Slipi. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/pras) |
Di tengah upaya memukul mundur massa, Ibrahim mengaku terkendala dengan amunisi gas air mata yang menipis. Jumlahnya tinggal dua peluru. Sementara hari telah beranjak petang.
Dalam situasi sulit itu datang Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Gatot Eddy sekitar pukul 05.30 WIB.
Kata Ibrahim, di lokasi Gatot memerintahkan pasukan untuk tidak ada lagi menembak. Ibrahim bersama pasukannya lantas bertahan dengan tembakan gas air mata.
"Salah satu pasukan bilang 'Izin komandan amunisi sisa dua, bertahan?' Sudah Bertahan saja gimana caranya, bertahan," ucapnya.
Keadaan saat itu cukup genting. Ibrahim berkata massa yang sempat dipecah berhasil berkumpul lagi.
"Sudah ada provokator di depan bilang maju, serang, maju, serang," ujarnya.
Dalam situasi itu Ibrahim mengaku terpaksa melepaskan tembakan peluru karet ke arah massa.
"Terpaksa karena sudah ganas." Namun dia kembali menyatakan tidak ada peluru tajam digunakan. "Demi Allah tidak ada sama sekali peluru tajam," ucapnya.
Peluru karet yang dilepaskan tak berhasil mengurai massa. Justru massa menyerang aparat.
Serangan massa itu membuat petugas mundur. Saat mundur. Ibrahim mengaku sempat terjatuh, jadi korban lemparan batu massa.
Insiden itu terjadi saat dirinya menarik salah satu anggota yang masih berdiri di barisan depan. "Artinya saya paling belakang, ketika saya lari, HT jatuh. Kan, ada mic kecil kesandung dengan HT kelilit lah, saya jatuh, batu-batu sudah ini
prak kena juga," ujarnya.
Ibrahim mengaku saat insiden itu dirinya sudah setengah pingsan. Beruntung, ada pasukannya yang menarik dirinya. "Kalau tidak ditarik mungkin saya sudah dikeroyok," ujarnya.
 Puing-puing sisa-sisa kerusuhan 22 Mei. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan) |
Sebelum terjatuh, Ibrahim mengaku sempat melihat massa yang melakukan penyerangan memiliki tato di badannya. Dia juga melihat karung berisikan batu telah disediakan.
"Beberapa pendemo kami tangkap bertato, waktu kami tangkap kan sempat dia kabur bajunya robek bertato. Ada beberapa karung isinya batu," jelasnya.
Masih PerawatanIbrahim bukan satu-satunya polisi yang terluka saat pengamanan di Jakarta, 21 hingga 23 Mei. Kepala Rumah Sakit Polri Brigjen Musyafak menjelaskan peristiwa 21-23 Mei mengakibatkan 29 orang menjalani perawatan di RS Polri.
Dari jumlah tersebut 10 diantaranya menjalani rawat jalan dan 19 menjalani perawatan intensif. Namun saat ini dari 19 polisi yang menjalani perawatan intensif hanya sisa delapan.
"Dari delapan ini, tiga yang agak serius perlu tindakan operasi, lima hanya observasi yang perlu ditindaklanjuti," ucapnya.
Tiga yang menjalani perawatan serius adalah Ibrahim, Wahyu dan Wakapolsek Jatinegara. Operasi baru dijalani oleh Wakapolsek Jatinegara. Dia mengalami luka parah di rahang usai mengamankan massa di Jalan Otista.
"Jadi memang kebanyakan anggota luka karena jatuh, karena kena batu, dan juga karena lemparan batu dalam jarak pendek, seperti Wakapolsek Jatinegara (kena batu) jarak pendek sehingga beberapa giginya tanggal, perlu operasi," ujarnya.
[Gambas:Video CNN]