Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota Komisi III DPR RI Taufiqulhadi menyatakan pasal
penodaan agama dalam Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (
RKUHP) semata-mata dibentuk untuk melindungi seluruh agama dan pemeluknya di Indonesia.
Hal itu merespons kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil yang menganggap pasal penodaan agama dalam RKUHP multitafsir dan bisa diterapkan secara diskriminatif.
"Jadi kalau orang beranggapan itu, melampaui estimasi, jadi
beyond estimasi. Menurut saya itu adalah tidak tepat. Karena apa? Kami tidak pernah berpikir seperti itu. Kami menghendaki agar semua agama di Indonesia terlindungi," kata Taufiqulhadi kepada wartawan di Kompleks MPR/DPR, Jakarta, Rabu (3/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Politikus Partai Nasdem itu menjelaskan bahwa anggota DPR dan pemerintah yang terlibat dalam perumusan RKUHP memiliki latar belakang yang berbeda-beda, baik dari sisi etnisitas maupun religiusitasnya.
Melihat hal itu, ia menyatakan semua pihak memiliki semangat yang sama untuk melindungi pemeluk agama dan kelompok minoritas dalam RKUHP.
"Jadi kami tak mungkin di dalam kesempatan tersebut itu adalah ingin membuat agama tersebut atau kelompok minoritas tertentu tertindas karena norma yang kami bikin, itu tidak ada sama sekali," ujarnya.
Lebih lanjut, Taufiqulhadi justru mengkritik balik kelompok masyarakat sipil yang kerap menggunakan nalar berpikir orang asing ketimbang menjunjung nilai-nilai Indonesia.
"Jadi gagasan mereka tak ada riset persoalan perspektif. Jadi apa yang dianggap baik di negara asing itu baik di negara kita," kata dia.
Di sisi lain, Taufiqulhadi menjelaskan bahwa RKUHP merupakan sebuah keputusan nasional agar Indonesia memiliki dasar undang-undang pidana yang baru.
Sidang perdana peninjauan kembali kasus penodaan agama yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Ia mengatakan selama ini Indonesia masih menggunakan hukum pidana yang merupakan warisan Belanda masa kolonial ratusan tahun lalu.
"Karenanya, jadi nanti bukan kitab hukum pidana, tetapi mungkin kita enggak sebut kitab lagi, tapi hukum pidana. Nah, UHP nanti ya. Itulah pertaruhan kita, itulah dignitas kita, harga diri kita. Hampir 100 tahun kita merdeka tapi masih kita gunakan sebuah UU pidana legasi dari penjajah," kata dia.
Taufiqulhadi menyatakan DPR sendiri tak akan keberatan bila koalisi masyarakat sipil ingin melakukan uji materi RKUHP ke Mahkamah Konstitusi bila sudah disahkan oleh DPR.
Ia mengatakan berbagai kekurangan dalam RKUHP tersebut dapat diperbaiki seiring berjalannya waktu agar mendapatkan dasar hukum pidana yang ideal bagi Indonesia kedepannya.
"Pasal mana yang tak sesuai kita JR (Judicial Review) dan sebagainya, kita perbaiki. Itu adalah sesuatu hal yang biasa, karena KUHP yang sekarang kita gunakan sudah beberapa kali di JR. Beberapa kali dilakukan perubahan, tak ada masalah," kata dia.
Di samping istilah penodaan agama dalam RKUHP ini, koalisi masyarakat juga mengkritik beberapa delik hukum terkait agama yang berpotensi diskriminatif.
Pertama, Pasal 2 RKUHP yang dinilai memungkinkan hukum yang hidup dalam masyarakat yang tidak diatur dalam KUHP tetap berlaku. Hal itu menyimpang dari asas legalitas dan berpotensi membuka celah hukum seperti yang ada dalam perda-perda diskriminatif yang sudah ada.
Kedua, kalimat "Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama" yang dipakai sebagai judul Bab VII RKUHP dinilai menyalahi bahasa serta konsep. Koalisi menyebut agama adalah subyek hukum dan justru penganut agama yang seharusnya ditempatkan sebagai subyek hukum.
Terakhir, pasal-pasal yang memuat diksi yang berpotensi multitafsir. Koalisi masyarakat sipil menemukan potensi ini dalam pasal 315, pasal 316, dan pasal 503.
[Gambas:Video CNN] (rzr/pmg)