Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) telah melakukan operasi tangkap tangan (
OTT) terhadap tujuh kepala daerah sepanjang 2019 ini. Data tersebut dirilis KPK per Senin, 7 Oktober 2019.
Operasi tangkap tangan pertama menyasar Bupati Mesuji periode 2017-2022, Khamami, pada 23 Januari 2019. Dalam penindakan tersebut, tim KPK menyita uang pecahan Rp100.000 yang tersimpan dalam satu kardus.
Khamami lalu ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek pembangunan infrastruktur di Kabupaten Mesuji tahun 2018. Ia menerima sekurang-kurangnya uang suap Rp1,58 miliar dari pihak swasta terkait proyek infrastruktur di Kabupaten Mesuji.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atas perbuatannya, Khamami dijatuhi vonis hukuman delapan tahun pidana penjara dan denda Rp300 juta subsider 5 bulan kurungan. Vonis hakim ini sama dengan apa yang dituntut jaksa penuntut umum.
Operasi tangkap tangan berikutnya Bupati Kabupaten Talaud periode 2014-2019 Sri Wahyumi Maria Manalip. Itu terjadi pada 30 April 2019.
Tim penindakan KPK menyita sejumlah barang mewah dalam operasi senyap tersebut. Barang-barang yang disita seperti tas tangan merek Channel senilai Rp97.360.000; tas merek Balenciaga seharga Rp32.995.000; jam tangan merek Rolex seharga Rp224.500.000; anting berlian merek Adelle senilai Rp32.075.000; serta cincin berlian merek Adelle seharga Rp76.925.000.
Sri ditetapkan tersangka oleh KPK terkait kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa revitalisasi pasar di Kabupaten Talaud. Ia saat ini tengah menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi.
Selanjutnya pada 10 Juli 2019, tim penindakan lembaga antirasuah KPK menangkap Gubernur Kepulauan Riau periode 2016-2021 Nurdin Basirun. Dari tangan Nurdin, tim KPK menyita sejumlah uang dalam mata uang dolar Amerika, dolar Singapura, ringgit Malaysia, dan rupiah sebesar Rp132 juta.
Nurdin Basirun ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi memberikan atau menerima hadiah atau janji terkait dengan izin prinsip dan lokasi pemanfaatan laut, proyek reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Kepulauan Riau tahun 2018/2019 dan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan.
Saat melakukan penggeledahan rumah Nurdin, tim KPK menemukan uang berserakan. Dari kamar Nurdin ditemukan duit dalam pecahan rupiah dan valuta asing. Uang itu terletak di tas ransel, kardus, plastik dan paper bag dengan rincian Rp3,5 miliar, US$33.200 dan Sin$134.711.
Saat ini Nurdin menjadi tahanan KPK. Sementara kasusnya terus bergulir dengan pemeriksaan sejumlah saksi, baik dari pihak lingkungan Pemprov Kepulauan Riau maupun pihak swasta.
Tamzil, Bupati Kudus menjadi 'pesakitan' berikutnya. Ia ditangkap pada 26 Juli 2019 saat operasi tangkap tangan dilakukan tim penindakan KPK. Dari operasi tersebut turut disita uang sejumlah Rp170 juta.
Dalam waktu cepat, Tamzil ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait jual beli jabatan di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Tak terima hal tersebut, ia mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, majelis hakim menolak praperadilan yang diajukan.
Tamzil merupakan residivis kasus korupsi. Dia sebelumnya pernah menjabat Bupati Kudus periode 2003 hingga 2008. Selama masa pemerintahannya, dia pernah melakukan korupsi terkait dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus untuk tahun anggaran 2004 yang ditangani Kejaksaan Negeri Kudus.
Bupati Kudus 2018-2023 Muhammad Tamzil mengenakan rompi oranye tanda tahanan KPK. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat) |
Operasi tangkap tangan kelima di tahun ini menyasar Bupati Kabupaten Muara Enim, Ahmad Yani. Ia ditangkap pada 2 September 2019.
Tim Penindakan KPK menyita US$35 ribu dari OTT tersebut. Diduga uang itu terkait dugaan suap proyek Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Muara Enim.
Ada ironi dari penangkapan Bupati Muara Enim Ahmad Yani. Jauh sebelumnya atau tepatnya pada Maret 2019, Ahmad Yani menyosialisasikan program pemberantasan korupsi terintegrasi bersama KPK. Dikutip dari laman muaraenimkab.go.id, Ahmad Yani sempat menyampaikan komitmen terhadap pencegahan dan penindakan korupsi di lingkup Pemkab.
"Kami buktikan dengan taat aturan dan taat administrasi dalam pengelolaan keuangan daerah. Kami sangat mengapresiasi terhadap kegiatan yang diadakan oleh KPK ini, semoga dapat menciptakan pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih, sehingga terhindar dari budaya korupsi," kata Yani di Ruang Rapat Bina Praja Pemprov Sumatra Selatan, 20 Maret 2019.
Secara pararel dengan penangkapan Ahmad Yani, pada tanggal 3 September 2019 Tim Penindakan KPK juga turut membawa Bupati Kabupaten Bengkayang Suryadman Gidot ke Kantor KPK di Jakarta. Dari operasi itu, tim KPK menyita uang sejumlah Rp340 juta. Tak berselang lama, Suryadman pun ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek pemerintah di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat.
Suryadman disebut menerima uang Rp336 juta dari sejumlah pihak swasta melalui Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bengkayang, Alexius. Ia pun saat ini sedang menjalani masa tahanan di rumah tahanan Polres Jakarta Pusat.
Bupati Bengkayang Suryadman Gidot mengenakan rompi oranye tanda tahanan KPK. (ANTARA FOTO/Reno Esnir) |
Terkini, operasi tangkap tangan dilakukan pada 6 Oktober 2019 atas Bupati Lampung Utara, Agung Ilmu Mangkunegara. Tim KPK menyita Rp728 juta dari operasi tersebut. Agung lalu ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait Proyek di Dinas PUPR dan Dinas Perdagangan Kabupaten Lampung Utara.
[Gambas:Video CNN]Dalam jumpa pers penetapan tersangka, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan pihaknya mengendus perilaku koruptif Agung sudah tercermin sejak awal menjabat. Basaria mengatakan Agung memanfaatkan posisinya sebagai kepala daerah baru untuk memperoleh pendapatan di luar penghasilan resminya.
"Sebelumnya, sejak tahun 2014, sebelum SYH [Syahbuddin] menjadi Kepala Dinas PUPR Lampung Utara, AIM [Agung] yang baru menjabat memberi syarat jika SYH [Syahbuddin] ingin menjadi Kepala Dinas PUPR, maka harus menyiapkan setoran fee sebesar 20-25 persen dari proyek yang dikerjakan oleh Dinas PUPR," ujar Basaria saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin (7/10) malam.
Secara keseluruhan, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan bahwa pihaknya telah memproses hukum 119 orang kepala daerah sejak mulai berdiri pada 2002 silam.
"Dari 119 orang Kepala Daerah yang diproses KPK, 47 di antaranya dari kegiatan tangkap tangan atau hanya 39,4 persen. Sehingga, tidak sepenuhnya benar jika seluruh kepala daerah diproses melalui OTT," kata Febri saat dikonfirmasi, Selasa (8/10).
Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur menempati posisi teratas dengan 14 kepala daerah yang diproses hukum.
Selanjutnya Sumatera Utara (12); Jawa Tengah (10); Sumatera Selatan (7); Riau dan Sulawesi Tenggara (6); Papua dan Kalimantan Timur (5); Aceh, Banten, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, Lampung (4); Bengkulu, Maluku Utara, NTB (3); Kalimantan Tengah, NTT, Sulawesi Selatan (2); Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Jambi, Sumatera Barat (1).
"Itu data per 7 Oktober 2019, sejak KPK berdiri," terang Febri.
Terkait masih maraknya pejabat dan pembuat kebijakan negara yang tertangkap tangan oleh KPK, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mengakui Indonesia belum berhasil dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
"Jadi kita belum berhasil. Semua institusi kita, pemerintah, KPK, belum berhasil betul menyelesaikan masalah-masalah korupsi ini," ujar JK di kantor wakil presiden, Jakarta, 30 Juli lalu.
Sementara itu, menyikapi masih banyaknya kepala daerah yang diproses oleh lembaga antirasuah KPK, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pun mengaku kecewa. Ia mengingatkan seharusnya kepala daerah mengetahui aturan yang berlaku.
"Seharusnya jadi kepala daerah itu, semua regulasi, aturan, dia harusnya tahu mana yang melanggar mana yang tidak," kata Tjahjo saat ditemui di Kantor Lemhannas, Jakarta, Kamis (5/9).
Selain itu, Tjahjo meminta agar setiap para kepala daerah untuk lebih hati-hati dalam menjalankan roda pemerintahan di daerah.
Saat seleksi capim KPK di DPR, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata yang terpilih kembali memimpin lembaga antirasuah untuk periode 2019-2023 itu mengatakan hanya orang goblok yang bisa kena operasi tangkap tangan.
Alex menyebut OTT adalah suatu hal yang mudah dilakukan dan tidak menarik. Namun kegiatan itu menyita perhatian besar dari publik melalui media.
"Saya tidak begitu terkesan dengan kegiatan OTT di KPK meski saya ada di dalamnya. Tidak membutuhkan teknik yang rumit, kalau boleh saya katakan, hanya orang goblok saja yang kena OTT. Orang tidak capek (melakukannya)," ucap Alex ruang Komisi III DPR RI, 12 September 2019.
Alex menerangkan KPK sebenarnya sudah melakukan banyak program terkait pencegahan. Namun kinerja pencegahan KPK tidak banyak diliput media massa dibandingkan operasi senyap alias OTT.