Jakarta, CNN Indonesia -- Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bakal melantik
Joko Widodo dan
Ma'ruf Amin sebagai pasangan presiden dan wakil presiden periode 2019-2024. Momentum itu bakal menjadi langkah lanjutan bagi Jokowi menyelesaikan berbagai persoalan bangsa yang belum diselesaikan pada periode pertama pemerintahannya.
Sejumlah tantangan menanti Jokowi-Ma'ruf di depan. Mulai dari kian melemahnya kepercayaan publik pada Jokowi, hingga sosok-sosok menteri yang dianggap gagal dalam Kabinet Indonesia Kerja jilid I.
Legitimasi masyarakat terhadap Jokowi mulai luntur, terutama dalam sebulan terakhir. Padahal, kurun waktu 30 hari belakangan ini adalah masa-masa transisi pemerintahan periode pertama ke priode kedua.
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin menuturkan melunturnya legitimasi rakyat kepada Jokowi menjadi tantangan terbesar dalam menyongsong pemerintahan periode kedua. Ia menyebut masyarakat mulai tidak mempercayai kemampuan Jokowi dalam memimpin pemerintahan maupun sebagai kepala negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tantangan pertama yang akan dihadapi oleh Jokowi di periode kedua adalah legitimasi politik. Kita ketahui masyarakat mulai tidak percaya dengan Jokowi," ujar Ujang kepada
CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Ujang mengatakan melemahnya legitmasi terhadap Jokowi ditandai lewat demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa, pelajar, aktivis, buruh, dan masyarakat dalam sebulan belakangan ini.
Pangkal dari demo itu, ia berkata, karena Jokowi dianggap 'bersekongkol' dengan DPR untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi lewat revisi UU KPK dan mengesahkan sejumlah rancangan UU bermasalah. Belum lagi RKUHP yang meski akhirnya ditunda, namun sempat menjadi 'barang panas' yang memicu aksi demonstrasi berujung kerusuhan.
Ujang menuturkan demonstrasi, khususnya yang melibatkan mahasiswa dan pelajar harus mendapat perhatian serius dari Jokowi. Sebab demonstrasi yang secara masif untuk menekan pemerintah, baru terjadi kembali pascareformasi.
Pudarnya legitimasi dari masyarakat ini tak bisa dianggap sebelah mata oleh Jokowi. Melemahnya legitimasi terhadap Jokowi akan membuat masyarakat bersikap acuh tak acuh. Masyaraka akan bertindak dengan semaunya karena merasa pemerintaha di bawah kendali Jokowi juga bertindak seenaknya.
"Pemerintahan yang tidak dipercaya rakyat, yang legitimasinya lemah, masyarakatnya tidak suka, itu cenderung akan terjadi kekacauan," ujarnya.
Selain karena pengesahan revisi UU KPK dan UU bermasalah, kacaunya penegakan hukum juga memantik masyarakat untuk menghapus kepercayaannya terhadap Jokowi. Ia menuturkan sebagain publik merasa demokrasi di Indonesia tidak berjalan karena penegakan hukum tidak dilaksanakan secara adil.
"Negara-negara di Eropa demokrasinya jalan karena penegakan hukumnya tidak tebang pilih," ujar Ujang.
Atas dasar situasi itu, Ujang merasa janji Jokowi untuk mereformasi sistem dan proses penegakan hukum sulit terealisasi. Selain itu, janji mengaktualisasikan demokrasi Pancasila di tengah masyarakat juga bakal menjadi isapan jempol belaka.
"Saya ragu janji yang hendak dicapai Jokowi bisa terwujud jika situasi saat ini masih ada di periode mendatang," ujarnya.
Untuk menyelesaikan persoalan itu, Ujang menyarankan Jokowi membuktikan pernyataan 'tidak ada beban' di periode kedua pemerintahannya. Sebab, ia menafsirkan pernyataan itu bahwa Jokowi sudah tidak dapat diintervensi oleh parpol pendukungnya dalam mengambil kebijakan.
Jokowi diharapkan mampu menertibkan partai yang membandel dalam koalisi arah pemerintahan ke depan bisa berjalan dengan lebih baik.
"Kalau tidak ada beban, buktikan. Bahwa dengan sistem presidensial artinya presiden tidak bisa diatur oleh parpol. Tapi persoalannya di negara kita sistemnya presidensial, tapi presidennya masih diatur partai politik," ujar Ujang.
Walaupun demikian, Jokowi mengatakan bahwa Indonesia tidak kekurangan orang hebat. Banyak yang mampu memimpin kementerian dan lembaga.
Mereka, lanjutnya, juga senantiasa bersedia mengabdi kepada negara. Jokowi mengatakan orang-orang hebat itu berasal dari berbagai kalangan.
"Mereka terserak di semua bidang pekerjaan dan profesi: akademisi, birokrasi, politisi, santri, juga TNI dan polisi," ujarnya.
Konflik Internal KoalisiPengamat politik Exposit Strategic Arif Susanto menambahkan Jokowi dalam periode keduanya akan dihadapkan pada tantangan ekonomi dan politik. Di bidang ekonomi Indonesia akan menghadapi resesi jika defisit keuangan negara terus terjadi.
Ia berpendapat persoalan itu sebenarnya bisa diatasi dengan mendongkrak pendapatan dari sektor pajak yang saat ini belum optimal. Akan tetapi, penekanan pajak bisa membuat ruang fiskal menjadi terbatas.
"Itu pilihan yang tidak mudah bagi Jokowi dalam jangka pendek," ujar Arif.
Sementara di bidang politik, Arief menilai Jokowi akan menghadapi perseteruan di internal koalisi saat menentukan kabinet yang baru. Sebab Jokowi tidak mungkin mengakomodasi semua kepentingan.
Salah satu bukti awal ada perseturan terlihat dari hubungan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Ketum Partai NasDem Surya Paloh yang merenggang belakangan ini. Situasi itu diduga terjadi karena perebutan porsi dan pos kementerian dalam Kabinet Indonesia Kerja jilid II.
Situasi Jokowi terbilang sulit. Dia bakal berhadapan dengan parpol oposisi yang memanfaatkan situsai publik yang kecewa dengan kebijakan pemerintah saat ini, misalnya terkait dengan revisi UU KPK.
Sebaliknya, Jokowi juga akan berhadapan dengan parpol koalisi jika menolak revisi UU KPK lewat Perppu. Mengingat parpol koalisi yang menjadi inisiator revisi UU itu.
"Di luar itu adalah friksi politik mungkin akan muncul sebagai dampak bahwa seluruh kekuatan politik yang ada itu berlomba-lomba untuk memacu supaya mereka bisa
start lebih awal berhadapan dengan kompetisi di tahun 2024," ujarnya.
Di sisi lain, Arif meragukan komitmen Jokowi untuk mewujudkan pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sebab, ia menilai Jokowi merupakan sosok yang membingungkan karena selalu gagal membuat langkah progresif terkait isu anti korupsi di tengah kepercayaan publik yang tergolong tinggi.
"Lalu, Jokowi juga
apologetic dalam arti suka
ngeles. Seolah-olah ketika ada problem itu dia tidak menjadi masalah itu. Dalam revisi UU KPK misalnya bahwa opini publik digiring bahwa yang salah DPR," ujar Arif.
Masalah Jokowi memang kompleks. Salah satunya kabinet pemerintahan yang pada periode pertama belum optimal. Karena itu Ujang menyebut Jokowi harus mengganti sejumlah menteri jika ingin kembali mendapat legitimasi publik lewat realisasi janji politik yang dituangkan dalam Nawacita Jilid II.
Di periode pertama, ia menilai sejumlah menteri Kabinet Indonesia Kerja gagal menerjemahkan Nawacita menjadi sebuah kebijakan yang berdampak positif bagi bangsa. Beberapa pos kementerian bahkan tidak bekerja maksimal.
Sejumlah kementerian yang dinilai bermasalah di periode pertama, kata dia, yakni Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; Kementerian Koordinator Perekonomian; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; dan Kementerian Kesehatan.
Diketahui Jokowi sudah dua kali melakukan
resuffhle pada periode pertama. Tiga dari empat menteri koordinator bahkan diganti atau digeser.
Berdasarkan catatan
CNNIndonesia.com, di Kementerian Polhukam misalnya, Jokowi pernah menunjuk Luhut Binsar Pandjaitan untuk menggantikan Tedjo Edhy Purdjiatno.
Sebelas bulan kemudian, Jokowi menunjuk Wiranto untuk menggantikan Luhut yang digeser menjadi Menko Kemaritiman dan Sumber Daya. Kala itu, Luhut menggantikan Rizal Ramli. Satu yang menarik, jabatan Menko Polhukam di era Jokowi ini selalu dipegang oleh purnawirawan TNI.
Tak hanya Kemenko Polhukam, Jokowi juga pernah mengganti Menko Perekonomian. Jokowi diketahui menunjuk Darmin Nasution untuk menggantikan Sofyan Djalil yang digeser menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas.
Sedangkan satu menteri koordinator yang 'aman', yakni Menko PMK yang dijabat oleh politikus PDIP Puan Maharani. Sejak menjabat pada 27 Oktober 2014 Puan tak tersentuh meski kinerjanya juga jadi pertanyaan publik.
Belakangan, posisi itu kini diduduki oleh Darmin selaku Pelaksana Tugas karena putri Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri itu memilih menjadi Ketua DPR periode 2019-2024. Artinya di periode kedua Jokowi dipastikan akan mencari sosok lain pengganti Puan.
Sementara di luar kementerian perekonomian, sejumlah menteri juga kena perombakan. Salah satunya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang semula dijabat oleh Anies Rasyid Baswedan diganti oleh Muhadjir Effendy.
Atas dasar itu, demi merealisasikan program yang dijanjikan dalam kebijakan Nawacita, Jokowi harus mencari sosok-sosok pembantunya secara tepat. Jokowi tak boleh menutup mata pada permasalahan di periode pertama.
Untuk Kemenko Polhukam, Ujang berharap dijabat oleh orang yang mampu menjadikan hukum berjalan dengan tegak lurus. Sebab, hukum yang bermasalah bisa membuat stabilitas di tengah masyarakat bisa terus bergejolak.
"Kementerian bidang ekonomi juga mesti dievaluasi karena ekonomi sumber dari segala kehidupan bangsa. Kalau kita ekonominya gonjang-ganjing, hancur pula negara ini. Bahkan perubahan rezim bisa terjadi," ujar Ujang.
Senada, Arief menilai Jokowi mesti menunjuk orang baru, terutama untuk menjabat menteri koordinator, yakni Menko Polhukam, Menko Perekonomian, Menko Kemaritiman dan Sumber Daya, serta Menko PMK. Ia berpendapat keempat kementerian koordinator itu gagal menjalankan tugasnya dengan baik.
Jokowi, kata dia, juga harus membuktikan kepada publik bahwa tidak memiliki beban untuk menjalankan roda pemerintahannya ke depan. Salah satu bukti tidak ada beban Jokowi bisa dengan menunjuk orang yang tepat untuk memimpin setiap pos kementerian.
"Itu yang paling krusial untuk dijaga. Saya berharap menteri-menteri yang punya portofolio (khususnya) di bidang pendidikan, ekonomi, dan hukum itu bukan hanya berasal dari parpol, tapi juga dipilih persis karena di profesional dan kapabel," ujar Arief.
Arif menambahkan Jokowi dalam postur pemerintahan diprediksi bakal tetap menggunakan jasa purnawiran militer yang menjabat di era Orde Baru, seperti Wiranto dan Luhut Binsar Pandjaitan. Ia menilai kedua purnawirawan itu bakal tetap menjadi tameng Jokowi untuk menghalau tekanan publik hingga oposisi.
"Jokowi bukan tidak paham situasi, cuma Jokowi mengisolasi masalah," kata Arif. "Sehingga kalau ada pekerjaan kotor, tangan Jokowi tidak ikut kotor."