Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia Corruption Watch (
ICW) menilai kinerja
Firli Bahuri dkk sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam 100 hari kerja minim prestasi dan sarat kontroversi.
LSM antikorupsi ini mencatat tujuh poin kontroversial Firli dkk, yang dilantik pada 20 Desember 2019. Kontroversi-kontroversi itu lebih banyak berkaitan dengan kasus yang menjerat eks calon legislatif PDI Perjuangan (PDIP), Harun Masiku.
"Alih-alih menunjukkan kinerja yang lebih baik dari periode sebelumnya, justru yang dihasilkan adalah berbagai kontroversi," ucap Peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada
CNNIndonesia.com, Selasa (24/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kontroversi pertama, kata dia, KPK gagal menangkap seorang buronan yang telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 7 Januari 2020. Padahal, berdasarkan keterangan pihak yang berwenang, Harun diketahui berada di Indonesia.
Hal itu, terang Kurnia, berbanding terbalik ketika KPK mampu menangkap bendahara umum Partai Demokrat M Nazarudin di Kolombia dalam waktu 77 hari.
Kontroversi kedua, masih dalam kasus Harun, Kurnia berujar pimpinan KPK tidak transparan memberikan informasi soal dugaan penyekapan tim penyelidik di kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
"Sampai saat ini tidak ada satu pun Komisioner KPK yang memberikan informasi yang utuh dan jujur tentang kejadian tersebut," pungkasnya.
Kontroversi ketiga, lanjut dia, Firli dkk telah bertindak sewenang-wenang dengan mengembalikan penyidik Rossa ke instansi asalnya, Polri. Ia menjelaskan masa dinas Rossa masih berlaku hingga September 2020 dan yang bersangkutan tidak pernah dijatuhi sanksi apa pun.
[Gambas:Video CNN]Rossa merupakan penyidik yang diperbantukan ketika proses operasi tangkap tangan (OTT) kasus dugaan suap pergantian antar waktu (PAW) yang menjerat Harun dan eks komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan.
"Keempat, komisioner KPK berniat memotong kompas proses hukum atas Harun Masiku untuk menutupi kelemahan mereka dalam mencari tersangka tersebut," katanya.
Sebab, KPK pernah menyatakan tak menutup kemungkinan mendorong sidang secara in absentia atau tanpa kehadiran terdakwa. Menurut dia, hal tersebut aneh karena dalam kasus Harun tidak ada kerugian keuangan negara, melainkan hanya tindak pidana suap.
"Metode menyidangkan perkara korupsi tanpa kehadiran terdakwa hanya dimungkinkan ketika terkait langsung dengan kerugian negara," terangnya.
Jumlah OTTKontroversi kelima, data penindakan KPK menunjukkan jumlah penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kurnia menyatakan Firli dkk baru melakukan dua OTT, yaitu terkait kasus yang menjerat Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan kasus PAW.
Dua perkara itu pun, menurut dia, surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik) ditandatangani oleh pimpinan periode sebelumnya.
"Jumlah penindakan yang dilakukan oleh KPK menurun drastis," imbuhnya.
Sementara, KPK periode Agus Rahardjo dkk, yang dilantik pada 21 Desember 2015, sepanjang 2016-2019 sudah melakukan 87 kali OTT dengan total 327 tersangka.
 Peneliti ICW Kurnia Ramadhana. ( CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan) |
Untuk periode 100 hari, yakni sekitar Desember-Maret, KPK era Agus sudah menggelar empat OTT. Yakni, kasus suap politikus PDIP Damayanti Wisnu Putranto (Januari), kasus suap pegawai MA dan advokat (Februari), kasus suap Raperda Reklamasi dan kasus suap petinggi BUMN PT Brantas Abipraya (Maret).
Kontroversi keenam, lanjut Kurnia, seringnya pimpinan KPK melakukan pertemuan dengan berbagai pihak yang berpotensi mengikis nilai independensi. Catatan
CNNIndonesia.com, Firli dkk telah bertemu dengan beberapa pihak yang memiliki kepentingan dengan perkara, yakni dua pimpinan MPR, Zulkifli Hasan dan Jazilul Fawaid.
Zulkifli merupakan saksi terkait kasus suap pengajuan revisi alih fungsi hutan di Provinsi Riau pada 2014 yang menjerat eks Gubernur Riau Annas Maamun. KPK memandang Zulhas merupakan pihak yang mengetahui langsung perihal alih fungsi hutan tersebut.
Sementara Jazilul diduga turut menerima uang dalam kasus dugaan korupsi proyek di Kementerian PUPR Tahun Anggaran 2016. Dalam surat permohonan Justice Collaborator (JC) eks Politikus PKB, Musa Zainuddin, dikatakan bahwa Jazilul selaku Sekretaris Fraksi PKB menerima uang sejumlah Rp6 miliar.
"Ini jelas menggambarkan bahwa para Komisioner KPK tidak memahami pentingnya menjaga independensi kelembagaan," tuturnya.
Kontroversi ketujuh, Kurnia mempertanyakan publikasi penghentian 36 perkara di tingkat penyelidikan. Menurut dia, publikasi tersebut tidak dikenal baik di Undang-undang (UU) KPK, UU Tipikor, maupun Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Tentu publikasi semacam ini tidak lazim dan belum pernah terjadi di KPK," ungkap dia.
"Sebab, keseluruhan perkara tersebut masih dimungkinkan dilanjutkan ke tingkat penyidikan jika di kemudian hari ditemukan bukti tambahan," sambungnya.
 Para pegawai KPK dan aktivis antikorupsi sempat melakukan demo terkait kepemimpinan baru dan UU KPK yang dinilai mematikan pemberantasan korupsi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
CNNIndonesia.com sudah berupaya menghubungi lima komisioner KPK melalui pesan singkat. Namun, hingga berita ini ditulis, belum diperoleh jawaban.
Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, Firli menyebut tak menargetkan penangkapan terhadap Harun karena menangkap orang itu bak "mencari jarum dalam sekam".
KPK juga menyebut status kepegawaian Kompol Rossa bukan lagi tanggungannya karena sudah resmi beralih ke Polri.
Soal penghentian kasus, lembaga antirasuah menyebut itu terkait dengan kecukupan bukti dan pernah dilakukan di era sebelumnya.
(ryn/arh)