Jakarta, CNN Indonesia --
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan caleg Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Nusa Tenggara Barat (NTB) Farouk Muhammad yang menggugat rekan sesama caleg Evi Apita Maya atas tudingan pelanggaran karena mengedit foto tak wajar.
MK menyatakan, gugatan itu tak jelas dan tak relevan dengan perolehan suara Farouk di pemillihan legislatif atau
pileg 2019.
"Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan di ruang sidang MK, Jakarta, Jumat (9/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pertimbangan, hakim menyatakan pengeditan pas foto di luar batas wajar itu mestinya dilaporkan ke Bawaslu. Namun dari keterangan Bawaslu, tak pernah ada laporan maupun keberatan dari masyarakat terkait keberadaan foto tersebut.
"Mahkamah berpendapat pelanggaran tersebut adalah pelanggaran administrasi yang harusnya diselesaikan Bawaslu. Namun berdasarkan keterangan Bawaslu tidak ada laporan maupun keberatan dari masyarakat," kata hakim anggota Suhartoyo.
Keberatan tersebut baru dilaporkan setelah pemungutan suara. Padahal, kata hakim, semua caleg DPD telah diundang sejak jauh hari untuk mendapat penjelasan tentang spesimen atau contoh foto caleg DPD RI daerah pemilihan NTB.
"Dalam proses tersebut tidak ada keberatan dan telah disetujui dengan paraf terhadap spesimen surat suara tersebut," ucap hakim.
Di sisi lain, hakim menilai sulit mengukur relevansi dan pengaruh foto tersebut dengan tingkat keterpilihan Evi. Sesuai dalam permohonan, Farouk menilai kemenangan Evi dalam pileg DPD tak lepas dari keberadaan foto yang dinilai tak wajar.
"Akan sulit mengukur relevansi dan pengaruh foto caleg DPD dengan tingkat keterpilihan calon tersebut. Sebab tiap pemilih memiliki preferensi sendiri dan kerahasian masing-masing yang telah dijamin undang-undang," ucapnya.
Hakim juga menolak gugatan Farouk terkait penggunaan lambang DPD yang digunakan Evi pada spanduknya. Farouk menyatakan penggunaan lambang DPD itu untuk menarik perhatian pemilih.
Hakim mengatakan, gugatan itu mestinya dilaporkan ke Bawaslu karena termasuk
jenis pelanggaran sengketa proses pemilu. Namun menurut hakim, penggunaan logo DPD di spanduk tidak memiliki ukuran jelas dapat mempengaruhi hasil pemilu.
Hakim juga menolak dugaan politik uang yang dituduhkan Farouk pada Evi. Menurut hakim, dugaan itu mestinya dilaporkan ke Bawaslu untuk diteruskan ke Gakkumdu. Namun sesuai keterangan Bawaslu, dugaan itu baru dilaporkan setelah selesai pemungutan suara.
"Pemohon tidak dapat menjelaskan lebih lanjut dugaan politik uang ini dengan bukti. Pemohon juga tidak menjelaskan spesifik lokasi dan waktu terjadinya dugaan politik uang. Maka harus dikesampingkan dan dianggap tidak beralasan menurut hukum," tutur hakim.
Dalam gugatan, Farouk menilai Evi telah memanipulasi atau melakukan pengeditan pas foto di luar batas kewajaran. Farouk menyebut Evi mengedit sejumlah bagian wajahnya di dalam pas foto, di antaranya di bagian dagu, hidung, mata, warna kulit, hingga struktur tubuh.
Tindakan Evi, dalam pokok permohonan Farouk telah melanggar ketentuan yang ada di dalam Peraturan KPU. Selain melanggar, Farouk menyampaikan tindakan Evi mengedit foto secara berlebihan telah mempengaruhi perolehan suaranya. Farouk dalam Pemilu DPD 2019 diketahui memperoleh suara sebesar 188.678. Sementara Evi memperoleh 283.932 suara.
[Gambas:Video CNN] (psp/dal)