Jakarta, CNN Indonesia --
Proyek reklamasi di Teluk Utara Jakarta tak kunjung selesai. Pekan lalu, Pemprov DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur
Anies Baswedan diketahui mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di pulau hasil reklamasi. Kabar yang mengejutkan, sebab tahun lalu Anies telah menghentikan pembangunan proyek reklamasi, dan meninjau langsung segala penyegelan di sana.
Dari data terkini yang dikumpulkan setidaknya ada 932 bangunan di Pulau D hasil reklamasi yang telah diberikan IMB. Izin itu terdiri atas 409 rumah tinggal, 212 rumah kantor yang telah rampung dan 311 bangunan rumah kantor dan rumah tinggal yang belum jadi.
Reklamasi Jakarta adalah warisan dari kepemimpinan Presiden kedua RI Soeharto. Landasan hukum proyek reklamasi atau penimbunan tanah di Teluk Utara Jakarta diundangkan pada tahun 1995. Saat itu, keluar Keppres No 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang ditetapkan Presiden Soeharto pada 13 Juli 1995. Namun, akibat krisis moneter yang menerpa Indonesia pada 1997-1998, proyek reklamasi itu tertunda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu, pada 1999 silam terbit Perda DKI tentang Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang memasukkan reklamasi dalam Keppres 52/1995 ke dalamnya. Dalam Perda nomor 6 Tahun 1999 itu diatur luas reklamasi di Teluk Jakarta itu seluas 2.700 hektare akan berfungsi sebagai pusat niaga bertaraf internasional dan permukiman untuk masyarakat menengah-atas.
Pada 2003, Menteri Lingkungan Hidup kala itu, Nabiel Makariem menandatangani surat keputusan yang menyatakan reklamasi di teluk tak layak dilaksanakan. Ia mendasari pada kajian Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang menyatakan rencana itu akan menimbulkan persoalan lingkungan.
Keputusan Menteri LH itu lalu digugat ke PTUN oleh enam perusahaan kontraktor. Sempat kalah di tingkat PTUN dan banding, KLH kemudian menang di tingkat kasasi. Namun, gugatan itu berujung pada 2011, saat Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang memuluskan proyek reklamasi berjalan kembali.
Selama proses hukum di MA itu berjalan, pada 2007 Gubernur DKI kala itu Sutiyoso menerbitkan izin prinsip untuk Pulau 2A (kini dikenal sebagai Pulau D). Izin prinsip serupa diterbitkan kembali gubernur selanjutnya, Fauzi Bowo (Foke). Selain itu pada 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan Perpres nomor 54 tahun 2008 yang menyinggung reklamasi Jakarta berdasarkan Keppres 52/1995 di dalamnya.
Setelah munculnya putusan PK yang mengalahkan MA, pada 2012 terbit Perda DKI nomor 1 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. Foke juga mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 2238 Tahun 2013 yang keluar pada Desember 2014 dengan pemberian izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha dari PT Agung Podomoro Land Tbk.
 Salah satu proyek bangunan di Pulau D, pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta, 18 Juni 2019. (CNN Indonesia/Setyo Aji Harjanto) |
Setelah Foke digantikan Joko Widodo (Jokowi) di kursi Gubernur DKI Jakarta, tak ada pemanjangan izin prinsip reklamasi. Pada 2013 silam, Jokowi menyatakan dirinya tidak akan memperpanjang izin reklamasi karena masih ingin mengkaji mendalam atas megaproyek itu agar berpihak pada rakyat, bukan pengembang.
Namun, saat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) masih menjadi Plt Gubernur DKI karena Jokowi cuti untuk kampanye Pilpres 2014, ia mengeluarkan perpanjangan izin prinsip yang sudah kedaluwarsa sejak dikeluarkan Foke pada 2012 silam. Kemudian, setelah ditetapkan sebagai Gubernur DKI Jakarta, Ahok melanjutkan pembangunan di Teluk Jakarta pada 2015.
Di tengah jalan, pada tahun yang sama, reklamasi mengalami polemik di perizinan. Masyarakat menggugat izin reklamasi karena menganggap reklamasi merugikan bagi nelayan dan ekosistem laut sekitar Teluk Jakarta.
Bukan hanya itu, mantan Anggota DPRD DKI Jakarta Muhammad Sanusi tersandung kasus pidana korupsi. Ia diputuskan bersalah karena menjadi RZWP3K menjadi objek suap. Salah satu poin yang paling kontroversial ialah pengurangan kontribusi tambahan dari 15 persen menjadi 5 persen.
Kontribusi tambahan adalah biaya yang harus dibayarkan pengembang kepada DKI selain untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial serta kontribusi. Karena kasus ini, pemerintah pusat memutuskan untuk membekukan izin reklamasi dengan sejumlah perbaikan.
Penangkapan Sanusi itu pun mengangkat Ahok karena beredarnya foto draf penjelasan Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis (RTRKS) yang dicoret sang gubernur, dan dibubuhkan pendapat dirinya menggunakan pena.
'
Gila kalau seperti ini bisa pidana korupsi!' Demikian isi coretan Ahok yang disertai parafnya dan keterangan waktu tepat di bawah usulan Badan Legislasi (Baleg) DPRD DKI Jakarta soal pasal tambahan kewajiban pengembang pulau reklamasi.
Ahok sendiri menganggap investasi para pengembang di proyek reklamasi bisa menyumbang Rp158 triliun untuk Jakarta dalam kurun 10 tahun. Ini sebabnya Ahok terus bersikeras mematok kontribusi 15 persen dari tiap pengembang di kawasan reklamasi.
"Yang penting 15 persen itu enggak boleh hilang karena berarti adanya tambahan buat DKI," ujar Ahok pada April 2016.
Ahok lantas menerbitkan Pergub 206 tahun 2016 sebagai panduan rancang kota pulau C, pulau D, dan pulau E hasil reklamasi di utara Jakarta. Pergub itu ditetapkan Ahok pada 25 Oktober 2016.
Pergub itu merujuk pada Peraturan Pemerintah nomor 36 tahun 2005. Peraturan tersebut memperbolehkan pemerintah daerah untuk mengelola sementara daerahnya yang belum memiliki RTRW dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
RDTR dan RTRW umumnya terangkum dalam sebuah Peraturan Daerah (Perda). Sementara di awal pemerintahannya, Anies sempat menarik dua rencana peraturan daerah (raperda) mengenai reklamasi, yakni Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Pulau Pulau Kecil (RZWP3K) dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis (RTRKS) Pantai Utara Jakarta.
Dan, pergub itulah yang kemudian dijadikan Anies untuk menerbitkan IMB meski sudah menghentikan reklamasi.
[Gambas:Video CNN]Halaman berikutnya alasan Anies menggunakan pergub yang diterbitkan Ahok sebagai landasan hukum.
Sampai pada akhirnya kekuasaan gubernur berpindah ke Anies Baswedan yang membawa visi politiknya untuk menghentikan reklamasi seperti yang dikampanyekan dalam Pilgub DKI 2017.
Anies pun menghentikan reklamasi pada Juni 2018. Bukan hanya menghentikan, Anies pun hadir saat Satpol PP DKI Jakarta melakukan penyegelan sejumlah bangunan di pulau hasil reklamasi. Meski menghentikan, Anies tetap membiarkan pulau yang sempat direklamasi yakni C, D dan G serta bangunan yang sudah terbangun. Anies juga mengubah nama pulau reklamasi menjadi Pulau Kita, Pulau Maju dan Pulau Bersama.
Nyatanya drama reklamasi teluk Jakarta ternyata belum berakhir di era Anies. Selang setahun kemudian, Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) menerbitkan ratusan IMB di pulau reklamasi.
Sementara di awal pemerintahannya, Anies sempat menarik dua rencana peraturan daerah (raperda) mengenai reklamasi, yakni Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Pulau Pulau Kecil (RZWP3K) dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis (RTRKS) Pantai Utara Jakarta.
Belakangan Sekretaris Daerah DKI Saefullah mengatakan hanya ada satu raperda yang akan kembali diajukan untuk dibahas di dewan, yakni RZWP3K.
"Yang RTRKS, kita enggak ajukan kembali. Sekarang sedang kita bahas draf yang RZWP3K untuk akhirnya diajukan kembali," ujar Saefullah.
Bukan hanya itu, ia pun mengatakan Pemprov DKI tidak lagi menggunakan istilah pulau reklamasi untuk lahan di Teluk Utara Jakarta, melainkan sudah disepakati menjadi bagian dari daratan.
"Jadi konsepnya pantai bagian dari daratan seperti termasuk yang di perluasan pantai Ancol," kata Saefullah.
Anies sendiri hingga kini enggan memberikan jawaban secara lisan kepada wartawan sejak berita IMB reklamasi ini ramai. Ia memilih memberikan jawaban secara tertulis saja yang dikirim kepada wartawan.
Seperti kemarin siang, saat ditanya wartawan, Anies hanya menjawab, "Tertulis saja ya."
Dari jawaban resmi Anies yang diterima lewat Kepala Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) DKI Jakarta Benny Agus Chandra pada 13 Juni 2019, sang gubernur menyatakan IMB tersebut bukan soal reklamasi sudah dihentikan atau tidak, tapi soal izin pemanfaatan lahan hasil reklamasi dengan cara mendirikan bangunan.
"Dikeluarkan atau tidak IMB, kegiatan reklamasi telah dihentikan. Jadi, IMB dan reklamasi adalah dua hal yang berbeda," ujar Anies dalam transkrip tanya jawab yang disampaikan Benny kala itu.
Ia mengatakan berdasarkan PP Nomor 36 tahun 2005 ketika kawasan belum memiliki RTRW dan RDTR, maka pemda dapat memberikan persetujuan pendirian bangunan untuk jangka waktu sementara. Dan, ia pun menggunakan Pergub 206/2016 yang diterbitkan Ahok.
"Pulau C dan D sudah ada di RTRW DKI Jakarta namun belum ada di RDTR DKI Jakarta. Oleh karenanya, gubernur saat itu mengeluarkan Pergub 206 tahun 2016 dengan mendasarkan pada PP tersebut. Jika tidak ada pergub tersebut maka tidak bisa ada kegiatan pembangunan di lahan hasil reklamasi. Suka atau tidak suka atas isi Pergub 206 Tahun 2016, itu adalah fakta hukum yang berlaku dan mengikat," tuturnya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memantau Satpol PP DKI yang menyegel bangunan-bangunan di pulau D hasil reklamasi, 7 Juni 2019.(CNN Indonesia/Patricia Diah Ayu Saraswati) |
Namun, jawaban Anies itu mengundang kritik dari peneliti kota, aktivis lingkungan, dan DPRD DKI Jakarta.
Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta, Tubagus Sholeh Ahmadi mengatakan setelah menghentikan reklamasi, Anies memiliki pilihan untuk tidak menerbitkan IMB.
"Saya kira [penerbitan IMB] ini adalah sebuah kesalahan besar dan kita mengecam tindakan gubenur saat ini (Anies), [dan IMB] yang seharusnya tidak diterbitkan. Dia (Anies) punya pilihan kebijakan untuk tidak menerbitkan IMB. Kenapa dipaksakan?" kata dia, di kantor Eksekutif Walhi, Jakarta Selatan, Senin (17/6).
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies (RCUS) Elisa Sutanudjaja mengatakan jika Anies memang memiliki visi yang berbeda dari Gubernur sebelumnya terkait masalah reklamasi, seharusnya secara tegas harus mencabut dan mengubah pergub tersebut.
"Saya selalu bilang pergub itu harus dibatalin atau diubah. Pokoknya kalau misalnya mau serius bikin Pulau C dan Pulau D untuk kepentingan publik, itu pergubnya dulu harus diubah," kata Elisa saat dihubungi, Jumat (14/6).
Wakil Ketua DPRD DKI M Taufik mengatakan, sebaiknya penerbitan IMB terhadap bangunan yang sudah berdiri dilakukan setelah Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi perda.
Senada, Ketua Fraksi PDIP DKI Jakarta Gembong Warsono mengatakan tak seharusnya Anies mengeluarkan IMB tersebut karena tata ruang belum ada perdanya.
"Tata ruang kita belum direvisi, Pak Anies sudah menerbitkan IMB. Ini kan jelas menyalahi aturan yang ada. Prosedur hukumnya tidak dilalui dengan baik oleh Pak Anies. Artinya alas hukumnya Pak Anies menerbitkan IMB itu tidak ada," ujar Gembong.
Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Iman Satria mengatakan Pemprov DKI perlu menjelaskan lebih jauh terkait peraturan yang dipakai untuk bangunan-bangunan di pulau hasil rekalamsi. Iman mengatakan jika isi peraturan tersebut tidak sesuai dengan pemanfaatan fungsi dan lahan di reklamasi, bangunan berpotensi untuk dibongkar.
"Nah itu yang nanti akan kita pertanyakan kalau tidak sesuai dengan fungsinya mau tidak mau suka tidak suka akan dibongkar," kata Iman kepada
CNNIndonesia.com, Senin (17/6).
Sementara itu, dalam jawaban tertulis yang diberikan Rabu (19/6), Anies berdalih dirinya terkesan tidak suka dengan isi Pergub 206/2016, namun memilih tetap melaksanakannya karena itu adalah keputusan institusi gubernur.
"Saya harus menjaga kredibilitas institusi ini. Suka atau tidak atas peraturan itu, kenyataannya ia telah diundangkan dan bersifat mengikat. Jangan sampai pemerintah sendiri yang membuat ketidakpastian hukum di hadapan masyarakat karena membatalkan landasan hukum yang telah digunakan, dalam kasus ini bangunan yang senyatanya sudah terlanjur terbentuk lalu diubah statusnya dari legal menjadi ilegal. Seperti yang saya katakan tadi, prinsip perubahan dalam Hukum tata Ruang adalah perubahan tersebut tidak berlaku surut," ujar Anies dalam jawaban tertulis soal polemik IMB Reklamasi.
Ahok Merasa DikambinghitamkanSementara itu, mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok merasa disudutkan oleh Anies Baswedan terkait penerbitan IMB di Pulau Reklamasi.
Anies menerbitkan IMB untuk 932 bangunan di Pulau D berdasarkan Peraturan Gubernur nomor 206 tahun 2016 tentang Rencana Tata Kota Pulau C, D dan E Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Pergub itu diterbitkan di era Ahok.
"Satu pihak mau kambing hitamkan aku soal pergub yang mau dia pakai dengan memanfaatkan celah hukum istilahnya," kata Ahok, Rabu (19/6).
Anies dalam keterangan tertulisnya mengatakan tak bisa mengubah Pergub 206 tahun 2016 tersebut karena pergub tersebut tak berlaku surut. Anies juga berusaha menjaga institusi Gubernur agar tetap mendapatkan kepercayaan dari masyarakat dan menjaga iklim usaha.Tapi, menurut Ahok, berbeda dengan pergub lainnya, Anies dengan mudahnya mengubah sejumlah pergub yang diterbitkan di era kepemimpinan Ahok. Contohnya, kata Ahok ialah Pergub tentang Pergub RPTRA hingga Pergub tentang Pedagang Kaki Lima.
"Soal susah cabut pergub kan kontradiktif sama keputusan dia, dia ubah pergub soal motor lewat Thamrin, kaki lima dan RPTRA saja dia bisa ubah kok pergub-nya," kata Ahok.
Ahok menyayangkan pernyataan Anies yang mengungkit pergub yang dikeluarkan di zamannya. Kata Ahok, seharusnya Anies bisa lebih memegang pernyataannya terkait penghentian reklamasi ketimbang memberikan IMB.
"Kalau aku yang keluarkan IMB pasti sudah diperiksa dan dianggap merugikan negara. Dia lawan keppres dan lawan perda dan lawan Reklamasi," kata Ahok.