Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah dan Mahkamah Agung (
MA) memiliki perbedaan pertimbangan dalam memutuskan soal iuran Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (
BPJS) Kesehatan. Iuran BPJS naik lagi diketahui telah memicu polemik di saat masyarakat Indonesia menderita dirundung wabah corona.
Presiden Joko Widodo resmi menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan setelah sempat dibatalkan MA. Keputusan iuran
BPJS naik lagi tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang diteken Jokowi 5 Mei lalu.
Mengutip dari salinan Perpres, penerbitannya didasarkan pada pertimbangan menjaga kualitas dan kesinambungan program Jaminan Kesehatan berupa BPJS Kesehatan, khususnya kebijakan pendanaan. Hal itu termasuk kebijakan iuran yang dinilai perlu disinergikan dengan kebijakan keuangan negara secara proporsional dan berkeadilan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam Perpres juga mengatur bahwa besaran iuran dapat ditinjau paling lama dua tahun sekali, dengan menggunakan standar praktik aktuaria jaminan sosial yang lazim dan berlaku umum. Penetapan besaran iuran ini harus tetap mempertimbangkan inflasi, biaya kebutuhan Jaminan Kesehatan, dan kemampuan membayar iuran.
Selain pertimbangan itu, penerbitan Perpres juga disebut tetap memperhatikan alasan dan amar putusan MA Nomor 7 P/HUM 2020 yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga menjelaskan alasan pemerintah sengaja menaikkan lagi iuran BPJS Kesehatan, yakni demi menjaga keberlanjutan (
sustainibility) lembaga tersebut. Dengan kenaikan iuran ini, diharapkan masalah utang BPJS ke berbagai instansi seperti rumah sakit dan apotek bisa ditekan.
Namun alasan itu bertentangan dengan putusan MA. Merujuk putusan MA pada Februari 2020, majelis hakim menyatakan bahwa defisit anggaran yang dialami BPJS Kesehatan selama ini tak bisa diselesaikan dengan menaikkan iuran.
"Timbul pertanyaan, apakah dengan menaikkan iuran BPJS dapat menyelesaikan permasalahan defisit anggaran secara permanen? Apakah masyarakat mampu untuk membayarnya?" dikutip dari pertimbangan majelis hakim dalam salinan surat putusan.
Selama ini pemerintah berupaya menyuntikkan dana namun anggaran BPJS Kesehatan tetap defisit. Artinya, menurut majelis hakim, akar masalah bukan pada kurangnya iuran melainkan pada manajemen atau tata kelola BPJS secara keseluruhan.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa defisit BPJS Kesehatan terjadi karena kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan.
Untuk itu, defisit yang dialami BPJS Kesehatan semestinya tak boleh dibebankan kepada masyarakat dengan menaikkan iuran. Sebab, defisit terjadi karena kesalahan BPJS Kesehatan sendiri.
"Pemerintah semestinya mencari jalan keluar yang baik sambil memperbaiki kesalahan dan kecurangan tanpa harus membebankan masyarakat dengan menaikkan iuran."
Awalnya Presiden Jokowi menaikkan iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan pada 2019. Perpres itu kemudian digugat dan dikabulkan oleh MA pada Februari 2020.
MA lalu mengembalikan iuran seperti awal yang ditentukan dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2018 dengan besaran Rp25.500 untuk kelas III, Rp51 ribu untuk kelas II, dan Rp80 ribu untuk kelas I.
Kini, iuran bagi peserta BPJS Kesehatan akan naik 1 Juli mendatang masing-masing menjadi Rp150 ribu bagi peserta mandiri kelas I dan Rp100 ribu bagi peserta mandiri kelas II. Sementara bagi peserta BPJS Kesehatan mandiri kelas III akan naik dari Rp25.500 menjadi Rp35 ribu mulai 2021 mendatang.
(pris/gil)
[Gambas:Video CNN]