Jakarta, CNN Indonesia -- Calon presiden
Prabowo Subianto kembali mengajukan
Permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Pada 2014, ia juga mengajukan gugatan yang sama ke Mahkamah Konstitusi (
MK).
Secara garis besar, yang dipersoalkan Prabowo pada 2014 dan 2019 serupa tapi tak sama.
Ketua Umum Partai Gerindra itu merasa ada kecurangan yang bersifat Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) dalam Pilpres 2014 dan Pilpres 2019. Namun, ada beberapa perbedaan dalam pokok permohonan yang diajukan Prabowo ke MK pada tahun ini bila dibandingkan dengan 2014.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perbedaan pertama adalah soal waktu kejadian dugaan kecurangan TSM. Pada 2014, Prabowo menekankan kecurangan TSM terjadi saat pemungutan hingga perhitungan suara dan setelahnya. Sementara pada sengketa Pilpres 2019, Prabowo menyebut kecurangan TSM terjadi sebelum pemungutan suara berlangsung.
Pelanggaran TSM dalam Pilpres 2014 menurut Prabowo terbagi menjadi enam aspek, di mana semuanya terjadi saat pemungutan hingga perhitungan suara dan setelahnya.
Perbedaan kedua adalah soal bentuk-bentuk dugaan pelanggaran pemilu. Pada 2014, Prabowo melaporkan enam bentuk pelanggaran. Pertama, mobilisasi pemilih melalui Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) di hampir seluruh wilayah Indonesia. Menurut Prabowo kala itu, begitu banyak pengguna hak pilih yang tidak sesuai dengan jumlah dalam DPTb dan DPKTb.
Kedua, pengondisian hasil perhitungan yang dilakukan KPU (termohon) selaku penyelenggara Pilpres 2014. Menurut Prabowo, banyak temuan kasus anggota penyelenggara pemilu tingkat bawah yang mengubah hasil perhitungan suara di level TPS, kecamatan, kabupaten/kota, hingga provinsi.
 Calon presiden pada Pilpres 2014 Prabowo Subianto (kiri) dan pasangannya, calon wakil presiden Hatta Rajasa (kanan), saat mengikuti sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, 6 Agustus 2014. (AFP/ROMEO GACAD) |
Ketiga, politik uang. Prabowo mengaku menemukan praktik politik uang untuk memengaruhi masyarakat di sejumlah daerah.
Keempat, KPU tidak melaksanakan rekomendasi Panwaslu dan Bawaslu. Misalnya dengan tidak melakukan pemungutan suara ulang seperti yang dikehendaki Panwaslu dan Bawaslu.
Kelima, pencoblosan dilakukan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) secara massal.
Keenam, pencoblosan dilakukan dua kali oleh orang yang sama di TPS. Tim Prabowo mengaku menemukan kasus tersebut di sejumlah daerah.
Kecurangan TSM Pilpres 2019 Temuan Prabowo ada di halaman selanjutnya...
Pada permohonan sengketa
Pilpres 2019, Prabowo menyebut lima jenis pelanggaran. Pertama, penyalahgunaan anggaran belanja negara dan program kerja pemerintah.
Contohnya adalah ketika Jokowi menaikkan gaji perangkat desa, PNS, serta anggota TNI dan Polri menjelang hari pencoblosan; pencairan dana bantuan sosial untuk warga miskin menjelang hari pemungutan suara.
Kedua, penyalahgunaan birokrasi dan BUMN. Contoh temuan yang disertakan yakni ketika Mendagri Tjahjo Kumolo menginstruksikan PNS agar aktif mengampanyekan capaian kinerja Presiden Jokowi. Menurut Prabowo, itu menciderai prinsip netralitas PNS.
Ketiga, ketidaknetralan aparatur negara: polisi dan intelijen. Contoh temuan yang dipaparkan yaitu soal eks Kapolsek Pasirwangi, Garut, AKP Sulman Azis yang mengaku diperintahkan menggalang dukungan masyarakat untuk Jokowi-Ma'ruf. Perintah itu disebutkan datang dari Kapolres Garut.
Contoh lain yang dibeberkan adalah ketika Kepala BIN Budi Gunawan hadir dalam suatu acara yang digelar PDI Perjuangan.
Keempat, pembatasan media dan pers. Prabowo menganggap ada tekanan yang diberikan kepada perusahaan media. Contohnya, ketika stasiun televisi
TV One berhenti menayangkan program
Indonesia Lawyers Club (ILC).
Capres petahana Joko Widodo (Jokowi) dan cawapres Ma'ruf Amin menjadi pihak terkait dalam sidang sengketa Pilpres 2019. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Kelima, diskriminasi perlakuan dan penyalahgunakan hukum. Temuan yang dipaparkan yaitu berupa sikap aparat yang hanya memproses dugaan pelanggaran yang dilakukan pendukung Prabowo-Sandi. Sementara aparat cenderung pasif dalam menyikapi dugaan pelanggaran yang dilakukan pendukung Jokowi-Ma'ruf.
Selain itu, pihak Prabowo-Sandiaga menambahkan dugaan pelanggaran pemilu dalam perbaikan gugatan. Diantaranya, seruan Jokowi untuk memakai baju putih dan jabatan Ma'ruf Amin di bank BUMN.
Tuntutan ke MKSecara umum, petitum atau tuntutan yang termaktub dalam berkas permohonan sengketa Pilpres 2014 dan 2019 tergolong sama. Prabowo mendambakan MK menetapkan dirinya sebagai pemenang Pilpres karena lawan melakukan kecurangan bersifat TSM bersama KPU.
Dalam petitum di berkas sengketa Pilpres 2014 dan 2019, Prabowo menganggap hasil perhitungan suara yang dilakukan KPU tidak sah karena terjadi kecurangan yang bersifat TSM.
Dalam petitum di berkas sengketa Pilpres 2014 dan 2019, Prabowo juga menyertakan hasil penghitungan suara yang dilakukan tim internalnya. Angka yang dipaparkan berbeda dengan hasil penghitungan suara yang telah diumumkan KPU.
Namun, atas seluruh gugatannya, pada 2014 silam sembilan hakim konstitusi secara bulat menolak permohonan Prabowo yang berpasangan dengan Hatta Rajasa sebagai peserta Pilpres kala itu.
 Foto: CNN Indonesia/Fajrian |
Dalam konklusinya, MK, yang saat itu dipimpin Hamdan Zoelva, menyatakan pokok permohonan Prabowo tidak beralasan menurut hukum.
"Mengadili, menyatakan dalam pokok permohonan: menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," demikian putusan MK yang dibacakan Hamdan dalam sidang pada 2014 silam.
Kini rakyat Indonesia pun menanti kiprah para hakim MK dalam mengadili perkara PHPU Pilpres 2019. Di satu sisi, dari sembilan hakim konstitusi, hanya ada empat yang ikut mengadili sengketa Pilpres 2014.
Empat hakim konstitusi itu adalah Anwar Usman, yang kini menjadi Ketua MK, Arief Hidayat, Aswanto, dan Wahiduddin Adams.
[Gambas:Video CNN]