Jakarta, CNN Indonesia -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (
Walhi) menilai langkah Partai Keadilan Sejahtera (
PKS) memilih sebagai oposisi pemerintahan
Jokowi periode 2019-2024 harus diikuti dengan narasi substantif.
Hal itu disampaikan dalam konferensi pers bertajuk "Jelang Pelantikan Presiden dan Wakil: Nasib Lingkungan Hidup Tidak Baik-baik Saja". Dalam kesempatan itu, Walhi tidak melihat perubahan substansial pada kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ke arah yang lebih baik, setidaknya dalam lima tahun ke depan.
"Ya bagus aja kalau dia mau mengambil posisi oposisi dalam pemerintahan. Tapi oposisinya bukan hanya
bargaining kekuasaan saja, tapi memang oposisi yang substantif," kata Koordinator Bidang Politik Eksekutif Walhi Khalisah Khalid kepada wartawan di kantornya, Jakarta, Rabu (16/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kajian yang dilakukan Walhi berdasarkan dokumen visi misi dari partai politik, terdapat beberapa partai politik yang memiliki konsentrasi terhadap isu lingkungan hidup. Walhi menyoroti dokumen visi misi PKS juga mencatat agenda penyelamatan lingkungan hidup.
"Kalau dari kajian kami ada beberapa partai politik yang dalam dokumennya itu memuat isu lingkungan hidup, antara lain PKS, PSI lalu NasDem," ujarnya.
Kendati demikian, sering kali pemaparan yang tertera dalam dokumen tidak selaras dengan tindakan politiknya. Menurutnya, sering kali isu lingkungan hidup hanya naik dipermukaan dan diperbincangkan oleh elite politik saat mendekati pemilihan umum.
"Ya, kita
challange saja, kalau dari partai pendukungnya belum menunjukkan itu," katanya.
Sebelumnya, Walhi dan sejumlah LSM lain di bidang lingkungan hidup memberi rapor merah dan harapan kecil terhadap pemerintahan Presiden Jokowi dalam menangani isu lingkungan hidup.
Koalisi sipil memberikan lima catatan penting terkait perhatian pemerintah terhadap isu lingkungan hidup.
Pertama, rendahnya komitmen Pemerintah dan DPR dalam melaksanakan mandat TAP MPR IX/2001 yang mengatur pembaruan agraria dan sumber daya alam.
"Mandat itu adalah bagaimana pemerintah memastikan penyelesaian konflik dan juga kemudian melihat UU sektoral yang bertabrakan dan bertentangan dengan agenda pembenahan agraria dan pengelolaan SDA," kata Khalisah.
Kedua, mereka juga menyoroti proses pembentukan perundangan-undangan yang tidak partisipatif dan berpihak pada keadilan ekologis dan sosial.
Ketiga, tertutupnya informasi publik terhadap pengelolaan lingkungan hidup dan SDA.
Keempat, dinilai dalam masa pemerintahan sebelumnya, banyak penyelesaian konflik agraria yang mandek.
Kelima, lambatnya pelaksanaan reforma agraria dan perlindungan lingkungan hidup.
[Gambas:Video CNN] (mjo/pmg)