Bandung, CNN Indonesia -- Koalisi Pemantau Peradilan (
KPP) menyatakan pembalasan perundungan yang dialami
Ferdian Paleka di Rumah Tahanan Markas Kepolisian Resor Kota Bandung adalah preseden buruk yang terus terjadi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Diketahui, peristiwa ini terjadi setelah video perundungan terhadap Ferdian bersama dua tersangka lain dalam kasus jeratan UU ITE dipertontonkan melalui media sosial. Ferdian diminta melakukan
push up dan
squat jump serta diperintah untuk memaki dirinya sendiri atas perbuatannya.
Anggota KPP Julis Ibrani dalam keterangan tertulis mengatakan, terlepas dari perlakuan keji yang telah dilakukan oleh tersangka dan dua temannya terhadap para korban transpuan, negara tetap perlu mengambil langkah tegas dalam menjamin hak-hak tersangka di dalam tahanan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dilakukannya tindakan perundungan oleh sesama tahanan tidak serta merta menghilangkan tanggung jawab aparat kepolisian yang gagal melakukan pengawasan dan mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang melanggar hukum, terlebih FP masih dalam proses pemeriksaan oleh institusi kepolisian," kata Julius.
Menurutnya, pembiaran yang dilakukan oleh pihak berwajib telah melanggar prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Konvensi Hak Sipil dan Politik (UU No. 12 tahun 2005) dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan yang Kejam (UU. 5 tahun 1998).
"Perlu dicatat, bahwa jika ditemukan fakta atas pembiaran terjadinya penganiayaan atau tindakan kekerasan yang dialami oleh Ferdian oleh petugas tahanan, maka petugas tersebut juga dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas penganiayaan yang terjadi," ujarnya.
Julius lebih jauh menyatakan, bahwa peristiwa ini tidak saja memperlihatkan buruknya pengawasan dan pengendalian dalam sistem penahanan di institusi penegak hukum. Tetapi juga mengesampingkan peran dan tanggungjawab negara yang seharusnya fokus untuk menjamin pemulihan hak-hak para korban transpuan yang selama ini diabaikan dalam sistem peradilan pidana.
"Penggunaan pendekatan pidana pada kasus ini dapat menimbulkan masalah jika pemenuhan hak-hak korban tidak diperhatikan. Sebab, stigmatisasi dan
labelling yang dialami oleh transpuan justru tidak terselesaikan dengan sekedar mempidana pelaku," ucapnya.
Sebaliknya, lanjut Julius, penggunaan hukum pidana dalam perkara ini justru berpotensi merugikan korban. Sebab, korban hanya akan dipandang sebagai saksi dalam konteks pembuktian tindak pidana, sehingga fokus yang diberikan hanya pada pelaku pembuktian fakta atas tindak pidana saja.
"Padahal pendampingan terhadap korban dan pemenuhan hak-hak korban itu jauh lebih penting untuk diperhatikan oleh pemerintah ketimbang sekedar memenjarakan pelaku," ungkapnya.
KKP dalam hal ini, meminta aparat penegak hukum bisa lebih mengedepankan prinsip keadilan restoratif di mana fokus utama penegakan hukum adalah perlindungan terhadap korban, dalam hal ini yaitu adalah transpuan yang termarjinalkan karena adanya tindakan dari Ferdian.
Dalam hal ini, polisi bisa lebih mengutamakan mendorong pelaku melakukan permintaan maaf kepada korban serta ganti rugi terhadap korban dan kelompok minoritas termarjinalkan lainnya.
"Terkait dengan fakta-fakta tersebut di atas, koalisi mendesak agar Kapolda Jawa Barat untuk mengusut tindakan perundungan di lingkungan tahanan kepolisian, termasuk menindak tegas anggota kepolisian yang bertanggungjawab atas pembiaran terjadinya tindakan merendahkan martabat tersebut," kata Julius.
Selain itu, pihaknya juga mendesak agar peristiwa pembiaran terhadap tersangka yang berada di dalam tempat penahanan tidak boleh terjadi lagi atas alasan apapun. Hal ini guna menjamin penegakan hukum yang due process dan menghindari tindak kekerasan ataupun perploncoan terhadap tersangka di dalam tahanan.
"Kami juga mendesak negara untuk segera memberikan upaya pemulihan yang efektif dan bermartabat bagi para korban, termasuk melindungi para korban dari potensi terjadinya reviktimisasi bagi para korban dengan instrumen hukum pidana dalam perkara ini," katanya.
Sebagai informasi, KPP terdiri dari 16 organisasi pemantau hukum dan HAM, di antaranya KontraS dan LBH Jakarta.
(hyg/sfr)