Jakarta, CNN Indonesia --
Setara Institute meminta Kapolri Jenderal
Idham Azis memastikan kerja anak buahnya dalam menangani ancaman terhadap Pancasila dan kebhinekaan berlangsung secara profesional, demokratis, serta menghormati dan melindungi hak asasi manusia (HAM).
Direktur Riset Setara Institute Halili mengatakan Kepolisian harus mengedepankan pendekatan demokratis, sipil, dan non kekerasan dalam menangani ancaman tersebut.
"Ancaman terhadap Pancasila dan kebinekaan itu nyata, namun kepolisian mesti mengambil peran presisi," ujar Halili dalam diskusi di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta, Kamis (7/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Halili menuturkan penegakan hukum soal itu harus sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dia berkata pendekatan yang sama juga harus dipilih sebagai prioritas menangani aksi-aksi damai sebagai saluran ekspresi dan kebebasan mengemukakan pendapat.
Hasil Riset
Halili membeberkan riset Setara institute mengidentifikasi tiga lokus kritis ancaman terhadap Pancasila dan kebinekaan, yakni sekolah, perguruan tinggi, serta institusi pemerintah dan aparat.
Pada dunia persekolahan, Halili menyebut survei pada tiga tahun lalu di 171 sekolah negeri menunjukkan 0,3 persen siswa terpapar ideologi teror, 2,4 persen intoleran aktif, 35,7 persen intoleran pasif, dan sisanya 61,6 persen toleran.
Pada perguruan tinggi, Halili berkata hasil survei di 10 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) pada 2019 menunjukkan 8,1 persen mahasiswa sangat 'formalis', ingin berjihad untuk menjadikan keyakinannya menjadi regulasi formal negara.
"Ketiga, studi kebijakan Setara pada 2018 menunjukkan bahwa regulasi teknis dan prosedur operasional yang berlaku di lingkungan ASN [Aparatur Sipil Negara] tidak memadai dalam memitigasi dan menangani aparat yang tidak setia pada Pancasila," ujarnya.
Pada sisi lain, Halili menyampaikan politisasi SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) yang secara nyata merusak dan mengganggu harmoni sosial serta integrasi nasional juga harus menjadi perhatian bagi Idham selaku Kapolri yang baru.
Terkait hal itu, Halili berharap kepolisian mempertahankan Satgas Nusantara Polri yang dibentuk sejak 2018 untuk mengamankan agenda politik. Sebab, dia berkata Satgas itu mampu meredam dampak destruktif yang potensial terjadi.
Berdasarkan riset Setara mengenai Pilkada 2018 di 16 lokasi, Halili menyebut tidak terlihat gangguan stabilitas keamanan yang serius pada tahap pra atau pasca Pilkada.
Lebih dari itu, Halili mengingatkan Idham bahwa proses Pilkada Serentak 2020 akan dilangsungkan pada tahun ini. Dia berkata Pilkada 2020 merupakan salah satu ujian besar bagi kepemimpinan Kapolri baru dalam menangani ancaman terhadap Pancasila.
"Terutama melalui politisasi agama oleh para politisi serta kelompok-kelompok pendukung dan simpatisan mereka," ujar Halili.
Reformasi dan Penguatan Internal KepolisianHalili juga mengimbau Idham melakukan reformasi dan penguatan kapasitas internal kepolisian. Dia menyebut kepolisian merupakan salah satu aktor paling menonjol dalam pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB).
"Maka mendesak bagi Kapolri untuk melakukan audit tematik dalam jabatan atas petinggi dan anggota serta screening ideologis dalam rekrutmen di lingkungan internal kepolisian," ujar Halili.
Halili menuturkan kepolisian tercatat menjadi pelaku dalam 480 tindakan pelanggaran KBB sebagaimana menurut data laporan riset Setara dalam 12 tahun terakhir. Dalam konteks itu, dia berkata aparat kepolisian menampilkan anomali dan paradoks yang serius.
Halili menyebut kepolisian termasuk pelanggar aktual yang menonjol di samping pemerintah daerah padahal selaku aparatur negara yang dalam disiplin HAM disebut pemangku kewajiban, mestinya kepolisian disebut menjadi pelindung hak warga negara atas KBB.
"Kepolisian juga mesti berbenah pada ranah internal. Beberapa anggota kepolisian terpapar radikalisme, mulai dari Brigadir K di Jambi pada tahun 2018 hingga Bripda NOS yang dua kali ditangkap pada tahun 2019," ujarnya.
Halili menyampaikan pihaknya mengimbau Idham mengoptimalkan peran kepolisian untuk memperkuat kebhinekaan yang dikatakan esensi paling elementer dari 'ke-Indonesiaan'.
"Kapolri baru hendaknya memimpin kepolisian agar menjadi lembaga yang ramah dan melindungi keragaman identitas dan perlindungan hak-hak mereka sebagai warga negara, terutama kelompok-kelompok minoritas yang selama ini sering menjadi korban," ujar Halili.
Selain reformasi internal dan memperkuat kebhinekaan,Halili meminta Idham mampu menangani politisasi SARA yang menguat dalam politik elektoral, baik di tingkat nasional hingga lokal.
Dia berkata pergelaran politik elektoral dalam beberapa waktu terakhir memberikan pelajaran penting mengenai kebutuhan penanganan politisasi dan diskriminasi berbasis SARA.
"Politisasi identitas berbasis SARA merupakan fenomena marak yang nyata-nyata merusak dan mengganggu harmoni sosial dan integrasi nasional," ujarnya.
(panji/fea)