ANALISIS

Pertaruhan PKS di Persimpangan Oposisi dan Koalisi

CNN Indonesia
Selasa, 16 Jul 2019 16:33 WIB
PKS dalam dua pilihan, menjaga peluang posisi tawar di pemerintahan, atau menjaga gerbong umat yang banyak memberinya dukungan selama Pemilu 2019.
Presiden Partai Keadilan Sejahtera ( PKS), Moh. Sohibul Iman. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Partai Keadilan Sejahtera (PKS) belum menentukan sikap dalam peta politik Tanah Air usai gelaran Pilpres 2019. PKS mengunci langkah untuk tidak lebih dulu berkomunikasi dengan pemerintah, membuka peluang menjadi mitra koalisi seperti yang mungkin telah dilakukan oleh PAN dan Partai Demokrat, atau bahkan Gerindra.

Bahkan Presiden PKS, Sohibul Iman santai, menunggu komunikasi dengan Gerindra usai pertemuan  Prabowo Subianto dan Joko Widodo, akhir pekan silam.

"Beliau sampaikan akan bertemu dengan kami setelah pertemuannya dengan Pak Jokowi. Kami menyambut baik. Semoga dalam waktu dekat ada pertemuan tersebut," kata Sohibul kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (13/7).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Artinya, boleh jadi PKS kini jadi satu-satunya partai yang memegang atribusi murni oposisi.

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research Consulting Pangi Syarwi Chaniago memprediksi sikap tersebut bukan tanpa risiko. PKS, kata dia, akan babak belur jika menjadi satu-satunya pertai yang oposisi melawan pemerintah.

"Akan menjadi bulan-bulanan juga," kata Pangi kepada CNNIndonesia.com, Selasa (16/7).
PKS disebut tidak akan memiliki taring tajam untuk mengkritik pemerintah dan kurang mempunyai posisi tawar yang baik di parlemen. Kondisi ini, menurut Pangi, jelas akan merugikan PKS dan mencederai demokrasi itu sendiri.

Namun demikian, Pangi mengatakan bahwa posisi oposisi sangat dibutuhkan dalam sebuah pemerintahan. Oposisi tak selalu sepakat dan tak selalu kontra dengan pemerintah, terlebih, Indonesia yang menganut oposisi konsensus.

Oposisi ini, jelas Pangi, dibangun bukan karena kebencian terhadap pemerintah. Melainkan menyehatkan demokrasi di dalam pemerintah yang merasa terawasi dengan kehadiran oposisi.

"Oposisi kita membuka lobi-lobi untuk kepentingan yang lebih besar," kata Pangi.

Sepenglihatan Pangi, PKS akan tetap pada posisinya yang berseberangan dengan pemerintah.

Tersandera Umat dan Politik 2024

Senada dengan Pangi, Pengamat Politik LIPI Wasisto Raharjo Jati menilai PKS akan tetap menjadi oposisi. Posisi PKS, kata dia, sulit beranjak ke pemerintah karena berutang pada konstituen.

"PKS menjaga perasaan pendukung 212 dan GNPF, dan maupun simpatisan HRS (Habib Rizieq Shihab) lainnya. PKS tidak mau kehilangan konstituennya di pemilu 2024 mendatang," kata Wasisto kepada CNNIndonesia.com, Selasa (16/7).

Kemudian, kalaupun nanti PKS bergabung dengan pemerintah, PKS disebut tidak akan bisa mengakomodasi kebutuhan umat Islam yang selama ini mendukungnya. Akan ada posisi berat sebelah dan tidak akan cocok dalam kebijakan pemerintah.

"Yang kelompok oposisi muslim 212 ini yang sangat memberatkan. Mungkin saya bisa katakan mereka bisa berat sebelah dalam politik," terang Wasisto.
Setidaknya dalam proses politik dan perjalanannya, Alumni 212 dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut mewarnai pilihan politik PKS. Satu di antaranya adalah saat pemilihan calon wakil presiden, PKS sempat meminta Gerindra untuk menuruti hasil Ijtimak Ulama.

Saat itu, Ijtimak Ulama dan Rizieq Shihab menyarankan agar Gerindra mempertimbangkan Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al-Jufri sebagai calon wakil presiden. Namun pada akhirnya, PKS harus merelakan kursi calon wakil presiden saat itu kepada Sandiaga Uno yang disebut sebagai 'Santri Milenial'.

Nyatanya, perjuangan PKS tak sia-sia. Pada Pemilihan Legislatif tahun 2019 ini, ia mampu meraup suara enam besar setelah PDIP, Gerindra, Golkar, PKB dan NasDem. Setidak-tidaknya, menurut perhitungan KPU yang dikutip dari pemilu2019.kpu.go.id, PKS mengumpulkan 8,17 persen suara. Data ini diambil per 16 Juli 2019 pukul 11.00 WIB dengan total TPS yang masuk sebesar 795.893 dari 813.336 TPS yang seharusnya masuk atau sekitar 97.8%.

"Bantuan 212 ini tak bisa dimungkiri dampaknya. PKS bisa menguasai area konservatif seperti Jawa barat, Sumatera Barat, Aceh, ini yang menurut saya potensi PKS," jelas Wasisto.

Wasisto menambahkan, dengan modal angka ini, PKS harusnya bisa melakukan pencitraan politik yang apik. Jika moncer, pandangannya yang berbeda bisa dijadikan senjata saat kalau saja masyarakat kecewa dengan kepemerintahan Jokowi Jilid II.

"Karenanya, PKS berusaha untuk membangun citra sebagai oposisi yang mempunyai pandangan berbeda Jokowi. Ini akan berdampak pada pemilu Jakarta 2022 maupun 2024, PKS bisa melakukan branding politik terhadap dirinya sendiri," ungkap dia.

Kendati begitu, menurut Wasisto, setiap kemungkinan masih ada. Begitu pula dengan keinginan PKS untuk bergabung dengan pemerintah mengingat posisinya yang tinggal sendiri. Namun pilihan berat ini akan segera dikembalikan ke PKS.

"Saya pikir PKS antara menjaga hati dan menjaga peluang. Saya kira PKS sebenarnya mau tapi malu. Tapi itu semua tergantung pertemuan," kata dia.
[Gambas:Video CNN]

(ctr/ain)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER