Jakarta, CNN Indonesia -- Angka penjatuhan vonis maupun eksekusi
hukuman mati di Indonesia meningkat 236,6 persen sepanjang pemerintahan Joko Widodo (
Jokowi)-Jusuf Kalla (
JK), periode 2014-2019 dibandingkan dengan era kepresidenan sebelumnya sepanjang era reformasi.
"Praktik hukuman mati pada era pemerintahan Presiden Jokowi pada tahun 2014-2019 pada realitasnya meningkat tajam, baik dari penjatuhan vonis mati maupun eksekusi yang dilakukan," tutur peneliti Imparsial, Husein Ahmad di kantornya, Jakarta Selatan, Kamis (10/10).
Peningkatan drastis itu, kata Husein, dibandingkan dengan total vonis maupun eksekusi mati pada era kepresidenan sebelumnya, dari BJ Habibie hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam catatannya, Imparsial menyatakan pada era Habibie-SBY (1998-2013), rata-rata vonis per tahun adalah 13,13 hukuman mati selama 15 tahun tersebut. Sementara itu pada era Jokowi-JK (2014-2019), jumlah vonis mati rata-rata 44,2 per tahun.
Walhasil, Imparsial mendata kenaikannya mencapai 236,6 persen.
Kemudian eksekusi mati pada era Habibie-SBY ada 27 eksekusi, dengan rata-rata 1,8 eksekusi per tahun.
Sementara, pada era Jokowi-JK telah ada 18 eksekusi mati sehingga rata-rata per tahunnya adalah 3,6. Walhasil kenaikan eksekusi mati era mencapai 100 persen pada era Jokowi-JK.
Pada era Jokowi-JK, setidaknya ada 221 vonis pidana mati selama lima tahun terakhir yang dijatuhkan di berbagai tingkat pengadilan di Indonesia. Dari angka tersebut sebanyak 166 orang divonis mati karena kasus narkoba, 51 orang karena kasus pembunuhan, tiga orang karena kasus pencurian dengan kekerasan, dan satu orang karena kasus terorisme.
Hukuman vonis mati di era pemerintah Jokowi periode pertama terjadi dalam tiga gelombang eksekusi, di mana sebanyak 18 orang dieksekusi. Rinciannya pada gelombang I yang dilakukan tanggal 18 Januari 2015 terdapat enam orang dieksekusi mati. Pada gelombang II yang dilakukan tanggal 29 April 2015 terdapat delapan orang dieksekusi mati. Dan pada gelombang III yang dilakukan tanggal 29 Juli 2016 terdapat empat orang dieksekusi mati.
Beberapa di antara mereka yang dieksekusi mati dalam ketiga gelombang tersebut adalah Rani Andriani, Zainal Abidin dan Freddy Budiman. Ketiganya terjerat kasus narkoba.
Dari angka tersebut dikatakan ada 50 vonis mati yang dijatuhkan di Indonesia kepada Warga Negara Asing (WNA), yang terdiri dari 8 warga Malaysia, 2 warga Iran, 6 warga Nigeria, 13 warga Tiongkok, 2 warga Hong Kong, 17 warga Taiwan, satu warga Singapura, satu warga Pakistan, dan satu warga Prancis.
Efek Jera Dinilai Tak EfektifWakil Direktur Imparsial, Gufron Maburi, mengatakan tuntutan hukuman mati sebetulnya bukanlah jenis yang efektif untuk memberikan efek jera terhadap para terpidana. Menurutnya tak ada bukti objektif yang menunjukkan praktik hukuman mati berdampak terhadap naik atau turunnya angka kejahatan di Indonesia.
"Contoh dalam kasus narkoba misalnya. Sejak ekskusi mati pelaku narkoba secara masif dilakukan oleh Kejaksaan Agung, angka kejahatan narkoba justru meningkat tajam. Dan ini diakui sendiri oleh BNN [Badan Narkotika Nasional]," tutur Gufron pada kesempatan yang sama.
Selain dinilai tidak efektif, kata Gufron, Imparsial memandang hukuman mati bertentangan dengan jaminan konstitusional hak hidup di Indonesia. Dalam hal ini Gufron mengacu pada UUD 1945 dan berbagai instrumen HAM di Indonesia maupun internasional.
Ia juga menambahkan pidana mati menjadi sarat masalah ketika terjadi kesalahan penghukuman terhadap terpidana. Hukuman mati menutup ruang koreksi terhadap terpidana yang sudah dieksekusi jika ditemukan kesalahan vonis.
"Bagaimana misalnya, ketika terjadi kesalahan penghukuman. Yang itu diduga dalam beberapa terpidana mati yang sudah dieksekusi. Bagaimana caranya merehabilitasi itu, atau mengubah? Sementara orangnya sudah dieksekusi," ujarnya.
Koordinator Peneliti Imparsial Ardi Manto Adiputra, Direktur Imparsial Al Araf, Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri. (CNN Indonesia/Dhio Faiz) |
Argumen tersebut kemudian semakin menguatkan rekomendasi imparsial agar pemerintah menghapus pidana mati dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang hingga kini masih banyak dipersoalkan berbagai pihak.
Imparsial juga menuntut Jokowi agar mengeluarkan moratorium pidana mati. Hal ini dikatakan bisa menjadi tolak ukur melihat keseriusan presiden dalam menangani kesaratan masalah dalam hukuman pidana mati.
"Kita bisa melihat jika memang moratorium dalam arti bentuk Perpres [Peraturan Presiden], artinya presiden dengan kebijakannya mengeluarkan penghentian pelaksanaan eksekusi secara resmi," jelas Bhatara Ibnu Reza selaku peneliti dari Imparsial di kesempatan yang sama.
Gufron sendiri memandang pembuat kebijakan di Indonesia saat ini memiliki dualisme sikap terhadap hukuman mati yang masih diterapkan sebagai vonis pidana. Itulah, kata dia, yang terlihat dari keberadaan sejumlah undang-undang yang tak konsisten mengedepankan HAM dengan terus memperkuat keberadaan pidana mati sebagai hukuman.
"Kita melihat ada dualisme sikap pemerintah dan DPR," ujar Gufron.
Ia mencontohkan pada draf terakhir RKUHP yang mengubah hukuman pidana mati dari pidana pokok menjadi pidana alternatif. Tapi, sambungnya, pada sejumlah pasal dalam draf RKUHP yang mendapatkan gelombang aksi penolakan itu ternyata masih ada sejumlah pasal yang menyimpan ancaman hukuman mati. Ia mencotohkan salah satunya pada pasal terkait makar.
Selain pada RKUHP, hukuman mati juga masih bisa ditemukan di sejumlah UU lain. Seperti UU No. 23 Tahun 2000 tentang Perlindungan Anak misalnya yang juga menyimpang ancaman pidana, bersamaan dengan ancaman kebiri. Ancaman hukuman mati juga dapat ditemukan pada Undang-Undang Terorisme di Indonesia.
[Gambas:Video CNN]Itu, dinilai pihaknya nya berseberangan dengan sejumlah undang-undang yang mengedepankan hak asasi manusia sebagai hak dasar warga negara. Pemaparan tersebut tertera dalam sejumlah perundang-undangan, seperti dalam UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta UU No. 12 Tahun 2005 tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Pada ketiga beleid itu jelas-jelas menjamin hak hidup sebagai hak setiap warga negara Indonesia.
"Jadi memang dalam konteks aturan hukum ada dualisme. Di satu sisi mendorong pengetatan, tetapi di sisi lain jumlah tindak pidana yang diancam hukuman itu ditambah," kata Gufron soal hukuman mati.
(fey/kid)