Sejumlah dokter yang tergabung dalam Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) menggugat ketentuan Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal yang digugat yakni Pasal 9 ayat (1) UU Wabah Penyakit Menular yang menjelaskan bahwa petugas yang melaksanakan upaya penanggulangan wabah dapat diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya. Menurut pemohon
frasa 'dapat' dalam ketentuan tersebut tak mengikat.
"Frasa 'dapat' dalam Pasal 9 ayat (1) UU Wabah Penyakit Menular bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ujar kuasa hukum pemohon, Leon Maulana Mirza Pasha, saat membacakan permohonan di gedung MK, Jakarta, Rabu (17/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara pada UU Kekarantinaan Kesehatan, pemohon menggugat Pasal 6 yang menyatakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
Menurut Leon, ketentuan itu belum menjamin perlindungan ke tenaga medis, khususnya dalam penanganan pandemi virus corona (covid-19) saat ini. Hal ini terlihat dari kelangkaan Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga medis yang kerap kali menyebabkan mereka terpapar covid-19 hingga menyebabkan meninggal dunia.
Untuk itu dalam permohonannya, Leon meminta pemerintah menjamin penghidupan layak dengan menyediakan APD dan memberikan insentif bagi tenaga medis yang bertugas maupun santunan bagi yang meninggal.
"Hal ini juga diperparah dengan proses pemeriksaan covid-19 yang lama dan berbelit sehingga dokter seringkali tidak mengetahui status covid-19 pasien yang dirawat," katanya.
Sementara terkait pemberian insentif bagi tenaga medis, kata dia, telah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Tahun 2020. Namun dalam ketentuan KMK, pemberian insentif hanya diberikan bagi tenaga medis yang didaftarkan dan terlibat langsung dalam penanganan covid-19. Sedangkan bagi tenaga medis yang tidak didaftarkan, maka tidak akan mendapatkan insentif dari pemerintah.
"Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak secara pasti dan memiliki kewajiban memberikan insentif bagi tenaga yang melayani pasien covid-19," ucap Leon.
Leon juga menyinggung rendahnya rasio tes covid-19 menggunakan metode PCR karena keterbatasan sumber daya. Menurutnya, penyediaan tes ini seharusnya dijamin secara terperinci melalui ketentuan Pasal 6 UU Kekarantinaan Kesehatan.
Dalam permohonan, ia meminta agar perkara ini diputus sebelum perayaan Idulfitri yang jatuh pada 24-25 Mei lalu. Namun karena sudah terlewat, pihaknya tetap meminta agar perkara itu segera diputus demi percepatan penanganan covid-19 oleh para tenaga medis.
"Memohon agar MK memberikan prioritas serta berkenan memeriksa, memutus, dan mengadili perkara ini dengan segera," tuturnya.
Sementara hakim anggota MK Saldi Isra menyarankan agar pemohon memperbaiki petitum atau permohonan gugatan karena hanya mendasarkan aturan itu dengan kondisi pandemi covid-19 yang ada saat ini.
"Apa yang bisa membenarkan petitum seperti ini di tengah sifat putusan MK yang berlaku ke depan? Kalau tidak klir ini bisa masuk kategori petitum kabur atau tidak jelas dan berimplikasi pada permohonan yang juga kabur," jelasnya.
Saldi juga mengkritik permintaan pemohon yang meminta menghapus frasa 'dapat' namun tak mengubah dengan frasa pengganti agar tenaga medis memperoleh penghargaan.