Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) mengimbau
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta agar merevisi standar Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) dengan standar yang sudah ditetapkan oleh World Health Organization (WHO).
KPPB menilai sebenarnya hasil pengukuran kualitas udara oleh Dinas Lingkungan Hidup DKI relatif sama dengan hasil pengukuran oleh Amerika Serikat. Namun, yang berbeda adalah penggunaan tolok ukur antara Pemprov DKI dan Amerika Serikat. Sejauh ini masyarakat sipil menggunakan standard ISPU Amerika.
"US AQI dengan konsentrasi 0-35 mikrogram/m3 adalah udara dengan kategori baik,36-55 kategori sedang, 56-65 kategori tidak sehat, 66-100 kategori sangat tidak sehat dan 100 ke atas kategori berbahaya. Sementara pemerintah menggunakan standar nasional di mana konsentrasi 0-65 mikrogram/m3 kategori baik, 66-100 sedang, 101-150 tidak sehat, 151-200 sangat tidak sehat, 200 ke atas berbahaya," kata Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin dalam diskusi yang bertemakan 'Malapetaka Pencemaran Udara' di Kantor KPBB, Jumat (28/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Safrudin menjelaskan pencemaran udara yang dipantau oleh Pemprov DKI dan Amerika Serikat semenjak 5 tahun terakhir menunjukkan rata-rata yang relatif tinggi dengan parameter dominan PM 2,5, PM 10 dan SO2 (Sulfur dioksida). Dikutip dari situs bmkg.go.id, Partikulat (PM 2,5) adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron (mikrometer).
Pada 2018 Safrudin mengatakan ISPU PM 2,5 menunjukkan kualitas udara Jakarta dalam kategori baik namun hanya berlangsung selama 36 hari dalam kurun waktu setahun. "Rata-rata tahunan konsentrasi PM 2,5 42,42 mikrogram/m3 dengan sebaran terendah 0,1 dan tertinggi 143,2 mikrogram/m3," ujar Safrudin.
Selain itu juga, Safrudin mengatakan sumber pencemaran udara terbesar berasal dari sepeda motor sebesar 47 persen kemudian dilanjut dengan limbah udara berasal dari industri sebesar 22 persen.
"Industri (termasuk pembangkit listrik) 22 persen, r
oad dust 11 persen, Domestik 11 persen, pembakaran sampah 5 persen dan proses konstruksi 4 persen," tuturnya.
Safrudin juga menjelaskan akibat pencemaran udara ini adalah timbulnya berbagai penyakit antara lain yaitu Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), iritasi mata atau kulit, alergi, pneumonia, asma, jantung koroner, hingga kanker.
Kemudian, Safrudin mengatakan pencemaran udara adalah pemicu kanker yang tidak dapat dihindari oleh mereka yang berada di kawasan dengan udara tercemar. Ia juga menyebut salah satu cara yang dapat menghentikan sumber pencemaran.
"Salah satu cara hanyalah menghentikan sumber pencemaran yang bersumber dari kendaraan, industri, pembangkit listrik, pembakaran domestik, pembakaran sampah, proses konstruksi, debu jalanan dan lain-lain," ujarnya.
Persoalan kualitas udara di Jakarta kembali disoroti setelah
situs pengukuran udara airvisual.com menempatkan Jakarta sebagai salah satu kota dengan kualitas udara paling buruk atau berstatus Very Unhealthy pada 25 Juni.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan DKI Andono Warih menjelaskan bahwa standar yang digunakan oleh
Airvisual adalah standar Amerika Serikat.
"Sedangkan, standar yang digunakan di Indonesia dalam Kepmen LH Nomor KEP-45/MENLH/10/1997 Tentang Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) mengatur hanya standar partikel debu PM 10," kata Andono dalam keterangan tertulisnya, Kamis (27/6).
Di Amerika Serikat, lanjut Andono, parameter yang dominan digunakan adalah PM 2,5 atau partikel debu yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron. Sehingga, kata dia, angka pencemaran udara bisa lebih tinggi.
(sas/ain)