Jakarta, CNN Indonesia -- Calon legislatif DPD Nusa Tenggara Barat Farouk Muhammad menghadirkan ahli dalam sidang lanjutan sidang
PHPU Pileg 2019 terhadap Caleg DPD NTB Evi Apita Maya. Dalam gugatannya, Farouk menyatakan Evi telah melakukan pelanggaran administrasi dan proses pemilu karena memanipulasi foto untuk kampanye.
Ahli yang dihadirkan Farouk, yakni Priyadi Sufianto menilai pas foto yang diserahkan kepada KPU dan yang digunakan oleh Evi di alat peraga kampanye telah dimanipulasi. Penilaian itu, klaim Priyadi, diketahui usai menganalisa dua foto Evi yang berbeda.
"Yang diberikan kepada ada dua contoh foto, dan foto itu memang menunjukkan perbedaan cukup signifikan. Dan menurut pendapat saya dalam konteks ini sudah masuk ke bukan saja retouching, tapi sudah masuk ke dalam dunia manipulasi," ujar Priyadi saat memberi kesaksian di Ruang Sidang Panel 3, Gedung MK, Jakarta, Kamis (25/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum memberi penilaian, Priyadi juga menjelaskan bahwa penggunaan foto dalam dunia fotografi terdapat dalam tiga wilayah kerja. Pertama, dalam wilayah jurnalistik, dokumenter, dan story. Kedua, dalam wilayah komersial. Ketiga, dalam dunia seni.
Ketiga dunia foto itu, lanjut Priyadi, memiliki pendekatan yang berbeda. Dalam dunia jurnalistik misalnya, Priyadi menuturkan harus berdasarkan fakta. Sementara dari seni, ia menyampaikan berkaitan dengan subjektivitas atau opini.
"Di komersial, bisa di antara keduanya," ujarnya.
Mendengar penjelasan itu, Hakim MK Suhartoyo lantas menanyakan di mana kategori foto yang digunakan oleh Evi dalam Pemilu DPD.
"Menurut Anda sebagai ahli, konteks yang dipermasalahkan hari ini konteks foto dalam media seperti apa?," tanya Suhartoyo.
Terkait dengan pendekatan itu, Priyadi menjelaskan foto yang digunakan oleh Evi masuk ke dalam kategori pertama. Sebab, ia menyebut Evi merupakan seorang tokoh.
Sehingga, ia berpendapat foto yang digunakan oleh Evi tidak boleh dimanipulasi.
"Presentasi foto di sini mewakili tokoh itu ada kaidah etika yang harusnya tidak boleh berbeda. Data yang disampaikan harus sama," ujar Priyadi.
"Tidak boleh ada manipulasi maksudnya?," tanya Suhartoyo.
"Persis," jawab Priyadi.
Edit Foto Tak Langgar HukumSementara ahli yang dihadirkan Evi Apita, Juanda menyatakan edit pas foto dari aspek hukum bukan merupakan pelanggaran. Juanda mengatakan penilaian bahwa edit foto bukan melanggar hukum usai membaca dan meneliti peraturan perundang-undangan.
"Saya sebagai ahli membaca dan meneliti peraturan perundangan itu tidak ada satu pun ketentuan yang melarang. Apalagi yang mengedit foto sendiri," ujar Juanda.
Juanda menuturkan edit foto tidak memiliki pengaruh dan keterkaitan dengan perolehan suara. Hal itu, kata dia, sulit dibuktikan secara hukum jika dinilai sebaliknya.
Lebih lanjut Juanda berkata tidak ada pihak yang boleh menyatakan foto Evi dimanipulasi sebelum pengadilan mengeluarkan keputusan. Menurutnya, manipulasi terhadap foto Evi hanya merupakan asumsi.
"Selanjutnya, kalau ada keberatan terhadap persyaratan bakal calon secara hukum dan UU 7 Tahun 2012 beserta turunan PKPU-nya itu sebenarnya bukan di MK, tapi di saat proses dulu penetapan calon tetap dan itulah mekanisme hukum yang berlaku," ujarnya.
Terkait dengan tudingan bahwa foto Evi menjadi dasar pemilih memilih, Juanda menilai tidak bisa dibuktikan secara hukum. Hal itu baru benar-benar bisa dibuktikan jika MK memanggil seluruh orang yang memilih, yakni sebanyak 283.932 orang atau setidaknya 50 persen orang yang memilih Evi pada Pemilu DPD tahun 2019.
"Kalau itu tidak bisa dilakukan maka Saya kira adalah kita sudah masuk proses hukum penegakan hukum yang sewenang-wenang," ujar Juanda.
Juanda menambahkan hak konstitusional pemilih telah direnggut jika asumsi dan logika berpikir yang tidak signifikan digunakan dalam menilai kemenangan Evi yang jumlahnya sangat banyak.
"Tindakan dan pikiran sedemikian peril dihindari agar tegaknya hukum dan keadilan," ujarnya.
[Gambas:Video CNN] (jps/osc)