Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Umum Pengurus Pusat (PP)
Muhammadiyah Haedar Nasir meminta untuk mendiskusikan ulang lebih dahulu posisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebelum bicara soal upaya menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (
GBHN).
"Pertama, bagaimana mendiskusikan ulang posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang sudah mengalami perubahan setelah amandemen keempat [UUD 45]," kata dia, di acara Focus Group Discussion Gerakan Suluh Kebangsaan (GSK), Jakarta, Jumat (16/8).
Diketahui, GBHN sendiri merupakan konsep pembangunan Orde Baru. Ketika itu, saat UUD 1945 belum diamandemen, MPR berposisi sebagai lembaga tertinggi negara. MPR ketika itu memilih Presiden dan menyusun GBHN yang kemudian dijalankan kepala negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kini, wacana menghidupkan kembali GBHN digadang-gadang terutama oleh PDIP. Tujuannya, menetapkan arah pembangunan dalam jangka panjang. Masalahnya, UUD 45 sudah diamandemen. Presiden dipiliih langsung oleh rakyat, dan MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara.
Menurut Haedar, posisi MPR saat ini perlu diperjelas kembali. Pasalnya, akan jadi masalah jika GBHN disusun oleh MPR yang bukan lembaga tertinggi negara.
"Jadi apakah [MPR] tetap menjadi lembaga tertinggi negara, minus presiden dan wapres yang tidak dipilih oleh MPR? Kalau seperti itu, lembaga tinggi negara yang seperti apa? Maka [rumuskan] secara matang posisi MPR dengan keanggotaannya agar tidak mengalami ambivalensi," tutur dia.
Haedar melanjutkan bahwa langkah kedua yang perlu diambil terkait wacana GBHN adalah memperjelas definisi GBHN itu sendiri dalam konteks saat ini. Hal itu perlu diambil oleh semua komponen masyarakat.
"Sebelum melompat, perlu ada konsensus dari seluruh kekuatan nasional apa yang dimaksud dengan GBHN," kata dia.
Sebelumnya, sejumlah elemen masyarakat sipil mengkritisi soal wacana GBHN yang dituding hendak mengebiri kewenangan presiden.
[Gambas:Video CNN] (tst/arh)