Kasus
korupsi yang diduga dilakukan
kepala daerah tidak berhenti di periode pertama pemerintahan Presiden
Jokowi. Sejumlah pihak menganggap pembinaan
Kementerian Dalam Negeri tak berjalan optimal.
Tidak sedikit gubernur yang tersandung kasus rasuah sepanjang 2014 hingga 2019. Begitu pula dengan wali kota serta bupati.
Kepala daerah memang diberikan kewenangan oleh negara berdasarkan undang-undang tentang pemerintahan daerah. Mereka punya sejumlah keleluasaan dalam mengelola wilayahnya yang tak bisa dibatasi oleh pemerintah pusat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu, Kemendagri memiliki tugas untuk melakukan pembinaan terhadap kepala daerah sejak dilantik usai terpilih sebagai pemenang pilkada.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yuris Rezha Kurniawan menilai pembinaan dan pengawasan yang dilakukan Kemendagri masih belum optimal. Dia berkaca dari banyaknya kepala daerah yang terlibat kasus korupsi.
"Ketika masih banyak seperti ini, berarti memang belum optimal," ucap Yuris saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Senin (15/7).
Tugas Kemendagri Menurut UUSetidaknya ada enam gubernur yang tersangkut korupsi sejak Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla memerintah dengan
Mendagri Tjahjo Kumolo.
Mereka adalah eks Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho (2015), eks Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam (2016), eks Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti (2017). Lalu, eks Gubernur Jambi Zumi Zola dan eks Gubernur Aceh Irwandi Yusuf (2018). Termutakhir, Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun (2019).
Para gubernur tersebut memang kader partai politik yang memiliki kepentingan tertentu. Selain itu, posisi Mendagri Tjahjo pun setara dengan para gubernur atau sebatas mitra kerja dan bukan bawahan secara langsung.
Akan tetapi,Kemendagri memiliki tugas dan wewenang melakukan pembinaan dan pengawasan. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
 Mendagri Tjahjo Kumolo mengajak sejumlah menteri yang baru dilantik mengunjungi KPK. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan) |
Tak cuma soal keuangan, Kemendagri wajib membina gubernur di beberapa aspek. Di antaranya kelembagaan daerah, kepegawaian, pembangunan, kebijakan, serta pelayanan publik daerah. Hal itu diatur dalam Pasal 374.
Kepala daerah level kabupaten dan kota yang terlibat kasus korupsi juga tergolong banyak. Jumlahnya berkali lipat dibanding gubernur yang tersandung kasus rasuah.
Setidaknya ada 9 kepala daerah yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2016. Kemudian menyusul 9 orang pada 2017.
Jumlah kepala daerah yang ditangkap pada 2018 melejit hingga 26 orang. Lalu pada 2019, hingga Juli, sudah ada 3 orang yang tersandung kasus rasuah.
Dalam UU No. 23 tahun 2014, Mendagri memang lebih diutamakan membina dan mengawasi gubernur. Sementara bupati dan wali kota dibina oleh gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat.
Namun, masih dalam UU yang sama, Mendagri pun memiliki kewajiban mengawasi dan membina bupati dan wali kota. Itu harus dilakukan jika gubernur tidak mampu menjalankan tugas pembinaan dan pengawasan.
Hal itu diatur dalam Pasal 375 Ayat (7). Dengan demikian, Kemendagri juga memiliki tanggung jawab atas kepala daerah level kabupaten/kota yang tersandung kasus korupsi.
Stranas PK Perlu Diterapkan MaksimalPeneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yuris Rezha Kurniawan mengapresiasi langkah Tjahjo yang selalu mengajak gubernur hasil pilkada menyambangi KPK usai dilantik.
Kunjungan kepala daerah ke KPK setidaknya bisa memberi pemahaman terkait teknis penyelenggaraan pemerintahan dan wilayah-wilayah rawan korupsi.
Akan tetapi 'kuliah singkat' dari KPK itu tak menjamin kepala daerah tercerahkan untuk tidak bertindak koruptif. Gubernur/ kepala daerah pada akhirnya akan pulang ke daerah pimpinannya dengan kuasa pemerintahan yang rentan berujung jadi penyalahgunaan jabatan.
"Hanya sekadar tatap muka di KPK, kemudian dia balik lagi ke tingkat lokal," ucap Yuris.
Yuris mengamini bahwa Kemendagri tidak dapat memberikan sanksi. Dengan begitu, Kemendagri tidak bisa bersikap lebih tegas dalam melakukan pembinaan dan pengawasan.
Namun, lanjut Yuris, Kemendagri tetap bisa melakukan salah satu tugasnya itu lebih optimal. Misalnya dengan mendorong pemerintah daerah menerapkan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) secara lebih masif di periode mendatang.
Dalam Perpres No. 54 tahun 2018, prioritas Stranas PK terbagi menjadi tiga: perizinan dan tata niaga, keuangan negara, serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi.
"Kemendagri bisa mendorong itu agar pemda menerapkan Stranas, karena masih ada pemda yang belum. Masih ada yang belum terapkan sistem pelayanan terpadu satu pintu terkait perizinan misalnya," tutur Yuris.
Yuris menilai Perpres No. 54 tahun 2018 perlu dijalankan seoptimal mungkin demi mengurangi potensi tindakan koruptif kepala daerah. Dia yakin Stranas PK yang diatur dalam perpres tersebut sudah cukup baik untuk menutup celah-celah korupsi.
Misalnya, pada aspek perizinan dan tata niaga, Kemendagri mesti mendorong secara intensif kepada pemda agar menerapkan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP). Menurut Yuris, sistem demikian membuat proses pemberian izin jadi lebih mudah dipantau.
Budaya antikorupsi di lingkungan aparatur sipil negara (ASN) juga harus terus ditanam. Inspektorat di pemda, selaku pengawas, mesti terus dijaga independensinya.
"Kemendagri bersama Tim Nasional Pencegahan Korupsi bisa mengevaluasi pelaksanaan Stranas PK di pemerintah daerah," kata Yuris.