Jakarta, CNN Indonesia -- Pahit dan manis dalam pertarungan
politik telah dirasakan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (
PDIP) selama puluhan tahun sejak bernama PDI --tanpa label 'perjuangan'.
Berbagai macam situasi atau posisi pun telah dicicipi partai berlambang kepala banteng itu mulai dari perpecahan di internal, menjadi oposisi, hingga penguasa.
Semua cerita berawal ketika Orde Baru ingin menyederhanakan partai politik (parpol) melalui proses penggabungan atau fusi dari parpol di masa Orde Lama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gagasan fusi parpol pertama kali dilontarkan pada 7 Januari 1970. Saat itu Presiden Soeharto memanggil sembilan pimpinan partai politik untuk berkonsultasi secara kolektif. Dalam pertemuan konsultasi tersebut, Soeharto melontarkan gagasan pengelompokan partai politik.
Setelah melalui serangkaian proses yang panjang dan alot, sebanyak lima parpol yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Murba, dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) (IPKI) sepakat melebur menjadi satu dengan nama Partai Demokrasi Indonesia (PDI), 10 Januari 1973.
PDI menggelar musyawarah nasional (munas) pertama pada 20 hingga 24 September 1973. Namun, tak ada hasil signifikan yang dicapai dalam Munas tersebut. Bahkan, keinginan untuk menggelar Kongres I PDI tak kunjung terlaksana dan terus tertunda akibat konflik internal.
Kongres I PDI akhirnya diselenggarakan pada 12 hingga 13 April 1976. Aroma intervensi pemerintah pada kongres itu sangat kuat. Terbukti, Pemerintah memplot
 Presiden Joko Widodo di Rakernas PDIP tahun lalu. (Screenshot via Twitter/@PDI_Perjuangan) |
yang kemudian dipilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum (Ketum) DPP PDI.
Lima tahun berselang, Kongres II PDI diselenggarakan tepatnya pada 13 hingga 17 Januari 1981. Campur tangan pemerintah juga masih terlihat di kongres tersebut, bahkan semakin kuat.
Setelah itu, Kongres III PDI diselenggarakan sebelum Pemilu 1987, tepatnya pada tanggal 15 hingga 18 April 1986. Kongres ini semakin menegaskan sangat tergantungnya PDI pada pemerintah.
Kongres III PDI akhinya gagal dan menyerahkan penyusunan pengurus kepada Pemerintah.
Konflik internal terus berlanjut sampai dilaksanakannya Kongres IV PDI di Medan, Sumatera Utara pada 21 hingga 25 Juli 1993.
Dalam Kongres tersebut muncul beberapa nama calon Ketum DPP PDI antara lain Soerjadi, Aberson Marle Sihaloho, Budi Hardjono, Soetardjo Soerjogoeritno, dan Tarto Sudiro. Muncul pula nama Ismunandar yang merupakan Wakil Ketua DPD DKI Jakarta.
Budi Hardjono saat itu disebut-sebut sebagai kandidat kuat yang didukung pemerintah. Tarto Sudiro maju sebagai calon ketum yang mendapatkan dukungan penuh dari Megawati Soekarnoputri.
Saat itu posisi Megawati belum bisa tampil mengingat situasi dan kondisi politik masih belum memungkinkan.
Akhirnya, Soerjadi yang merupakan calon petahana kembali terpilih secara aklamasi sebagai Ketum DPP PDI. Namun, belum sampai penyusunan kepengurusan suasana kembali ricuh karena demonstrasi yang dipimpin Jacob Nuwa Wea berhasil menerobos masuk ke arena Kongres.
Kondisi demikian membuat pemerintah mengambil alih melalui Mendagri Yogie S. Memed dan mengusulkan membentuk
caretaker. Dalam rapat formatur yang dipimpin Latief Pudjosakti Ketua DPD PDI Jatim pada tanggal 25 hingga 27 Agustus 1993 akhirnya diputuskan susunan resmi
caretaker DPP PDI.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
[Gambas:Video CNN]
Nama Megawati akhirnya diusung warga PDI untuk menjadi Ketum DPP PDI menyusul gagalnya Kongres IV PDI. Pemerintah mencoba mengadang keinginan warga PDI tersebut dengan memunculkan larangan mendukung pencalonan Megawati dalam Rapimda PDI Sumatera Utara pada 19 Oktober 1993.
Langkah pemerintah itu gagal karena akhirnya Megawati dinyatakan sebagai Ketum DPP PDI periode 1993-1998 secara de facto dalam Kongres Luar Biasa (KLB) yang digelar pada 2 hingga 6 Desember 1993 di Surabaya, Jawa Timur. Megawati kemudian dikukuhkan sebagai Ketum PDI secara de jure dalam Munas PDI yang diselenggarakan pada 22 hingga 23 Desember 1993 di Jakarta.
Ternyata hal itu belum mengakhiri konflik internal PDI. Kelompok Yusuf Merukh membentuk DPP PDI Reshuffle yang walau tidak diakui oleh pemerintah tetapi kegiatannya tidak pernah dilarang.
Di sisi lain, Soerjadi terus bergerak dengan gencar mencari dukungan ke daerah-daerah agar bisa menggelar Kongres. Dari 28 pengurus DPP PDI, 16 orang anggota DPP PDI berhasil Soerjadi rangkul.
Meski ditentang, Kelompok Fatimah Achmad yang didukung pemerintah tetap menyelenggarakan Kongres pada 22 hingga 23 Juni 1996 di Medan.
Warga PDI yang tetap setia mendukung Megawati berunjuk rasa besar-besaran pada 20 Juni 1996 yang berakhir bentrok dengan aparat dan dikenal dengan Peristiwa Gambir Berdarah.
Meskipun masa pendukung Megawati menolak keras Kongres Medan, pemerintah tetap mengakui hasil Kongres tersebut. Pemerintah mengakui secara formal keberadaan DPP PDI hasil Kongres Medan dan menyatakan PDI hasil Kongres Medan sebagai peserta Pemilu 1997.
Soeharto menerima 11 pengurus DPP PDI hasil Kongres Medan yang dipimpin Soerjadi selaku Ketum dan Buttu Hutapea selaku Sekretaris Jenderal pada 25 Juli 1996.
Hal ini pun membuat posisi Megawati dan para pengikutnya semakin terpojok. Masa pendukung Megawati menggelar Mimbar Demokrasi di halaman Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro hingga 27 Juli 1996.
Hari itu, kantor DPP PDI diserbu ratusan orang berkaos merah yang bermaksud mengambil alih kantor DPP PDI. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Peristiwa 27 Juli atau Kuda Tuli yang banyak menelan korban jiwa.
 Kerusuhan 27 Juli 1996 di kantor PDI. (AFP PHOTO / JOHN MACDOUGALL) |
Pascaperistiwa Kuda Tuli, Megawati beserta jajaran pengurus tetap eksis walaupun dengan berpindah-pindah kantor dan aktivitas yang dilakukan di bawah pantauan pemerintah. Pada Pemilu 1997 Megawati melalui pesan hariannya menyatakan bahwa PDI di bawah pimpinannya tidak ikut kampanye atas nama PDI.
Pemilu 1997 diikuti oleh PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi dan hasil Pemilu menunjukkan kuatnya dukungan warga PDI kepada Megawati karena suara PDI merosot tajam dan hanya berhasil meraih 11 kursi DPR.
Angin segar bagi PDI pimpinan Megawati datang pada 1998. Di tengah besarnya keinginan masyarakat untuk melakukan reformasi politik, PDI di bawah kepemimpinan Megawati kian berkibar. Pasca-lengsernya Soeharto, dukungan terhadap kepemimpinan Megawati pun semakin kuat.
Kelahiran PDIPPDI pimpinan Megawati menyelenggarakan Kongres V di Denpasar, Bali pada pada 8-10 Oktober 1998. Dalam Kongres ini, Megawati terpilih kembali menjadi Ketua Umum DPP PDI periode 1998-2003 secara aklamasi. Meskipun pemerintahan sudah berganti, yang diakui Pemerintah masih tetap PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi dan Buttu Hutapea.
Agar bisa mengikuti Pemilu 1999, Megawati kemudian mengubah nama PDI menjadi PDI Perjuangan atau yang lebih dikenal dengan PDIP pada tanggal 1 Februari 1999. Nama itu kemudian disahkan oleh Notaris Rakhmat Syamsul Rizal dan dideklarasikan di Istora Senayan, Jakarta pada 14 Februari 1999
Pemilu 1999 membawa berkah bagi PDIP dengan tampil sebagai pemenang pemilu dan berhasil menempatkan wakilnya di DPR sebanyak 153 orang. Bahkan, Megawati terpilih sebagai Wakil Presiden mendampingi KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur yang terpilih dalam Sidang Paripurna MPR sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia.
PDIP kemudian untuk pertama kalinya setelah berganti nama dari PDI melaksanakan Kongres pada 27 Maret hingga 1 April 2000 di Semarang, Jawa Tengah. Kongres ini menetapkan Megawati sebagai Ketum DPP PDI Perjuangan periode 2000-2005 secara aklamasi tanpa pemilihan, karena 241 dari 243 DPC mengusulkan nama putri Presiden pertama Indonesia itu sebagai Ketum DPP PDIP.
Sayang, meski tampil sebagai partai penguasa, PDIP tidak mampu meraih kemenangan dalam Pemilu 2004, baik di legislatif dan presiden. PDIP hanya mampu memperoleh suara di urutan kedua dengan perolehan 109 kursi DPR RI.
Kongres II PDI Perjuangan diselenggarakan pada 28 hingga 31 Maret 2005 di Denpasar. Sejumlah nama pesaing Megawati pun mulai bermunculan ketika itu seperti Guruh Soekarnoputra, Laksamana Sukardi, Roy BB Janis, Arifin Panigoro, hingga dan Sophan Sophiaan.
 Megawati Soekarnoputri. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf) |
Namun akhirnya, Kongres II PDIP mengukuhkan Megawati sebagai Ketum DPP PDIP 2005-2010 karena seluruh peserta dalam pandangan umumnya mengusulkan nama putri Proklamator RI itu.
Sejak itu, kendali PDI Perjuangan tak pernah lepas dari Megawati. Terakhir pada Kongres IV PDI Perjuangan di Bali pada 8 hingga 12 April 2015, Megawati kembali dikukuhkan sebagai Ketum PDIP periode 2015-2020.
Dari Oposisi Jadi PenguasaSelama 46 tahun berkiprah di panggung politik nasional, PDIP telah melakoni peran sebagai oposisi dan penguasa.
Peran oposisi dilakoni PDIP selama 10 tahun sejak 2004 hingga 2014. PDIP yang tumbang di Pileg 2004 dan 2009 serta gagal memenangkan Megawati sebagai presiden memilih jalan menjadi oposisi pemerintahan pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Setelah itu, PDIP mengubah strategi dengan tidak kembali mengusung Megawati sebagai capres di Pemilu 2014. Kala itum PDIP memutuskan untuk mengusung nama kadernya Joko Widodo untuk berduet dengan politikus Partai Golkar Jusuf Kalla.
Hasilnya, perolehan suara PDIP meroket dari 14,03 persen suara atau 95 kursi DPR Ri di Pemilu 2009 menjadi 18,95 persen atau 109 kursi DPR RI di Pemilu 2014. PDIP pun berhasil membawa pasangan capres dan cawapres yang diusungnya yakni Jokowi-JK mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di saat bersamaan.
Hal itu pun membawa PDIP menjadi partai penguasa setelah oposisi selama 10 tahun.
PDIP pun akan kembali menjadi partai penguasa selama lima tahun ke depan setelah berhasil memenangkan kontestasi Pemilu 2019 dan mengantarkan Jokowi bersama Ma'ruf Amin sebagai pasangan capres serta cawapres terpilih.