Ma'ruf kecil tumbuh sebagai anak yang cerdas dan lincah. Saat memasuki masa sekolah, pada pagi hari, Ma'ruf belajar di Sekolah Rakyat Kresek, Banten tahun 1955 atau saat ini setara SD.
Lalu pada sore harinya dilanjutkan dengan belajar di Madrasah guna memperkuat pengetahuan tentang agama. Di madrasah, Ma'ruf belajar mengaji dengan para ustaz muda. Tak jarang, ia turut mendengarkan kakeknya ketika mengajar di sana.
Ma'ruf kecil juga dikenal sebagai sosok yang cerdas dimata para sahabat-sahabatnya. Arif Punto menuils bahwa Ustaz Zaenuddin, salah satu teman sekelas Ma'ruf saat menimba ilmu di Sekolah Rakyat Kresek bercerita tentang kecerdasan sekaligus kenakalan Ma'ruf.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Zaenuddin mengisahkan suatu hari Ma'ruf sempat tertidur di dalam ruang kelas saat mata pelajaran tengah berlangsung. Padahal, salah seorang guru sedang menerangkan materi pelajaran. Alhasil, Ma'ruf pun dibangunkan dan terkena 'semprot' sang guru.
Meski sempat tertidur, namun Ma'ruf rupanya mampu menjawab pertanyaan dari gurunya dengan benar.
Setelah tamat di Sekolah Rakyat dan Madrasah Ibtidaiyah, keluarganya kemudian mengirim Ma'ruf untuk menimba ilmu ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Tengah sekitar tahun 1958.
Tebuireng merupakan Pondok Pesantren yang didirikan oleh pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia,NU, Hasyim Asyari. Faktor itulah yang membuat Ayah dan Kakeknya berkukuh untuk menyekolahkan Ma'ruf di pesantren yang didirikan tahun 1899 itu.
Alhasil ia diterima belajar di Tebuireng. Ma'ruf mulai belajar di Tebuireng dengan sedikit mundur, yakni dari jenjang dasar, madrasah ibtidaiyah (setara SD) kelas 6.
Pelbagai ilmu agama banyak dipelajari tatkala mondok di Tebuireng. Ma'ruf banyak mendalami dan mengkaji berbagai kitab-kitab, tafsir hingga ilmu fiqih yang berkaitan dengan Islam.
Ma'ruf mengaku takzim dengan para Kiai-kiai yang sudah mengajarnya tatkala belajar di Pesantren Tebuireng. Misalnya, ia menyebut Kiai Tahmid yang kerap mengajarkan Kitab Iqna' menjadi salah satu kiai favoritnya.
Selain itu, terdapat Kiai kelahiran Mekkah yang bernama Idris Kamali turut menjadi favoritnya selama mondok. Kiai Kamali kerap mengajarkan tafsir Ilmu Alquran dan hadis, seprrti tafsir Al Baghawi, Al Khazi , Ibu Katsir, dan Hadis Bukhari.
"Di luar jam sekolah, saya banyak memperdalam ilmu fiqih dan tafsir," aku Ma'ruf.
Kegiatan otodidak semacam itu terus dilakukannya secara rutin di Tebuireng. Sehingga, penguasaannya terhadap kitab-kitab kuning yang ditulis ulama terdahulu semakin paripurna.
Nyaris Jadi PolisiSetelah lulus pondok pesantren Tebuireng, Ma'ruf lantas kembali ke Banten dan 'mengembara' dari satu pesantren ke pesantren lainnya untuk terus memperdalam ilmu agamanya. Berbeda dengan saat menimba ilmu di Tebuireng yang menetap di satu pesantren selama beberapa tahun.
Tercatat, Ma'ruf sempat mencari ilmu di Pesantren Caringin, Labuan; Pesantren Petir, Serang; dan Pesantren Pelamunan, Serang. Ia makin mematangkan pengetahuan tentang Agama Islam karena mendapatkan ilmu langsung dari kiai-kiai yang disegani.
Setelah itu, Ma'ruf memutuskan untuk meneruskan jenjang pendidikannya di Universitas Ibnu Chaldun, Jakarta. Ia lulus dengan predikat sarjana muda. Ma'ruf mengaku tak ingin melanjutkan sampai jenjang sarjana karena sudah disibukkan dengan pelbagai urusan organisasi dan mengajar.
Ada cerita unik ketika Ma'ruf lulus kuliah di Universitas tersebut. Ia sempat mendapatkan tawaran sebagai prajurit kepolisian sekitar tahun 1965. Ma'ruf yang kala itu berusia 22 tahun pun nyaris jadi polisi.
"Saya pernah diberi tawaran untuk jadi polisi. Itu sekitar tahun 65. Dan saya dipanggil untuk jadi polisi," kata Ma'ruf saat tengah berkampanye di Kalimantan beberapa waktu lalu.
Akan tetapi Ma'ruf akhirnya menolak tawaran tersebut. Nenek Ma'ruf yang sudah mengasuhnya sejak kecil melarang. Neneknya, kata Ma'ruf, menyarankannya agar tetap istikamah untuk menjadi ulama dan kiai besar di Indonesia.
"Jadi kiai aja. Jadi saya jalurnya jalur kiai, ulama," kenang Ma'ruf.
Pentolan PBNU dan MUIPada pertengahan tahun 1964 Ma'ruf dan keluarga kecilnya menjejakkan kaki di Kelurahan Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Saat itu, kariernya di bidang sosial dan politik moncer dan terus menanjak.
Arif Punto melukiskan, di masa mudanya Ma'ruf sudah jadi guru di berbagai sekolah di kawasan Tanjung Priok.
Selain itu, Ma'ruf juga aktif berorganisasi dan pernah menginisasi Gerakan Pemuda (GP) Ansor ranting Koja. Ia turut ditasbihkan sebagai Ketua Umum GP Ansor Ranting Koja yang pertama.
Kala memimpin GP Ansor Koja, Ma'ruf pernah menginisasi pembentukan grup Drumband GP Ansor Koja. Pembentukan itu beralasan agar pemuda yang tergabung dalam GP Ansor memiliki kreativitas di bidang seni dan budaya.
Lambat laun, keberadaan Ma'ruf makin disegani di kawasan Jakarta Utara. Ia kemudian terpilih sebagai Ketua Umum GP Ansor Cabang Tanjung Priok di masa perlawanan terhadap PKI. Ma'ruf juga sempat menjadi ketua Front Pemuda yang beranggotakan organisasi pemuda lintas partai.
Kariernya pun makin moncer. Sejak tahun 1968-1976, dia diangkat menjadi Wakil Ketua Nahdhatul Ulama wilayah DKI Jakarta di usia yang masih 23 tahun. Jabatan itu ia emban merangkap sebagai Ketua Umum NU Cabang Tanjung Priok.
Setelah itu, nama Ma'ruf masuk tercatat sebagai Katib Aam Syuriah PBNU pada periode 1989-1994. Ia sempat mengemban jabatan sebagai Rais Aam PBNU pada periode 2015-2018. Itu merupakan Jabatan tertinggi Ma'ruf semasa berkarier di PBNU.
Bila membicarakan sosok Ma'ruf Amin sudah pasti juga tak bisa dilepaskan dari organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sosoknya sudah melekat dalam organisasi yang banyak masyarakat memandangnya sebagai "wakil Islam" di Indonesia.
Ma'ruf pun menjadi pentolan MUI sampai saat ini. Ia bergabung dengan MUI pada tahun 1990. Posisinya pun menanjak saat diangkat sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI periode 2001-2007 dan puncaknya menjabat sebagai Ketua Umum MUI 2015 sampai sekarang.
(rzr/osc)