Jakarta, CNN Indonesia -- Fraksi
PDI Perjuangan di Dewan Perwakilan Rakyat (
DPR) RI menilai polemik Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (
Perppu KPK) hasil revisi yang baru disahkan 17 September lalu lebih baik diselesaikan melalui
judicial review di Mahkamah Konstitusi atau melalui
legislative review yang bisa dilakukan di DPR.
"Pandangan resmi kami di fraksi, sebaiknya tetap melalui Judicial Review dan Legislative Review. Sedikit memakan waktu tetapi prosesnya lebih sehat, ada di jalur hukum, bukan dengan hasil tarik menarik kepentingan politik," kata anggota DPR dari fraksi PDIP, Hendrawan Supratikno melalui pesan singkat, Selasa (8/10).
Meski begitu, Hendrawan memastikan soal penerbitan Perppu tersebut sepenuhnya adalah kewenangan presiden. Sebelumnya diberitakan bahwa fraksi PDIP sepakat menolak penerbitan Perppu KPK. Hendrawan menegaskan Fraksi PDIP belum memiliki sikap pasti soal Perppu tersebut karena belum diterbitkan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Harus diluruskan. Perppu itu kewenangan presiden. Perppunya belum ada, jadi tentu belum ada sikap Fraksi terhadap perppu. Yang kami sampaikan, PDI Perjuangan menilai yang paling tepat ditempuh adalah jalur hukum atau Judicial Review lewat MK dan atau Legislative Review lewat revisi kembali UU," tegas Hendrawan.
Hendrawan yang juga merupakan Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi PDIP itu mengatakan langkah legislative review atau judicial review untuk menjawab polemik UU KPK memang akan memakan waktu. Namun, kata dia, itu lebih bijak dan baik karena tak ada campur tangan kepentingan politik atau
Dia pun menuding sejumlah pihak memprotes revisi UU KPK yang disahkan jadi undang-undang pada 17 September lalu sebenarnya belum membaca isi keseluruhan.
"Sekarang banyak orang protes tapi belum baca UU revisinya," kata Hendrawan.
Lagi pula, sambungnya, soal revisi UU KPK itu sebenarnya tak dilakukan hanya dalam kurun waktu satu atau dua pekan saja. Keinginan untuk merevisi peraturan KPK itu telah terjadi sejak lama.
"Pada awalnya sebenarnya sederhana yaitu harapan agar sebuah lembaga hukum dengan wewenang sangat besar, bahkan disebut sebagai super body, diawasi dengan tata kelola yang sehat (
good governance). Itu sebabnya dibuat Dewan Pengawas," kata dia.
Oleh karena itu, sambungnya, lembaga KPK yang sebelumnya menganut sistem satu lapis berganti menjadi dua lapis demi adanya proses check and balances itu.
"Jadi KPK yang semula pakai sistem
single tier (satu lapis) diganti dengan
two tiers (dua lapis) agar terjadi proses
check and balance secara internal," kata Hendrawan.
Desakan agar Presiden Jokowi menerbitkan Perppu KPK sebagai upaya membatalkan UU KPK yang telah disahkan jadi undang-undang itu menjadi salah satu desakan dalam gelombang aksi mahasiswa dan aliansi aktivis di sejumlah wilayah di Indonesia. Tak hanya itu, puluhan tokoh bangsa yang sempat diundang Jokowi ke istana untuk membicarakan polemik undang-undang di ujung masa bakti DPR periode 2014-2019 pun mengusulkan hal yang sama.
Usai pertemuan dengan para tokoh tersebut di Istana Merdeka pada 26 September lalu, Jokowi menyatakan akan mengkalkulasi semua saran, termasuk penerbitan Perppu KPK.
"Soal UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, banyak sekali diberikan pada kita, utamanya masukan itu berupa penerbitan Perppu. Tentu akan kita hitung, setelah kita putuskan, akan kami sampaikan,"ujar Jokowi kepada wartawan usai pertemuan tersebut pada Kamis petang.
[Gambas:Video CNN]Wartawan mempertanyakan kembali ketegasan Jokowi perihal jawaban atas usulan para tokoh mengenai penerbitan Perppu itu, namun ia kembali pada jawaban yang pertama.
"Itu kan tadi sudah saya jawab akan kita pertimbangkan, terutama dari sisi politiknya," kata Jokowi.
"Tadi sudah saya sampaikan secepat cepatnya, sesingkat singkatnya [akan diberi keputusan]," sambungnya memungkasi pertanyaan para wartawan kala itu.
(tst/kid)