PNS, Rapat Virtual, dan New Normal di Gedung Wakil Rakyat

CNN Indonesia
Rabu, 20 Mei 2020 17:17 WIB
Ribuan massa buruh dan mahasiswa yang tergabung dalam aksi Gerakan Tolak Omnibus Law (Getol) Jawa Timur mulai berdatangan ke Bundaran Waru, Surabaya.
Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi salah satu yang dibahas DPR selama pandemi corona. (CNN Indonesia/Farid).
Indra menambahkan, selama pandemi virus corona, cara sistem rapat mereka berubah dari yang tadinya secara tatap muka menjadi virtual. Dia mengklaim efektivitas rapat tetap terjaga meski dilakukan secara virtual.

Apalagi rapat virtual ini tetap mengacu pada tata tertib (tatib) sebagaimana diatur dalam Peraturan DPR Nomor 1 tahun 2020. Khususnya diatur dalam Tata Cara Rapat pada Pasal 279 ayat (6) serta Tata Cara Pengambilan Keputusan pada Pasal 308 ayat (5) dan (6).

"Sebenarnya secara substansi tidak ada bedanya ya, karena efektivitasnya cukup terjaga. Kemudian kedalaman substansi juga terjaga," kata Indra.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia mencontohkan, rapat-rapat dengan kementerian secara virtual juga jadi lebih produktif. Pasalnya, pemerintah sebagai mitra kerja DPR jadi tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk melakukan perjalanan ke Gedung DPR.

Sehingga, waktu yang tadinya dihabiskan untuk menempuh perjalanan menuju rapat bisa digunakan lebih banyak dalam rapat secara virtual.

Kendati begitu, Indra mengakui jika pada rapat secara virtual ini ada sedikit perbedaan dari rapat secara tatap muka, salah satunya tidak ada perdebatan dan interupsi selama rapat.

"Memang rapat online ini lebih tertib, semua penyampaian gagasan secara bergilir, semua diatur pimpinan rapat. Interupsi bersamaan nggak terjadi, karena pengaturan secara teknologi nggak mungkin dua tiga orang bersamaan," ujar Indra.

"Misalnya, yang hadir rapat 30 (orang), kan mereka tidak ada yang interupsi langsung, mereka bisa lewat chatting menyampaikan pertanyaan atau pandangan. Saya lihat jadi sangat tertib dan produktif," tambahnya.

Lebih lanjut, soal kehadiran anggota dewan selama rapat virtual juga menurutnya jadi lebih baik. Apalagi, secara moral politik, anggota dewan berkewajiban memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili serta ideologi dan visi partainya melalui agenda politik di DPR yng dilaksanakan dalam rapat-rapat AKD atau paripurna.

Kontrol terhadap kehadiran anggota dewan juga dapat dilakukan secara politik dan kebijakan fraksi, bahkan parpol juga menjadikannya dasar untuk menilai kinerja anggotanya di dewan. Sedangkan secara teknis, kehadiran secara virtual dapat dideteksi dan menjadi bukti kehadiran rapat.

"Ada penilaian bahwa kehadiran secara virtual ini cukup banyak. Karena anggota tidak perlu datang ke gedung DPR, bisa dari rumah atau dapilnya dengan tetap diberikan kesempatan untuk memberikan pendapatnya seperti ketika rapat-rapat biasa," jelas dia.

Lebih jauh Indra mengatakan tidak menutup kemungkinan rapat secara virtual ini akan dijalankan di kemudian hari setelah wabah virus corona mereda. Kendati begitu, kerja-kerja seperti ini akan tetap dievaluasi oleh pimpinan DPR terlebih dulu.

"Kalau lihat sekarang ini, ke depan, walau pandemi sudah berkurang, saya kira problem psikis orang tentang ini (virus corona) akan tetap ada," jelas Indra.

Apalagi sejauh ini rapat virtual juga dinilai sudah berjalan efektif. Hanya, untuk rapat-rapat yang bersifat penentuan keputusan seperti fit and proper test harus tetap dilaksanakan secara tatap muka atau kehadiran fisik.

"(Karena) itu kan harus terus diklarifikasi setiap pernyataan. Itu sudah ada keputusan dewan, yang bersangkutan wajib hadir fisik," jelasnya.

Berpotensi Digugat ke MK

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Padjajaran Yogi Suprayogi mengatakan, rapat secara virtual ini juga harus dilakukan secara hati-hati, apalagi jika menyangkut pengesahan sebuah produk perundang-undangan.

Pasalnya, menurut Yogi, dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) belum diatur mengenai ketentuan pengesahan UU yang dilakukan lewat rapat virtual.

"Ini kan UU MD3 diatur tata cara sidang, bagaimana semuanya kan. Kemarin kan ramai-ramai, kursi ketua, wakil ketua diatur sampai detail," kata Yogi kepada CNNIndonesia, Rabu (20/5).

"Tapi persoalannya sekarang (rapat) online ini kan enggak diatur. Enggak ada pengaturan penggunaan (rapat) online. Kalau dasarnya hanya WFH dari peraturan pemerintah, dia kan enggak tunduk ke situ, tapi ke MD3," jelasnya.

Oleh karena itu, ia menilai, sebuah produk perundang-undangan yang disahkan lewat rapat secara virtual ini berpotensi digugat ke Mahkamah Konstitusi.

"Menurut saya, selama tidak ada aturannya, tidak sah. Dan potensi untuk digugat ke MK sangat memungkinkan, tapi lebih ke tentang tata caranya, bukan isinya," jelas dia.

Kendati begitu, ia melihat rapat-rapat virtual ini bisa saja diterapkan di kemudian hari pasca wabah virus corona mereda. Misalnya, anggota dewan tidak perlu lagi melakukan kunjungan kerja ke luar negeri.

Dengan rapat-rapat virtual yang dilakukan selama pandemi ini, anggota dewan seharusnya sudah terbiasa melakukan rapat secara virtual. Kunker ke luar negeri yang tidak terlalu genting juga dapat dibatasi.

"Kunker bisa dibatasi, kecuali urgent ya. kalau cuma lihat (perbandingan) kan bisa kerja sama dengan persatuan pelajar Indonesia di sana, kasih honor dikit di sana buat video confrence, tanya-tanya orangnya, enggak usah kunker-kunker," jelas dia.

"(Jadi) bisa menghemat perjalanan dinas sebetulnya. Karena selama ini yang dikeluhkan, DPR ini kan mahal banget supporting costnya," tambah Yogi. (osc/dmi/osc)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER