Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pengawas Pemilu (
Bawaslu) bakal mengadu ke Presiden
Joko Widodo jika masih banyak pemerintah daerah yang belum menandatangani naskah perjanjian dana hibah (NPHD) untuk pendanaan Pilkada Serentak 2020.
Bawaslu mencatat hingga Senin (7/10), baru 163 daerah dari total 270 daerah yang menyetujui NPHD. Bawaslu memberi tenggat hingga akhir Oktober kepada pemda.
"(Jika tidak dipenuhi) kami akan ke Kemendagri dan Presiden biar dana hibah dari pusat," kata Anggota Bawaslu Ahmad Bagja saat dihubungi Selasa (8/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagja menyampaikan sebenarnya tak setuju dengan konsep NPHD. Sebab tak ada standar biaya yang jelas yang bisa diajukan. Hal ini menyebabkan ketidakpastian dalam proses penganggaran.
Selain itu, proses pembiayaan pilkada lewat NPHD sering bermasalah. Lantaran tidak semua pemda sigap melayani penganggaran.
Karena itu, kata Bagja, Bawaslu mendorong perubahan konsep pembiayaan pilkada. Ia menyarankan pilkada didanai APBN.
"Biar enggak menghambat nanti, tidak menghambat tahapan. Sekarang sudah mulai, tapi DPRD yang belum tanda tangan masih banyak," ujar dia.
Pilkada Serentak 2020 berpotensi menyedot keuangan negara lebih dari Rp10 triliun. Sebab berdasarkan catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU), usulan anggaran saat ini sudah mencapai Rp10,9 triliun untuk 252 daerah.
Saat ini dana pilkada hanya bersumber dari naskah perjanjian hibah daerah (NPHD). Dana tersebut merupakan hasil perjanjian hibah antara pemerintah daerah dengan KPU, Bawaslu, dan institusi keamanan di wilayah masing-masing.
Tercatat ada 209 daerah yang sudah menandatangani NPHD bersama KPU. Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi menyampaikan besaran NPHD untuk enam provinsi sebesar Rp918 miliar dan untuk kabupaten/kota lainnya Rp6,5 triliun.
Sementara pemda yang telah menandatangani NPHD bersama Bawaslu baru 163 dari 270 daerah. NPHD untik Bawaslu ditargetkan sekitar Rp4 triliun.
[Gambas:Video CNN] (dhf/dal)