Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Partai Keadilan Sejahtera (
PKS) meminta Menteri Pertahanan
Prabowo Subianto dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mencontoh ketegasan sikap Menteri Luar Negeri Retno Marsudi soal menjaga kedaulatan teritorial
perairan Natuna dari klaim China.
Ia menyatakan bahwa sikap Retno terhadap klaim nine dash line (klaim atas sembilan titik imaginer) pemerintah China di perairan Natuna sangat tegas. Pesannya pun sangat jelas.
"Gak usah jauh-jauh, ikuti saja seperti yang disampaikan Ibu Retno. Jelas. Ibu Retno
message-nya jelas, diksi yang dipakai juga bagus. Jadi kalau diksinya 'dia sahabat', 'jangan dibesar-besarkan', itu gak ada ketegasan sama sekali," kata Sohibul di Kantor DPP PKS, Jakarta, Senin (6/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, Prabowo dan Luhut sempat menyerukan langkah diplomasi damai dalam sengketa perairan di Natuna dengan Pemerintah China.
Prabowo meyakini ada solusi terbaik atas perairan Natuna, sebab Indonesia dan China merupakan dua negara yang bersahabat.
"Saya kira ada solusi baik. Kita selesaikan dengan baik ya, bagaimanapun China negara sahabat," ujar Prabowo.
Sementara Menteri Retno menegaskan Indonesia tidak akan pernah mengakui nine dash line China di perairan Natuna, Kepulauan Riau. Retno mengatakan batas wilayah itu merupakan klaim sepihak tanpa dasar hukum
"Indonesia tidak pernah akan mengakui 9 dash line, klaim sepihak yang dilakukan oleh China yang tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional, terutama UNCLOS 1982," ujar Retno usai rapat tertutup di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Jumat (3/1).
Sohibul menilai seharusnya Prabowo dan Luhut lebih tegas ketimbang Retno. Ia menyebut kerja Menteri Pertahanan adalah bersikap tegas menghadapi musuh, bukan malah bekerja seperti Menlu yang mengedepankan diplomasi.
"Mereka bilang alasan ini adalah bagian dari diplomasi. Yang harus diplomasi seperti itu justru [kerjaan] Menlu sebetulnya. Yang ini [Prabowo dan Luhut] harusnya lebih tegas. Ini kok terbalik, Menlu tegas, malah yang ini [Prabowo dan Luhut] justru berdiplomasi," kata dia.
Sohibul pun meminta Jokowi turun tangan untuk menyatukan pendapat antara para menterinya itu dalam menyikapi persoalan perairan Natuna.
Ia khawatir bila para menteri berbeda pandangan, maka bisa melemahkan Indonesia dalam menjaga kedaulatannya dengan maksimal.
"Jangan dibiarkan pendapat ini beragam begitu saja. Karena itu akan melemahkan kita, dari sisi pihak luar mereka akan sangat enjoy melihat diantara pejabat sendiri berbeda pendapat," kata dia.
Tak Perlu KompromiTerpisah, anggota Komisi I DPR dari Gerindra Fadli Zon menyatakan Indonesia tidak perlu berunding dengan China terkait perairan Natuna.
Menurutnya, perairan Natuna tidak perlu dibawa ke meja perundingan karena China tidak mengakui wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Natuna. Sebaliknya, Indonesia juga tidak mengakui wilayah tradisional penangkapan ikan nelayan China.
"Jadi, tak ada yang perlu dirundingkan. Itu mencederai konsistensi kita dalam menjaga kedaulatan Natuna sejauh ini," kata Fadli dalam keterangan yang diterima
CNNIndonesia.com.Dia menyatakan bahwa protes Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) atas masuknya kapal Tiongkok ke perairan Natuna sudah tepat.
Mengacu pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982, lanjutnya, China tak memiliki hak dan kedaulatan apapun di perairan Natuna, termasuk mengklaimnya sebagai wilayah tradisional penangkapan ikan nelayan.
Pasalnya, kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu, konsep yang dikenal dalam UNCLOS 1982 terkait wilayah tradisional penangkapan ikan adalah 'Traditional Fishing Rights' bukan 'Traditional Fishing Grounds'.
"
Hal itu diatur dalam Pasal 51 UNCLOS. Itu sebabnya masyarakat internasional tidak mengakui keabsahan sembilan garis putus yang diklaim oleh China.
Berangkat dari itu, Fadli menyampaikan bahwa Indonesia punya dasar hukum internasional yang kuat untuk menolak klaim China tersebut.
Apalagi, ujar dia, putusan Permanent Court of Arbitration pada 2016 dalam sengketa antara Filipina melawan China telah menegaskan kembali UNCLOS 1982.
(rzr/mts/wis)