Jakarta, CNN Indonesia -- Menyusuri sudut-sudut jalan di perkampungan Muara Angke, Jakarta Utara, tercium aroma amis yang menyengat serta udara pesisir.
Kondisi wilayah pesisir itu pun membuat warga di sana akrab dengan risiko
banjir rob, yang bisa menggenangi tempat tinggal hingga tinggi. Salah satunya di RW01, 11, dan 21 Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan.
Berdasarkan pengakuan warga yang
CNNIndonesia.com temui, Selasa (8/6) siang, sudah hampir sepekan aktivitas mereka di tiga RW it nyaris lumpuh akibat banjir rob.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak ada saling saut anak kecil yang bermain di jalan, warung dan kios warga tutup, ibu-ibu yang melihat anaknya bermain, atau pun bapak-bapak yang tengah menghabiskan harinya dengan bergelas-gelas kopi sambil bercengkerama.
Di emperan masjid at-Taufiqul Mubarak, Usup (48) hanya menatap nanar pemandangan di depannya. Masjid itu berada di Jalan Kerapu 3, Muara Angke, Pluit, Jakut.
Ia duduk membelakangi cucunya yang tengah bermain, dan anak perempuannya yang tengah mengawasi cucunya dari masjid yang menjadi tempat pengungsian tersebut.
"Kita itu udah antisipasi duluan. Siang juga antisipasi. Jumatnya itu beli semen, eh dari lubang kusen masuknya," kata Usup kepada CNNIndonesia.com, Selasa (8/6).
Di seberang masjid, tempat Usup duduk itu, terlihat ketinggian air bervariasi dari mulai 5-10 cm.
 Salah satu sudut Muara Angke yang tergenang banjir, Jakarta Utara, 7 Juni 2020. (CNN Indonesia/ Thohirin) |
Usup mengingat kejadian ketika air laut karena banjir rob mulai memasuki rumahnya Jumat (5/6). Ia dan keluarga bukan tanpa antisipasi sebelum rob tiba. Mereka sudah membeli semen untuk mencegah air masuk lewat pintu rumah.
Debit air ternyata lebih besar dan di luar prediksinya. Air masuk lewat sela-sela jendela rumahnya.
"Tingginya satu meter. Sepinggang," kata Usup.
Sejak Sabtu atau sehari kemudian ia walhasil harus memboyong, tiga anak dan satu cucunya ke Masjid. Pasalnya genangan air yang tinggi itu membuat rumahnya untuk sementara tak bisa ditempati.
Kendati demikian, ia nampaknya agak beruntung. Sebab, pada Senin (7/6) tiga hari setelahnya, ia sudah kembali ke rumahnya. Air sudah tak memasuki rumahnya, hanya saja masih menggenang di jalan depan rumah.
Usup adalah pedagang ikan di pasar Ikan Muara Angke. Sehari-hari ia dibantu dua pegawai yang sehari-harinya tinggal di rumahnya pula.
Ikan yang dijual Usup sebagian adalah ikan kerapu yang didatangkan dari Rembang, Jawa Tengah. Warga asal Serang, Banten, yang telah merantau ke Muara Angke sejak 1991 itu mengatakan kali ini adalah banjir rob terbesar selama ia tinggal di wilayah pesisir itu.
Banjir kali ini, katanya, bahkan lebih besar dibanding banjir hujan yang terjadi awal 2020 lalu, saat sebagian besar wilayah di Jabodetabek juga turut terendam.
Ia juga tak tahu persis penyebab air laut itu tak kunjung surut. Usup menerangkan Muara Angke jika telah dihampiri banjir rob seperti cawan yang menjebak air.
Air susah untuk keluar sebab kondisi permukaan tanah yang mulai turun, sementara permukaan air laut sedang meninggi. Oleh karena itu, cara satu-satunya air harus dikeluarkan dengan dipompa.
Usup mengaku enggan pindah, karena selain memang akrab dengan wilayah pesisir sejak kecil. Saat disinggung mengenai sejumlah penelitian--yang juga dikutip Pemprov DKI Jkarta--bahwa terjadi penurunan muka tanah dan meningginya permukaan air laut setiap tahun, dia pun hanya geleng-geleng kepala.
"Saya mah ya, gimana nanti aja. Bertahan aja di sini. Dasarnya karena kita cuma bisa cari nafkahnya di daerah begini. Kasarnya dari tahun jebod," ujar Usup lalu diselingi tawa kecil.
 Usup (48) warga yang terkena banjir rob di Muara Angke, Jakarta (7/6). (CNN Indonesia/ Thohirin) |
BendunganJunaidi (54), warga yang mendaku sebagai tokoh masyarakat Muara Angke itu, tengah menghabiskan sisa harinya dengan duduk-duduk di depan gerbang masuk masjid at-Taufiqul Mubarak.
Ia ditemani Zainudin, salah satu warga yang mengaku tergabung dengan Masyarakat Peduli Kemanusiaan (MPK).
Junaidi--yang mengaku karib disapa Jujun--mengaku sebagai generasi kelima dari keluarganya yang mendiami wilayah itu. Sama seperti Usup, Jujun juga pedagang di pelelangan ikan Muara Angke.
Menurut Jujun, penyebab besarnya banjir rob di Muara Angke kali ini salah satu faktornya adalah pembangunan bendungan yang berada persis dekat gapura masuk wilayah itu.
Kata Jujun, bendungan yang dibangun 2018 lalu itu sempat mendapat penolakan dari warga Muara Angke. Bendungan itu, tuding Jujun, yang kini membuat luapan air pasang laut merendam sejumlah rumah warga di Muara Angke.
"Mereka bilang dibanding membongkar bendungan itu mendingan cari alternatif lain karena itu bongkarannya miliaran, karena udah paten sekali. Jadi sekarang imbasnya kena kampung, terparah ini," kata dia kepada
CNNIndonesia.com, Selasa (7/6).
 (Junaidi (54) warga yang terkena banjir rob di Muara Angke, Jakarta (7/6). CNN Indonesia/ Thohirin) |
Berbeda dengan Usup, Jujun terbilang beruntung karena genangan air tak sampai membanjiri bagian dalam rumahnya. Pasalnya, kata dia, 14 tahun lalu sudah meninggikan fondasi rumahnya.
"Kalau di sini kita kalau benar-benar mau
ngebangun harus siap dengan kondisi itu. Kalau tinggi, tinggi sekalian," kata Jujun.
"Ya pokoknya ancang-ancang aja. Kalau ketinggian air setiap tahun rata-rata tanah itu tiap tahun 5 cm aja kita 10 tahun, 10 senti," sambungnya.
Jujun mengaku tak ambil pusing soal ancaman rumah dan tanah kelahirannya yang diprediksi akan tenggelam dalam beberapa tahun. Soal itu, ia hanya bisa mempersiapkan dan melakukan antisipasi.
"Takut kenapa? Takut mah sama Tuhan. Memang alamnya udah begitu. Kita juga, harus siap-siap," kata dia.
(thr/kid)
[Gambas:Video CNN]