Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota tim hukum DPP
PDIP, Maqdir Ismail, menduga ada oknum Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) menyalahgunakan wewenang saat mengusut kasus dugaan suap yang melibatkan eks Komisioner KPU,
Wahyu Setiawan.
Maqdir mengambil contoh surat perintah penyelidikan KPK dalam kasus dugaan suap Wahyu itu diteken pada 20 Desember 2019. Menurutnya, waktu itu sangat pendek mengingat Surat Keputusan Presiden (Keppres) yang mengatur pemberhentian pimpinan KPK jilid IV, Agus Rahardjo Cs, jatuh pada 21 Oktober 2019.
Dalam Keppres itu juga dikatakan pengangkatan pimpinan baru akan dilakukan oleh presiden pada 20 Desember 2019.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Artinya apa? Pimpinan KPK itu tidak diberi kewenangan secara hukum untuk melakukan tindakan-tindakan apa yang selama ini jadi kewenangan mereka," kata Maqdir di DPP PDIP di Kantor PDIP, Jakarta, Rabu (15/1)
Lebih lanjut, Maqdir menyinggung salah satu mantan pimpinan KPK saat itu, Saut Situmorang, sudah menyatakan mundur pada 13 September 2019.
Agus Rahardjo dan Laode M Syarif juga menyerahkan mandat pengelolaan KPK kepada Jokowi pada 12 September 2019.
Melihat hal itu, kata Maqdir, semua yang dilakukan penyidik tanpa persetujuan pimpinan KPK sebagai bagian dari pembangkangan hukum berlaku.
"Ketika pimpinan KPK dengan Undang-undang KPK lama itu sifat dari kegiatan mereka adalah kolektif kolegial. Ketika ada tiga orang yang sudah mengundurkan diri, mestinya tidak sah, tidak bisa dilakukan proses hukum oleh mereka. Itu saya kira yang penting," kata Maqdir.
Maqdir menganggap banyak tindakan KPK dalam kasus dugaan suap terhadap Wahyu tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Ia menegaskan seharusnya lima mantan pimpinan KPK periode 2015-2019 lalu itu sudah tak memiliki kewenangan di KPK sejak Keppres diterbitkan pada 21 Oktober 2019 tersebut.
"Sekali lagi, saya mau tegaskan bahwa antara 21 Oktober sampai 20 Desember itu, lima orang pimpinan KPK tidak punya kewenangan lagi," ucap Maqdir.
[Gambas:Video CNN]Sementara itu, koordinator kuasa hukum PDIP, Teguh Samudera, mengingatkan bahwa Undang-undang KPK baru diundangkan pada 17 Oktober 2019.
Oleh karena itu, menurut Teguh, apapun tindakan yang dilakukan setiap orang di KPK secara kelembagaan, harus mengacu pada Undang-undang terbaru tersebut.
"Sehingga setelah 17 Oktober 2019, tindakan apa pun yg dilakukan oleh penyidik harus taat pada Undang-undang baru. Harusnya yang dilakukan KPK itu mengikuti ketentuan dalam UU itu," kata Teguh.
(rzr/has)