Jakarta, CNN Indonesia -- Kebijakan pemerintah terkait
pemekaran wilayah di
Papua diprediksi tak bakal manjur menyelesaikan akar masalah konflik di Bumi Cenderawasih. Pembentukan provinsi Papua Selatan justru akan menambah keberadaan personel militer dan keamanan di wilayah baru, yang bisa memperkuat
konflik di Papua.
Tokoh Papua sekaligus Ketua Sinode Gereja Kingmi, pendeta Benny Giay khawatir penambahan pasukan militer di wilayah baru akan mengundang reaksi masyarakat hingga mengulang konflik berkepanjangan. Sementara persoalan rasisme yang belakangan mencuat di Papua, kata Benny, bakal teralihkan dengan isu pemekaran tersebut.
"Kami berpikir [pemekaran] ini bukan solusi. Ini hanya untuk memperbanyak militer, memperbanyak institusi keamanan di Tanah Papua," kata Benny kepada
CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Rabu (30/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Benny berkata pemerintah sebaiknya menyelesaikan masalah besar rasisme dengan menangkap dan mengadili dalangnya, daripada melakukan pemekaran wilayah.
"Itu [rasisme] sangat sensitif buat kami. Kebijakan pemekaran itu tidak usah, karena hanya menambah beban. Nanti masyarakat di sini akan tolak, dan itu akan bermasalah dengan tentara lagi, dengan polisi lagi," ujar Benny.
Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan pemekaran provinsi di Papua akan membuat pengelolaan pembangunan lebih efektif, selain membangun iklim politik yang lebih kondusif.
"Sekarang Kementerian Dalam Negeri sedang bicara soal Papua, dalam pengertian bagaimana membangun iklim kondusif politik di Papua," ujar Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (29/10).
Namun dia belum dapat memastikan perubahan pendekatan keamanan di Papua karena pihaknya harus melakukan pemetaan secara komprehensif kepada pihak terkait.
"Pendekatan kultural dan kemanusiaan itu harus tetap menjadi fokus utama tanpa menghilangkan pendekatan hukum dan keamanan, serta pendekatan militer kalau diperlukan misal kalau ada separatisnya," kata Mahfud.
Akademisi dari Universitas Cenderawasih Marinus Yaung mengatakan pemekaran akan berimbas pada pengerahan aparat melalui penambahan Kodam baru dan distribusi pasukan makin tersebar di pelosok Papua.
Dengan kondisi ini, kata Marinus, tak ada yang bisa menjamin konflik berbuntut kekerasan akan meredup.
"Pemerintah lupa bahwa pemerintah hanya mengendalikan kekerasan, tapi tidak konflik," ujar Marinus.
 Presiden Jokowi saat meresmikan Jembatan Youtefa yang dia sebut sebagai simbol pembangunan Papua. (CNN Indonesia/Tiara Sutari) |
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas meyakini konflik di Papua akan tetap ada. Apalagi bila menilik motif pemekaran yang bukan didasari pemerataan pelayanan publik di Papua, melainkan alasan politik belaka.
"Ini [pemekaran] lebih banyak dimensi politik, untuk memecah belah kekuatan gerakan rakyat Papua Merdeka. Jadi kalau dipecah provinsinya, diharapkan masing-masing daerah akan sibuk dengan pembangunan dan elitenya akan melupakan persoalan
distrust [ketidakpercayaan], kekerasan, politik dan lain-lain," kata peneliti LIPI yang fokus mengkaji isu Papua itu.
Marinus menambahkan, strategi memecah belah kekuatan gerakan di Papua belum tentu berhasil, karena faktanya aspirasi untuk merdeka sejak dulu hingga kini masih ada.
Pakar di bidang sosial politik tersebut lebih lanjut mengingatkan rekam jejak pemerintah pusat yang melulu memandang penyelesaian masalah di Papua namun lewat 'kacamata' Jakarta.
Dia menilai negara sepertinya mengabaikan persoalan kemanusiaan dan melakukan marginalisasi terhadap orang Papua. Banyak orang Papua meninggal dunia karena konflik berkepanjangan, banyak pula yang tidak terdidik.
"Yang negara pikirkan itu, masalah bisa diselesaikan dengan pembangunan infrastruktur dan memberikan kekuasaan. Justru ini tidak menyelesaikan masalah," ujar Marinus.
Saat konflik pecah di Papua pada Agustus lalu, Bupati Nduga Yairus Gwijangge sempat meminta bantuan Ketua DPR kala itu, Bambang Soesatyo. Dia meminta agar Presiden Joko Widodo segera menarik personel TNI dan Polri yang sedang menggelar operasi militer di Papua sejak awal Desember 2018.
Politikus PDIP Budiman Sudjatmiko juga pernah menyampaikan bahwa dirinya setuju dengan penarikan kekuatan militer dari Papua. Menurutnya, penarikan militer sama saja menarik kekerasan dari Papua.
Hingga berita ini diturunkan,
CNNIndonesia.com berusaha menghubungi pihak TNI namun belum mendapat respons terkait hal ini.
Pemekaran Tanpa DialogCahyo mengingatkan kebijakan pemekaran wilayah pernah ditempuh Presiden Megawati Soekarnoputri saat memekarkan Provinsi Papua Barat. Namun hingga kini konflik di Papua masih berlanjut.
"Kalau itu dari Jakarta tanpa melibatkan provinsi maka pemekaran hanya akan menambah persoalan di Papua, akan mengakumulasi
distrust masyarakat Papua ke Pemerintah Pusat," kata Cahyo.
 Mahasiswa Papua di Jakarta menggelar demonstrasi melawan tindakan rasisme. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Belum lagi soal prosedur pemekaran yang diduga mengesampingkan Pasal 76 dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Bunyi pasal itu mengharuskan persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua sebelum melakukan pemekaran Papua.
"Seharusnya pemerintah juga dialog dulu dengan masyarakat Papua, lalu apakah mau ada pemekaran atau tidak. Itu kan harus didiskusikan dengan perwakilan rakyat Papua, DPR dan lain sebagainya," tutur Cahyo.
"Ini kan tidak, pemerintah hanya mendengar segelintir elite yang mengatasnamakan masyarakat Papua," ujarnya lagi.
Dia mengatakan pemekaran provinsi semestinya didahului dengan kajian mengenai kesatuan sosial budaya serta kesiapan sumber daya manusia. Cahyo menilai pemekaran tersebut terkesan dipaksakan.
"Misalnya di Papua Selatan itu kan belum ada lima kabupaten. Jadi harus dimekarkan lagi," kata Cahyo.
Marinus pun mengingatkan Pemerintah Pusat untuk sungguh-sungguh mengimplementasikan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua di daerah pemekaran.
"Kami akan terima pemekaran itu tapi harus diakui bahwa pemekaran itu betul untuk orang Papua. Saya berharap pemekaran wilayah ini menjadi
pilot project dari implementasi UU Otsus yang sebenarnya di mana seluruh aspek kehidupan dikuasai orang Papua," kata Marinus.
Dia pun mengusulkan perlu ada kebijakan pemerintah yang mengatur porsi penggunaan tenaga kerja dan ahli dari orang Papua asli. Hal ini, kata Marinus, paling tidak akan menjawab atau mengurangi resistensi orang Papua terhadap Jakarta.
Pada Selasa (29/10), Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memastikan satu dari dua provinsi baru di Papua akan dinamai Papua Selatan. Hal ini ia sampaikan usai berkunjung ke Papua mendampingi Presiden Joko Widodo pada akhir pekan lalu.
Sebelum itu, pemerintah pusat memastikan soal pemekaran dua provinsi di Papua. Keputusan ini merespons aspirasi sejumlah tokoh Papua yang menemui Presiden Joko Widodo setelah terjadi serangkaian konflik di daerah paling timur Indonesia tersebut.
[Gambas:Video CNN] (ika/pmg)