Jakarta, CNN Indonesia -- Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) memandang ada yang salah dari kegiatan OTT
KPK yang menjerat
Rektor UNJ Komarudin terkait dugaan gratifikasi ke Kemendikbud.
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman menilai alasan pelimpahan kasus itu ke Polri menjadi janggal. Pasalnya, salah satu pihak yang turut diperiksa KPK dalam operasi ini merupakan Rektor UNJ.
"Rektor adalah penyelenggara negara karena ada kewajiban laporkan hartanya ke LHKPN. Kalau KPK menyatakan tidak ada penyelenggara negara, maka berarti telah ada teori baru
made in KPK new normal akibat corona," kata Boyamin dalam keterangan resminya, Jumat (22/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
MAKI sendiri menilai KPK menunjukkan sikap tidak profesional karena memilih melimpahkan penanganan kasus tersebut ke polisi dengan dalih tak ditemukan unsur penyelenggara negara.
Di satu sisi, ketika KPK telah menyimpulkan tak terdapat unsur penyelenggara negara dalam proses rasuah itu, Boyamin mempertanyakan jeratan hukum yang akan dilanjutkan polisi.
"Terus bagaimana polisi memprosesnya? Apa dengan pasal pungutan liar?" kata Boyamin.
"Dengan melimpahkan begitu saja ke Polri itu namanya lempar masalah ke aparat penegak hukum lainnya," lanjutnya.
Boyamin mengatakan dalam operasi senyap, seharusnya KPK telah melewati sejumlah proses perencanaan dan juga pendalaman. Tapi, ia menduga hal tersebut diabaikan sehingga menghasilkan operasi yang buruk.
"OTT KPK ini sungguh mempertontonkan tidak profesional, mengarah tolol dan dungu, serta mempermalukan KPK sendiri," kata Boyamin.
 Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan) |
Boyamin mengatakan andai proses itu dipenuhi secara profesional dan dengan teliti maka hasilnya, "Ketika sudah OTT tidak ada istilah tidak ditemukan penyelenggara negaranya."
Ia mengatakan sejatinya kegiatan tangkap tangan bukanlah barang baru di lingkungan KPK. Sehingga dari apa yang telah terjadi, kata dia, publik melihat secara gamblang tak ada perencanaan dan pendalaman dengan baik atas informasi yang masuk terkait pelaksanaan OTT itu.,
"Setiap info biasanya oleh KPK dibahas dan dalami sampe berdarah-darah dan sangat detail, mulai dari penerimaan Pengaduan masyarakat sampai dengan keputusan utk OTT (baik menyangkut siapa penyelenggara negara, apa modusnya sampai dengan apakah suap atau gratifikasi)," katanya.
Jika itu semua dipenuhi, menurut Boyamin tak akan sampai ada istilah 'tak ditemukan penyelenggara negaranya'.
"Penindakan OTT ini hanya sekedar mencari sensasi sekedar untuk dianggap sudah bekerja," sindirnya.
Oleh sebab itu, Boyamin pun mengatakan pihaknya akan membuat pengaduan kepada Dewan Pengawas KPK terkait OTT tersebut.
Sementara itu, Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai seharusnya KPK dapat melanjutkan proses hukum usai melakukan OTT pejabat UNJ.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana beranggapan sudah barang tentu bahwa kasus tersebut melibatkan unsur penyelenggara negara, dalam hal ini adalah rektor Universitas Negeri Jakarta.
"Sedari awal telah disebutkan bahwa Rektor UNJ mempunyai inisiatif melalui Kepala Bagian Kepegawaian UNJ untuk mengumpulkan uang Tunjangan Hari Raya (THR) kepada Dekan Fakultas dan lembaga di UNJ agar nantinya bisa diserahkan ke pegawai Kemendikbud," kata Kurnia melaui keterangan resmi, Jumat (22/5).
Kurnia mengacu pada Pasal 2 angka 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 yang menjelaskan bahwa Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri dikategorikan sebagai penyelenggara negara.
Dia menjelaskan, dalam konstruksi perkara yang diungkapkan KPK usai operasi senyap itu dilakukan, dapat terlihat bahwa terdapat dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan atau pungutan liar yang dilakukan oleh Rektor UNJ.
Terlebih lagi, kata dia, Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 secara tegas mengatakan bahwa penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan orang lain secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu atau membayar dapat dijerat dengan maksimal hukuman 20 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar.
Dia mengatakan kasus dengan model kejahatan berupa dugaan pemerasaan ini pun bukan barang baru yang ditangani oleh KPK.
"Pada tahun 2013 yang lalu lembaga anti rasuah ini pun pernah menjerat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kantor Wilayah Dirjen Pajak, Pargono Riyadi," lanjut Kurnia.
 Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Kurnia beranggapan bahwa KPK dalam mengembangkan kasus tersebut terhadap dugaan suap. Pasalnya, belum diketahui pasti alasan dari pemberian uang yang dilakukan oleh UNJ kepada pihak Kementerian tersebut.
Menurut dia, perlu dilakukan pendalaman terkait suatu kasus sehingga tidak hanya dinilai dari nominal uang yang diamankan.
"Apakah hanya sekadar pemberian THR atau lebih dari itu," kata dia.
ICW juga mengingatkan bahwa KPK harus mulai fokus menangani kasus-kasus dengan nilai kerugian negara besar saat ini.
Diketahui, Operasi senyap ini berkaitan dengan dugaan penyerahan sejumlah uang dari pihak Rektor UNJ kepada pejabat di Kemendikbud. Uang sebesar Rp27, 5 juta dan US$1.200 diamankan sebagai barang bukti.
Sebelumnya, Deputi Bidang Penindakan KPK, Karyoto dalam keterangan tertulis menyatakan dalam operasi tersebut mereka menciduk Kabag Kepegawaian UNJ, Dwi Achmad Noor. Selain itu, juga dilakukan pemeriksaan terhadap sejumlah pihak seperti Rektor UNJ Komarudin, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Sofia Hartati, Analis Kepegawaian Biro SDM Kemdikbud Tatik Supartiah, Karo SDM Kemdikbud Diah Ismayanti, Staf SDM Kemdikbud Dinar Suliya, serta Staf SDM Kemdikbud Parjono.
Namun, kata Karyoto, setelah dilakukan permintaan keterangan, KPK belum menemukan unsur pelaku penyelenggara negara. Atas dasar itu, KPK menyerahkan kasus ini kepada kepolisian.
"Sehingga selanjutnya dengan mengingat kewenangan, tugas pokok dan fungsi KPK, maka KPK melalui unit Koordinasi dan Supervisi Penindakan menyerahkan kasus tersebut kepada Kepolisian RI untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan hukum," kata Karyoto, Kamis.
Dalam kasus ini, Rektor UNJ, Komarudin diduga meminta dilakukan pengumpulan uang tunjangan hari raya (THR) masing-masing Rp5 juta melalui Dwi Aachmad Noor. Permintaan itu dilayangkan kepada Dekan Fakultas dan lembaga di institusinya. THR tersebut, rencananya akan diserahkan kepada Direktur Sumber Daya Ditjen Dikti Kemdikbud dan beberapa staf SDM di Kemdikbud.
(mjo/kid)
[Gambas:Video CNN]