Jakarta, CNN Indonesia --
Joko Widodo akan kembali memimpin pemerintahan untuk lima tahun ke depan. Dia menjadi presiden hingga 2024 ditemani Wakil Presiden
Ma'ruf Amin.
Ada sejumlah visi dan misi yang dicanangkan. Itu semua juga sudah dipaparkan selama berkampanye saat Pilpres 2019 masih berjalan.
Jokowi-Ma'ruf Amin bertekad menjalankan program-program tersebut. Akan tetapi, bukan berarti Jokowi bisa sepenuhnya fokus merealisasikan janji kampanyenya lalu mengabaikan permasalahan yang muncul di periode pertama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebut saja soal penanganan radikalisme, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), kerusuhan di Papua, masalah korupsi dan KPK, pertumbuhan ekonomi serta beberapa hal lainnya. Tentu publik bakal menyoroti warisan masalah di periode pertama jika muncul kembali di periode kedua.
Satu-satunya yang selalu dibanggakan Jokowi di periode pertama adalah pembangunan infrastruktur. Jokowi memang gencar membangun infrastruktur dari barat hingga ke timur Indonesia.
Mulai dari pembangunan ribuan kilometer jalan tol dari Trans Sumatera, Trans Jawa, hingga Trans Papua.
Lalu pembangunan rel kereta api yang mencapai 754,59 km serta rehabilitasi jalur kereta api sepanjang 413,6 km di Jawa dan Sumatera. Belum lagi pembangunan jalur kereta api di Sulawesi yang akan menghubungkan Kota Makassar hingga Parepare sepanjang sepanjang 145 km.
Hingga terakhir, pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) di Jakarta serta Light Rail Transit (LRT) di Palembang dan Jakarta. Meski pembangunan dilakukan oleh pemerintah daerah, namun proyek transportasi berbasis rel itu dikerjakan melalui sinergi dengan pemerintah pusat.
RadikalismePenusukan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto pekan lalu dinilai banyak pihak menjadi warning bahayanya paham radikalisme di Indonesia. Polisi menyebut, dua pelaku penyerangan Wiranto, SA dan FA diduga terpapar paham radikal dan terafiliasi dengan kelompok teroris JAD.
Bahayanya paham radikalisme ini pernah dilontarkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Sekjen PBNU Helmy Faishal pernah mengatakan bahwa tantangan utama bagi Jokowi di masa pemerintahan selanjutnya adalah menangkal paham radikalisme dan terorisme yang sudah sangat membahayakan.
"Tantangan menghadapi radikalisme, terorisme. Saya kira itu menjadi PR yang luar biasa," ucap Helmy di kediaman cawapres terpilih, Ma'ruf Amin, Menteng, Jakarta, Jumat (21/6) lalu.
Diketahui selama lima tahun terakhir, sejumlah serangan teror terjadi. Sebut saja penembakan dan bom di kawasan Thamrin (Jakarta Pusat), ledakan bom di Kampung Melayu (Jakarta Timur), serta teror bom dan penyerangan terhadap polisi di Surabaya (Jawa Timur).
Pengamat teroris Al Chaidar menilai penanganan radikalisme dan terorisme di periode pertama Jokowi terbilang payah. Ia menilai hal itu terjadi karena Jokowi tidak serius menangani persoalan yang satu ini.
"Memang payah rezim Jokowi. Dalam menangani soal HAM, terorisme, dan lingkungan," ujar Al Chaidar kepada CNNIndonesia.com, Rabu (16/10).
Al Chaidar menuturkan salah satu penyebab payahnya penanganan terorisme di Indonesia disebabkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ia menilai UU itu dibuat hanya untuk melindungi aparat.
Tak hanya itu, ia menilai program deradikalisasi yang saat ini berjalan juga sudah nyata gagal untuk meredam terorisme di Indonesia. Seharusnya Jokowi lebih mengedepankan program humanisasi dan kontra wacana.
"Jokowi tidak punya imajinasi bagaimana menangani teroris," ujarnya.
Ke depan, ia berharap pemerintah atau DPR merevisi UU Terorisme yang berlaku saat ini. Dalam UU yang baru, ia berharap ada kejelasan wewenang dalam menangani teroris tamkin dan teroris tanzhim.
Teroris tamkin adalah organisasi ideologis statis yang secara milenarian yakin dan terikat pada lokasi tertentu secara shifting-occupancy. Sementara, teroris tanzhim adalah organisasi ideologis yang sangat dinamis; berpindah-pindah tempat dan melakukan serangan di lokasi yang jauh dari tempat asalnya, serta memiliki kemampuan teknikal yang luar-biasa.
Bahkan, Al Chaidar secara khusus berharap dalam UU Terorisme yang baru nanti, TNI diberi kewenangan untuk turut berperan aktif dalam menangani masalah teroris tamkin.
KarhutlaMasalah lain dalam periode pertama Jokowi adalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla)di periode pertama Jokowi. Asap membubung tinggi ke langit di berbagai daerah, khususnya di Sumatera dan Kalimantan. Asap karhutla ini bahkan sampai memakan korban jiwa.
Greenpeace Indonesia mencatat 3,4 juta hektare lahan terbakar selama 2015-2018. Ditambah catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang menyebut 328.724 hutan dan lahan terbakar sepanjang Januari-Agustus 2019. Angka itu tidak statis dan masih bisa bertambah.
[Gambas:Video CNN]Greenpeace menilai itu dampak dari pemerintah yang lemah dalam penegakan hukum terhadap perusahaan yang terbukti membakar hutan dan lahan.
Pemerintah juga dinilai cenderung pasif terhadap perusahaan yang sudah divonis tetapi belum membayar ganti rugi. Walhasil, perusahaan lain menjadi tidak takut untuk melakukan pembakaran hutan dan lahan serta tindakan lainnya.
Dari 11 perkara perdata karhutla dan pembalakan liar itu, negara seharusnya mendapat ganti rugi dan pemulihan lingkungan sebesar Rp18,9 triliun. Namun, ironisnya, belum ada sepeser rupiah pun yang masuk ke kas negara hingga saat ini.
Greenpeace menegaskan bahwa uang denda yang harus dibayarkan korporasi tersebut bisa digunakan untuk pemulihan lingkungan. Bisa pula dimanfaatkan untuk rehabilitasi kesehatan masyarakat yang terkena dampak kebakaran.
Eksekusi hukuman itu pun bisa membuat perusahaan takut untuk melakukan pembakaran hutan dan lahan. Namun, karhutla masih terjadi lantaran hukuman tak kunjung dieksekusi. Tidak ada pula tekanan dari pemerintah selaku penggugat.
"Ke depan kita pikir harus ada tindakan tegas. Sejauh ini kita tidak melihat konsekuensi dari putusan pengadilan kepada, katakanlah pencabutan izin," kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Rusmadya Maharuddin.
"Harusnya untuk karhutla yang dianggap
extraordinary, penanganannya juga harus
extraordinary," tutur dia.
Pelanggaran HAM Masa LaluJanji penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang dikumandangkan Jokowi pada 2014 juga tidak bisa direalisasikan. Penanganan HAM ini juga menjadi PR Jokowi pada periode kedua.
Soal ini, Komisi Nasional (Komnas) HAM sudah memberikan rapor merah pada pemerintahan Jokowi-JK ihwal penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu pada Oktober 2018 silam.
"Nilai merah untuk kasus yang HAM berat. Itu yang paling parah sama sekali tidak ada pergerakan, enggak ada kemajuan," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik di salah satu kafe di Cikini, Jakarta, Jumat (19/10/2018).
Pada April 2016, pemerintah sendiri sempat mengadakan Simposium Nasional bertajuk
Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan. Banyak pihak duduk bersama untuk mencari solusi.
Memasuki Februari 2017, Jokowi mengaku sudah menginstruksikan Wiranto dan Jaksa Agung Prasetyo untuk menyelesaikan tujuh kasus pelanggaran HAM masa lalu. Baik yudisial ataupun non-yudisial.
Akan tetapi, tidak ada kabar positif. Kejaksaan Agung menyatakan sulit untuk mencari fakta, bukti, dan saksi. Karenanya, solusi yang akan ditempuh adalah dengan non-yudisial. Berkas lalu dikembalikan kepada Komnas HAM.
Pun demikian dengan KontraS yang menyebut kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu seperti Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982 - 1985, Talangsari Lampung 1989, Peristiwa Mei 1998, Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998, Peristiwa DOM Aceh dan Pasca DOM 1989 - 1998, Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II 1998-1999 belum dituntaskan oleh pemerintahan Jokowi.
"Masih mengalami kemandekan sepanjang 4 tahun pemerintahan Jokowi," mengutip evaluasi yang diterbitkan KontraS.
Revolusi Mental Belum OptimalDemikian juga dengan Revolusi Mental. Selama periode pertama Jokowi, program Revolusi Mental belum membuahkan hasil, jika tidak ingin dikatakan gagal.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai Revolusi Mental yang dicanangkan dan dilaksanakan Jokowi di periode pertama memang belum berjalan optimal. Hasilnya pun jadi tak maksimal.
Dia mengamini bahwa pemerintah sudah mengonsep sedemikian rupa. Berbagai program dan peraturan turunan pun telah diterbitkan. Namun, perilaku aparatur sipil negara (ASN) masih belum berubah secara signifikan.
"Adalah mengenai pengawasannya, program sudah banyak, aturan sudah dibuat sedemikian rupa, tetapi yang menjadi masalah ini menyangkut perilaku birokrasi ASN," kata Trubus.
Dalam pelaksanaan Revolusi Mental, Jokowi meneken Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Dalam Inpres itu, Jokowi menekankan pada lima program, yakni gerakan Indonesia melayani, gerakan Indonesia bersih, gerakan Indonesia tertib, gerakan Indonesia mandiri, dan gerakan Indonesia bersatu.
Kemudian Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani membentuk Kelompok Kerja Gerakan Nasional Revolusi Mental (Pokja GNRM) yang beranggotakan para pakar dan pejabat negara di pertengahan tahun 2015.
"Menurut saya pengawasannya harus ketat. Penegakan hukum, kedisiplinan rendah terhadap ASN, itu belum begitu optimal," ujar Trubus.
Pendekatan Militeristik di PapuaMasalah lain yang mendera pemerintahan periode pertama Jokowi adalah Papua. KontraS menilai Jokowi tidak mengubah pola pendekatan yang dilakukan terhadap masyarakat Papua. Menurut KontraS, Jokowi masih tetap menggunakan pakem lama, yakni cenderung militeristik.
"Pendekatan keamanan yang terus digaungkan nyatanya tidak menjawab persoalan yang terjadi," mengutip hasil evaluasi KontraS.
Dialog damai, bagi KontraS, seharusnya dijadikan prioritas utama untuk menjawab segala jenis masalah yang ada di benak masyarakat Papua. Bukan dengan pendekatan militer, karena justru menimbulkan korban jiwa yang tidak memiliki kaitan sama sekali dengan gerakan separatis.
"Selain itu, masih terjadi stigmatisasi terhadap masyarakat Papua sebagai 'separatis' atau 'pengacau' dan sebagainya, sehingga dianggap layak untuk dikriminalisasikan," mengutip evaluasi KontraS.
Diketahui Papua sempat bergejolak di bulan-bulan terakhir Jokowi menjabat sebagai presiden di periode pertama. Itu bermula dari kasus lontaran ujaran rasialisme di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur pada pertengahan Agustus.
Dampaknya, aksi unjuk rasa berujung kerusuhan berturut-turut terjadi di berbagai wilayah di Papua dan Papua Barat. Massa mendesak pelaku ujaran rasialisme terhadap mahasiswa Papua diusut tuntas.
Kerusuhan menjalar di banyak tempat. Jayapura, Sorong, Timika, Merauke dan beberapa wilayah lainnya. Di Jakarta, mahasiswa Papua juga sempat berunjuk rasa seraya mengibarkan bendera Bintang Kejora di seberang Istana Merdeka.
Imbas kerusuhan di Papua dan Papua Barat pun sangat luar biasa. Selain perekonomian, kerusuhan juga mengakibatkan korban jiwa, baik dari sipil maupun aparat.
Revisi UU KPKRevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) menjadi satu dari sekian masalah lain peninggalan periode pertama Jokowi. Gelombang penolakan terhadap Revisi UU KPK datang silih berganti. Dari masyarakat awam, pegawai KPK, aktivis anti-korupsi, hingga mahasiswa.
Aksi unjuk rasa juga dilakukan beberapa kali. Tak jarang aksi-aksi itu berujung kericuhan.
Namun nyatanya pemerintah dan DPR seolah 'tutup kuping dan mata'. DPR tetap mengesahkan Revisi UU KPK menjadi UU pada 17 September lalu.
Jokowi pun didesak untuk segera menerbitkan Perppu KPK karena banyak pihak menilai UU KPK yang baru memuat aturan-aturan yang dapat melemahkan KPK.
Jokowi sendiri sempat akan mempertimbangkan menerbitkan Perppu KPK.
"Soal UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, banyak sekali diberikan pada kita, utamanya masukan itu berupa penerbitan Perppu. Tentu akan kita hitung, setelah kita putuskan, akan kami sampaikan," ujar Jokowi kepada wartawan usai pertemuan tersebut pada Kamis (26/9).
Namun hingga hari ini, Jokowi tak juga mengeluarkan Perppu KPK. Bahkan Jokowi cenderung tutup mulut beberapa hari terakhir menjelang pelantikan ketika ditanya terkait Perppu KPK.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai keputusan Jokowi soal Perppu KPK akan memperlihatkan posisi yang sebenarnya dalam agenda pemberantasan korupsi. Jokowi berjanji akan memperkuat KPK dalam janjinya ketika Pilpres 2014 maupun Pilpres 2019.
"Kalau misalnya benar (tak mengeluarkan Perppu KPK), ya berarti nanti kita bisa nilai Pak Jokowi lebih menghitung posisi politiknya terhadap partai politik atau posisi politiknya terhadap rakyat yang sudah memilihnya dan dia wakili," kata Bivitri kepada CNNIndonesia.com, Rabu (2/10).
Sistem Zonasi Mendapatkan SekolahSistem zonasi dalam PPDB juga tak ketinggalan menjadi perhatian di periode pertama Jokowi. Sistem zonasi ini pertama kali diterapkan pada 2017 lalu. Meski ada penolakan, terutama orang tua siswa, Kemendikbud kembali menerapkan sistem serupa pada 2018 dan 2019.
Sistem zonasi mewajibkan sekolah tingkat SD hingga SMA/SMK menerima siswa baru berdasarkan domisili. Sekolah harus memprioritaskan calon siswa yang tinggal dekat dengan sekolah tersebut. Bukan berdasarkan nilai yang dimiliki siswa.
Menurut Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nadia Fairuraza Azzahra, pemerintahan Jokowi periode kedua mesti menekankan pemerataan infrastruktur pendidikan dan kualitas guru. Dengan begitu, manfaat dari sistem zonasi dapat dirasakan secara menyeluruh dan semua siswa mendapat kualitas pendidikan yang sama.
Pemerintah memang sudah menempuh sejumlah hal dari tahun ke tahun. Itu dilakukan demi menyempurnakan penerapan sistem zonasi.
Salah satunya adalah merevisi syarat Kartu Keluarga saat pendaftaran. Dahulu, siswa dapat diterima di sekolah jika menyertakan Kartu Keluarga yang diterbitkan setahun sebelumnya. Kini, hanya bisa diterima jika KK itu diterbitkan 6 bulan sebelumnya.
Meski begitu, tetap harus ada penyempurnaan oleh Jokowi di periode kedua. Jika tidak, suara-suara sumbang akan selalu muncul setiap tahun ajaran baru tiba setiap tahunnya.