Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan hakim Mahkamah Agung (MA) Gayus Lumbuun mengatakan Presiden Joko Widodo (
Jokowi) tak bisa serta-merta memutuskan menolak kepulangan 689
WNI eks ISIS hanya lewat rapat terbatas.
Gayus menyebut pengambilan keputusan untuk menolak kepulangan ratusan WNI itu harus melalui proses hukum di pengadilan. Ia pun mendorong pemerintah membawa masalah ini ke pengadilan agar mendapatkan putusan yang adil.
"Jadi nanti hakim yang memutus, mana bisa presiden memutus di dalam ratas. Itu urusan hakim. Jadi ada keadilan yang dibangun sebagai negara hukum," kata Gayus ditemui usai diskusi di Kampus Universitas Indonesia (UI), Salemba, Jakarta, Rabu (12/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gayus mengatakan Jokowi selaku kepala negara harus melaksanakan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dalam Pasal 1 UUD 1945 tertulis antara lain, negara Indonesia adalah negara hukum.
Karenanya mantan anggota DPR itu tak sepakat keputusan yang diambil Jokowi dengan menolak pemulangan ratusan WNI eks ISIS itu tanpa melalui proses hukum di pengadilan.
Gayus menerima alasan pemerintah menolak pemulangan ratusan WNI eks ISIS itu salah satunya untuk melindungi sekitar 267 juta penduduk RI. Namun, cara melindungi ini harus melalui penegakkan hukum.
"Artinya apa? Pemerintah melindungi yang lebih luas daripada 600 orang, betul, tapi 600 (WNI eks ISIS) orang juga ada haknya juga, hak keadilan, hak asasi. Di mana dipilahnya? Di mana diukurnya? Itu di pengadilan," tuturnya.
[Gambas:Video CNN]Menurut Gayus, ratas yang digelar Jokowi kemarin dalam memutuskan nasib ratusan WNI eks ISIS itu tak punya pertimbangan lain selain keamanan. Sementara pertimbangan lain itu akan muncul di pengadilan.
Mantan politikus PDI-P itu menilai Jokowi hanya bisa sementara waktu menolak pemulangan ratusan WNI eks ISIS yang tersebar di kamp pengungsian Turki dan Suriah itu. Dalam proses menunggu ini, pemerintah menggelar proses hukum lewat pengadilan.
Untuk itu ia mendorong pemerintah segera mengumpulkan identitas 689 WNI itu agar memudahkan proses hukum di Tanah Air. Jika pemerintah tak bisa menghadirkan mereka maka persidangan bisa dilakukan dengan
in absentia atau mengadili seseorang dan menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa.
Gayus meyakini proses hukum terhadap ratusan WNI eks ISIS itu tak akan memakan waktu lama jika pemerintah bekerja cepat dalam mendata identitas mereka.
"Diuji di pengadilan, betul enggak si dia bakar paspor, yang mana bakar paspor dari 600 (WNI) ini. Berapa anak kecil dibawa bapaknya ikut ke luar negeri (Suriah). Berapa yang lahir di luar negeri (Suriah)," katanya.
"Itu kan ada aturan hukumnya. Yang bakar paspor dihukum pencabutan warga negara, dipidana seumur hidup boleh, karena mengkhianati negara. Tapi itu hakim yang boleh memutuskan, bukan kekuasaan," ujar Gayus menambahkan.
Lebih lanjut Gayus menyatakan tak ingin pemerintah mencari enaknya saja dengan langsung memutuskan menolak ratusan WNI eks ISIS kembali ke Indonesia tanpa proses hukum. Sebab, sekali lagi, keputusan menolak WNI eks ISIS itu ada di pengadilan, bukan di tangan Jokowi sebagai presiden.
"Jadi bagi saya kurang lengkap dan bukan cerminan negara hukum kalau ratas memutuskan sebuah putusan hukum. Walaupun berdasarkan undang-undang, tapi bukan wilayah kekuasaan presiden memutuskan, itu adanya di pengadilan," tuturnya.
(fra/osc)