Pelanggaran HAM Masa LaluJanji penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang dikumandangkan Jokowi pada 2014 juga tidak bisa direalisasikan. Penanganan HAM ini juga menjadi PR Jokowi pada periode kedua.
Soal ini, Komisi Nasional (Komnas) HAM sudah memberikan rapor merah pada pemerintahan Jokowi-JK ihwal penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu pada Oktober 2018 silam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nilai merah untuk kasus yang HAM berat. Itu yang paling parah sama sekali tidak ada pergerakan, enggak ada kemajuan," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik di salah satu kafe di Cikini, Jakarta, Jumat (19/10/2018).
Pada April 2016, pemerintah sendiri sempat mengadakan Simposium Nasional bertajuk
Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan. Banyak pihak duduk bersama untuk mencari solusi.
Memasuki Februari 2017, Jokowi mengaku sudah menginstruksikan Wiranto dan Jaksa Agung Prasetyo untuk menyelesaikan tujuh kasus pelanggaran HAM masa lalu. Baik yudisial ataupun non-yudisial.
Akan tetapi, tidak ada kabar positif. Kejaksaan Agung menyatakan sulit untuk mencari fakta, bukti, dan saksi. Karenanya, solusi yang akan ditempuh adalah dengan non-yudisial. Berkas lalu dikembalikan kepada Komnas HAM.
Pun demikian dengan KontraS yang menyebut kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu seperti Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982 - 1985, Talangsari Lampung 1989, Peristiwa Mei 1998, Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998, Peristiwa DOM Aceh dan Pasca DOM 1989 - 1998, Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II 1998-1999 belum dituntaskan oleh pemerintahan Jokowi.
"Masih mengalami kemandekan sepanjang 4 tahun pemerintahan Jokowi," mengutip evaluasi yang diterbitkan KontraS.
Revolusi Mental Belum OptimalDemikian juga dengan Revolusi Mental. Selama periode pertama Jokowi, program Revolusi Mental belum membuahkan hasil, jika tidak ingin dikatakan gagal.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai Revolusi Mental yang dicanangkan dan dilaksanakan Jokowi di periode pertama memang belum berjalan optimal. Hasilnya pun jadi tak maksimal.
Dia mengamini bahwa pemerintah sudah mengonsep sedemikian rupa. Berbagai program dan peraturan turunan pun telah diterbitkan. Namun, perilaku aparatur sipil negara (ASN) masih belum berubah secara signifikan.
"Adalah mengenai pengawasannya, program sudah banyak, aturan sudah dibuat sedemikian rupa, tetapi yang menjadi masalah ini menyangkut perilaku birokrasi ASN," kata Trubus.
Dalam pelaksanaan Revolusi Mental, Jokowi meneken Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Dalam Inpres itu, Jokowi menekankan pada lima program, yakni gerakan Indonesia melayani, gerakan Indonesia bersih, gerakan Indonesia tertib, gerakan Indonesia mandiri, dan gerakan Indonesia bersatu.
Kemudian Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani membentuk Kelompok Kerja Gerakan Nasional Revolusi Mental (Pokja GNRM) yang beranggotakan para pakar dan pejabat negara di pertengahan tahun 2015.
"Menurut saya pengawasannya harus ketat. Penegakan hukum, kedisiplinan rendah terhadap ASN, itu belum begitu optimal," ujar Trubus.
Pendekatan Militeristik di PapuaMasalah lain yang mendera pemerintahan periode pertama Jokowi adalah Papua. KontraS menilai Jokowi tidak mengubah pola pendekatan yang dilakukan terhadap masyarakat Papua. Menurut KontraS, Jokowi masih tetap menggunakan pakem lama, yakni cenderung militeristik.
"Pendekatan keamanan yang terus digaungkan nyatanya tidak menjawab persoalan yang terjadi," mengutip hasil evaluasi KontraS.
Dialog damai, bagi KontraS, seharusnya dijadikan prioritas utama untuk menjawab segala jenis masalah yang ada di benak masyarakat Papua. Bukan dengan pendekatan militer, karena justru menimbulkan korban jiwa yang tidak memiliki kaitan sama sekali dengan gerakan separatis.
"Selain itu, masih terjadi stigmatisasi terhadap masyarakat Papua sebagai 'separatis' atau 'pengacau' dan sebagainya, sehingga dianggap layak untuk dikriminalisasikan," mengutip evaluasi KontraS.
Diketahui Papua sempat bergejolak di bulan-bulan terakhir Jokowi menjabat sebagai presiden di periode pertama. Itu bermula dari kasus lontaran ujaran rasialisme di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur pada pertengahan Agustus.
Dampaknya, aksi unjuk rasa berujung kerusuhan berturut-turut terjadi di berbagai wilayah di Papua dan Papua Barat. Massa mendesak pelaku ujaran rasialisme terhadap mahasiswa Papua diusut tuntas.
Kerusuhan menjalar di banyak tempat. Jayapura, Sorong, Timika, Merauke dan beberapa wilayah lainnya. Di Jakarta, mahasiswa Papua juga sempat berunjuk rasa seraya mengibarkan bendera Bintang Kejora di seberang Istana Merdeka.
Imbas kerusuhan di Papua dan Papua Barat pun sangat luar biasa. Selain perekonomian, kerusuhan juga mengakibatkan korban jiwa, baik dari sipil maupun aparat.