Sampai pada akhirnya kekuasaan gubernur berpindah ke Anies Baswedan yang membawa visi politiknya untuk menghentikan reklamasi seperti yang dikampanyekan dalam Pilgub DKI 2017.
Anies pun menghentikan reklamasi pada Juni 2018. Bukan hanya menghentikan, Anies pun hadir saat Satpol PP DKI Jakarta melakukan penyegelan sejumlah bangunan di pulau hasil reklamasi. Meski menghentikan, Anies tetap membiarkan pulau yang sempat direklamasi yakni C, D dan G serta bangunan yang sudah terbangun. Anies juga mengubah nama pulau reklamasi menjadi Pulau Kita, Pulau Maju dan Pulau Bersama.
Nyatanya drama reklamasi teluk Jakarta ternyata belum berakhir di era Anies. Selang setahun kemudian, Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) menerbitkan ratusan IMB di pulau reklamasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara di awal pemerintahannya, Anies sempat menarik dua rencana peraturan daerah (raperda) mengenai reklamasi, yakni Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Pulau Pulau Kecil (RZWP3K) dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis (RTRKS) Pantai Utara Jakarta.
Belakangan Sekretaris Daerah DKI Saefullah mengatakan hanya ada satu raperda yang akan kembali diajukan untuk dibahas di dewan, yakni RZWP3K.
"Yang RTRKS, kita enggak ajukan kembali. Sekarang sedang kita bahas draf yang RZWP3K untuk akhirnya diajukan kembali," ujar Saefullah.
Bukan hanya itu, ia pun mengatakan Pemprov DKI tidak lagi menggunakan istilah pulau reklamasi untuk lahan di Teluk Utara Jakarta, melainkan sudah disepakati menjadi bagian dari daratan.
"Jadi konsepnya pantai bagian dari daratan seperti termasuk yang di perluasan pantai Ancol," kata Saefullah.
Anies sendiri hingga kini enggan memberikan jawaban secara lisan kepada wartawan sejak berita IMB reklamasi ini ramai. Ia memilih memberikan jawaban secara tertulis saja yang dikirim kepada wartawan.
Seperti kemarin siang, saat ditanya wartawan, Anies hanya menjawab, "Tertulis saja ya."
Dari jawaban resmi Anies yang diterima lewat Kepala Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) DKI Jakarta Benny Agus Chandra pada 13 Juni 2019, sang gubernur menyatakan IMB tersebut bukan soal reklamasi sudah dihentikan atau tidak, tapi soal izin pemanfaatan lahan hasil reklamasi dengan cara mendirikan bangunan.
"Dikeluarkan atau tidak IMB, kegiatan reklamasi telah dihentikan. Jadi, IMB dan reklamasi adalah dua hal yang berbeda," ujar Anies dalam transkrip tanya jawab yang disampaikan Benny kala itu.
Ia mengatakan berdasarkan PP Nomor 36 tahun 2005 ketika kawasan belum memiliki RTRW dan RDTR, maka pemda dapat memberikan persetujuan pendirian bangunan untuk jangka waktu sementara. Dan, ia pun menggunakan Pergub 206/2016 yang diterbitkan Ahok.
"Pulau C dan D sudah ada di RTRW DKI Jakarta namun belum ada di RDTR DKI Jakarta. Oleh karenanya, gubernur saat itu mengeluarkan Pergub 206 tahun 2016 dengan mendasarkan pada PP tersebut. Jika tidak ada pergub tersebut maka tidak bisa ada kegiatan pembangunan di lahan hasil reklamasi. Suka atau tidak suka atas isi Pergub 206 Tahun 2016, itu adalah fakta hukum yang berlaku dan mengikat," tuturnya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memantau Satpol PP DKI yang menyegel bangunan-bangunan di pulau D hasil reklamasi, 7 Juni 2019.(CNN Indonesia/Patricia Diah Ayu Saraswati) |
Namun, jawaban Anies itu mengundang kritik dari peneliti kota, aktivis lingkungan, dan DPRD DKI Jakarta.
Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta, Tubagus Sholeh Ahmadi mengatakan setelah menghentikan reklamasi, Anies memiliki pilihan untuk tidak menerbitkan IMB.
"Saya kira [penerbitan IMB] ini adalah sebuah kesalahan besar dan kita mengecam tindakan gubenur saat ini (Anies), [dan IMB] yang seharusnya tidak diterbitkan. Dia (Anies) punya pilihan kebijakan untuk tidak menerbitkan IMB. Kenapa dipaksakan?" kata dia, di kantor Eksekutif Walhi, Jakarta Selatan, Senin (17/6).
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies (RCUS) Elisa Sutanudjaja mengatakan jika Anies memang memiliki visi yang berbeda dari Gubernur sebelumnya terkait masalah reklamasi, seharusnya secara tegas harus mencabut dan mengubah pergub tersebut.
"Saya selalu bilang pergub itu harus dibatalin atau diubah. Pokoknya kalau misalnya mau serius bikin Pulau C dan Pulau D untuk kepentingan publik, itu pergubnya dulu harus diubah," kata Elisa saat dihubungi, Jumat (14/6).
Wakil Ketua DPRD DKI M Taufik mengatakan, sebaiknya penerbitan IMB terhadap bangunan yang sudah berdiri dilakukan setelah Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi perda.
Senada, Ketua Fraksi PDIP DKI Jakarta Gembong Warsono mengatakan tak seharusnya Anies mengeluarkan IMB tersebut karena tata ruang belum ada perdanya.
"Tata ruang kita belum direvisi, Pak Anies sudah menerbitkan IMB. Ini kan jelas menyalahi aturan yang ada. Prosedur hukumnya tidak dilalui dengan baik oleh Pak Anies. Artinya alas hukumnya Pak Anies menerbitkan IMB itu tidak ada," ujar Gembong.
Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Iman Satria mengatakan Pemprov DKI perlu menjelaskan lebih jauh terkait peraturan yang dipakai untuk bangunan-bangunan di pulau hasil rekalamsi. Iman mengatakan jika isi peraturan tersebut tidak sesuai dengan pemanfaatan fungsi dan lahan di reklamasi, bangunan berpotensi untuk dibongkar.
"Nah itu yang nanti akan kita pertanyakan kalau tidak sesuai dengan fungsinya mau tidak mau suka tidak suka akan dibongkar," kata Iman kepada
CNNIndonesia.com, Senin (17/6).
Sementara itu, dalam jawaban tertulis yang diberikan Rabu (19/6), Anies berdalih dirinya terkesan tidak suka dengan isi Pergub 206/2016, namun memilih tetap melaksanakannya karena itu adalah keputusan institusi gubernur.
"Saya harus menjaga kredibilitas institusi ini. Suka atau tidak atas peraturan itu, kenyataannya ia telah diundangkan dan bersifat mengikat. Jangan sampai pemerintah sendiri yang membuat ketidakpastian hukum di hadapan masyarakat karena membatalkan landasan hukum yang telah digunakan, dalam kasus ini bangunan yang senyatanya sudah terlanjur terbentuk lalu diubah statusnya dari legal menjadi ilegal. Seperti yang saya katakan tadi, prinsip perubahan dalam Hukum tata Ruang adalah perubahan tersebut tidak berlaku surut," ujar Anies dalam jawaban tertulis soal polemik IMB Reklamasi.
Ahok Merasa DikambinghitamkanSementara itu, mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok merasa disudutkan oleh Anies Baswedan terkait penerbitan IMB di Pulau Reklamasi.
Anies menerbitkan IMB untuk 932 bangunan di Pulau D berdasarkan Peraturan Gubernur nomor 206 tahun 2016 tentang Rencana Tata Kota Pulau C, D dan E Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Pergub itu diterbitkan di era Ahok.
"Satu pihak mau kambing hitamkan aku soal pergub yang mau dia pakai dengan memanfaatkan celah hukum istilahnya," kata Ahok, Rabu (19/6).
Anies dalam keterangan tertulisnya mengatakan tak bisa mengubah Pergub 206 tahun 2016 tersebut karena pergub tersebut tak berlaku surut. Anies juga berusaha menjaga institusi Gubernur agar tetap mendapatkan kepercayaan dari masyarakat dan menjaga iklim usaha.Tapi, menurut Ahok, berbeda dengan pergub lainnya, Anies dengan mudahnya mengubah sejumlah pergub yang diterbitkan di era kepemimpinan Ahok. Contohnya, kata Ahok ialah Pergub tentang Pergub RPTRA hingga Pergub tentang Pedagang Kaki Lima.
"Soal susah cabut pergub kan kontradiktif sama keputusan dia, dia ubah pergub soal motor lewat Thamrin, kaki lima dan RPTRA saja dia bisa ubah kok pergub-nya," kata Ahok.
Ahok menyayangkan pernyataan Anies yang mengungkit pergub yang dikeluarkan di zamannya. Kata Ahok, seharusnya Anies bisa lebih memegang pernyataannya terkait penghentian reklamasi ketimbang memberikan IMB.
"Kalau aku yang keluarkan IMB pasti sudah diperiksa dan dianggap merugikan negara. Dia lawan keppres dan lawan perda dan lawan Reklamasi," kata Ahok.
(ctr/kid)