Jakarta, CNN Indonesia -- Polemik Indonesia dengan
China masih berlanjut di perairan
Natuna Utara. Kemarin,
TNI Angkatan Udara mengirim empat pesawat F-16 ke wilayah perairan di Kepulauan Riau tersebut. Keempat pesawat itu dikirim untuk melakukan patroli.
Pun demikian dengan China. Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya Achmad Taufiqoerrochman menyatakan China kemarin juga lebih dulu mengirim lagi dua kapal Coast Guard ke perairan Natuna Utara.
Sebelum itu sudah lebih dulu ada tiga kapal Coast Guard China, dua di antaranya bertahan di perairan Natuna Utara. Namun belum diketahui apakah dua kapal yang dikirim itu untuk menggantikan dua kapal yang sudah lebih dulu, atau justru penambahan kekuatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo melalui Menko Polhukam Mahfud MD menyinggung soal kedaulatan di perairan Indonesia. Menurut Jokowi, batas negara harus tetap dijaga dari asing.
"Tidak sejengkal batas pun. Kalau tanah tidak sejengkal tanah, kalau air tidak semili air pun bisa dimasuki oleh negara asing tanpa izin dan persetujuan pemerintah. Karena menurut Presiden kedaulatan itu tidak bisa ditukar dengan apapun," kata Mahfud, Senin (6/1).
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menyebut ada yang perlu diluruskan dalam konsep 'kedaulatan' dan 'hak berdaulat' di wilayah perairan Indonesia.
Menurutnya, wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang dimasuki kapal Coast Guard China bukanlah bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia.
"Di masyarakat dan berbagai media mempersepsikan bahwa Coast Guard China memasuki wilayah kedaulatan Indonesia. Padahal persepsi demikian tidak benar," kata Hikmahanto kepada
CNNIndonesia.com, Selasa (7/1).
[Gambas:Video CNN]Hikmahanto menjelaskan secara detail dari segi hukum internasional, ZEE bukan berada di laut teritorial Indonesia, melainkan di laut lepas (high seas).
Di laut lepas tidak dikenal konsep kedaulatan negara dan karenanya negara tidak boleh melakukan penegakan kedaulatan. Dalam konsep ZEE seperti ini menurut Hikmahanto, yang diperbolehkan hanya hak berdaulat.
"Dalam konsep ZEE sumber daya alam yang ada dalam ZEE diperuntukkan secara eksklusif bagi negara pantai. Inilah yang disebut sebagai hak berdaulat atau
sovereign right," jelas Hikmahanto.
Hal ini, menurut Hikmahanto justru berbeda dengan yang dipersoalkan di kalangan masyarakat, yakni Indonesia harus menegakkan kedaulatannya di perairan Natuna Utara sebagai bagian dari NKRI. Kata dia, kalaupun ada keterlibatan kapal-kapal dan personil TNI-AL maka pelibatan tersebut dalam rangka penegakan hukum.
Untuk diketahui berdasarkan Pasal 9 ayat (2) UU TNI maka TNI-AL selain bertugas untuk menegakkan kedaulatan, diberi tugas untuk menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional.
"Adapun yang dimaksud wilayah laut yurisdiksi nasional salah satunya adalah ZEE," tegas dia.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
Dari berbagai sumber dijelaskan ZEE merupakan zona yang luasnya 200 mil laut dari garis dasar pantai sebuah negara yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya.
Negara juga berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa. Konsep dari ZEE muncul dari kebutuhan yang mendesak.
Dari ZEE ini muncul Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Dalam penggunaan Indonesia biasa disebut Konvensi Hukum Laut Internasional atau Hukum Perjanjian Laut.
Sementara itu Pengadilan Arbitrase Tetap Internasional (Permanent Court of Arbitration/PCA) yang berada di bawah naungan PBB pernah memutus China melanggar kedaulatan Filipina di Laut Cina Selatan. Hal itu otomatis membuat klaim China atas ZEE Natuna Indonesia juga tidak sah.
Saat ini sudah ada 158 negara, termasuk Uni Eropa, telah bergabung dalam konvensi. Termasuk China dan Indonesia turut bergabung di dalamnya.
Namun, China tidak mengakui klaim Indonesia atas ZEE Natuna Utara karena zona itu berada di dalam nine dash line atau sembilan garis putus dan pulau yang dipegang teguh China. Perairan sejenis ZEE itu disebut oleh China sebagai Traditional Fishing Grounds.
Konsep teritori penangkapan ikan tradisional yang dipakai China itu berbeda di zaman sekarang, terutama sebagaimana diatur dalam UNCLOS.
"Dalam UNCLOS konsep yang dikenal adalah Traditional Fishing Rights, bukan Traditional Fishing Grounds. Indonesia sudah sejak lama mempertanyakan kepada pemerintah China apa yang dimaksud dengan Sembilan Garis Putus," ujar Hikmahanto.
"Namun hingga saat ini jawaban atas pertanyaan tersebut belum pernah diberikan oleh China," kata dia lagi.
Di sisi lain, Hikmahanto menjelaskan dengan aturan ZEE ini maka tidak ada satu negara pun yang bisa mengaku kedaulatannya di atas kawasan ZEE. Karenanya ia menegaskan Indonesia juga tidak berhak untuk melakukan upaya penegakan hukum di kawasan tersebut.
"Jadi Indonesia tidak bisa menindak Coast Guard China. Karena kan ini di laut lepas. Nah di laut lepas tidak boleh ada negara yang menegakkan kedaulatan," beber dia.
Hal yang paling mungkin terjadi kata Hikmahanto adalah adu kuat bertahan. Seperti yang terjadi sekarang ini, Badan Keamanan Laut (Bakamla) bersama TNI AL dan Coast Guard China dalam posisi sama-sama tidak menyerang. Kedua pihak memilih bertahan di perairan Natuna Utara.
Bagi negara yang menyerang duluan maka akan dinilai sebagai pelanggar hukum. Hal ini sempat terjadi saat Coast Guard Vietnam bertemu KRI TNI AL dan menabrakkan kapalnya ke KRI beberapa bulan lalu.
"Mereka (kapal Indonesia dan China) tidak muntahkan peluru karena yang muntahkan pertama dia akan salah menurut hukum internasional. Jadi nunggu sampai siapa yang bahan bakarnya habis dulu. Yang habis maka akan kembali. Tapi itu bukan pengusiran kan," jelas dia.
SolusiMenurut Hikmahanto Indonesia perlu menandai kawasan tersebut secara fisik. Kehadiran secara fisik dianggap penting dan memperkuat hak berdaulat suatu negara.
"Kehadiran secara fisik wajib dilakukan oleh pemerintah karena dalam konsep hukum internasional klaim atas suatu wilayah tidak cukup sebatas klaim di atas peta atau melakukan protes diplomatik tetapi harus ada penguasaan secara efektif (
effecive control). Penguasaan efektif dalam bentuk kehadiran secara fisik ini penting," tegas dia.
Kejadian ini diambil Hikmahanto menyusul perkara Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia melawan Malaysia. Saat itu, Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia atas kehadiran fisik ini.
Adapun beberapa bentuk kehadiran fisik yang bisa dilakukan oleh Indonesia. Pertama dengan nelayan Indonesia memancing di Natuna Utara, kedua perlu melakukan ekplorasi dan eksploitasi di landas kontinen.
Ketiga patroli penegakan hukum oleh Bakamla, KKP, TNI AL, dan Kepolisian ditingkatkan untuk menangkapi nelayan-nelayan asing termasuk dari China.
"Terakhir, patroli juga untuk melindungi nelayan Indonesia dan terus melakukan eksploitasi sumber daya alam di landas kontinen," tutup dia.