Di hadapan menteri Kabinet Indonesia Maju dan pimpinan lembaga negara, Presiden Joko Widodo marah. Kegusarannya tak bisa disembunyikan karena berulang kali bicara dengan nada tinggi.
Kemarahan Jokowi berkaitan dengan pandemi virus corona (Covid-19) di Indonesia. Dia melihat masih ada menteri yang lamban, padahal bahaya krisis akibat pandemi sudah di depan mata.
Jokowi mengaku tak segan mengambil langkah luar biasa di situasi seperti sekarang. Salah satunya adalah melakukan kocok ulang kabinet atau reshuffle. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga mengaku siap mempertaruhkan reputasi politiknya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Rizky Argama setuju jika Jokowi mengambil tindakan luar biasa dalam menangani virus corona beserta dampaknya. Bahkan seharusnya Jokowi sudah melakukan itu sejak awal.
"Seharusnya Presiden Jokowi bertindak lebih awal memberhentikan pembantunya yang tidak bekerja dengan baik," kata Rizky saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (30/6).
Jokowi sempat menyinggung Kementerian Kesehatan yang lambat menyerap anggaran. Dari Rp75 triliun, baru 1,53 persen yang diserap. Mengenai hal itu, Rizky melihat sudah tidak berarti apa-apa untuk saat ini.
"Membuka data penyerapan anggaran kementerian ke publik ketika pandemi sudah masuk bulan keempat merupakan tindakan yang terlambat dan cenderung sia-sia," ujarnya.
Rizky menilai Jokowi sudah harus mengambil tindakan yang lebih cepat berbasis data dan pendapat para ahli. Jangan pula sungkan untuk mengganti menteri yang tidak bekerja optimal. Perbaikan pola manajerial pun perlu dilakukan.
"Dalam jangka waktu ke depan, presiden juga harus memperbaiki secara menyeluruh dan sistematis berbagai kelemahan manajemen regulasi, terutama perencanaan, monitoring, dan evaluasi perundang-undangan di lingkup eksekutif," tuturnya.
Rizky menegaskan bahwa presiden merupakan pengambil keputusan tertinggi dalam semua hal terkait penyelenggara pemerintahan. Sementara keberadaan menteri sekadar membantu tugas presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UUD 1945.
Terlebih, lanjut dia, Jokowi telah menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan hanya ada visi misi presiden dan tidak ada visi misi menteri. Oleh karena itu, Rizky menganggap penting bagi Jokowi untuk mengubah cara memimpin kabinet dalam menanggulangi wabah corona dan dampaknya.
"Artinya kemarahan presiden yang menyalahkan menteri tidak tepat karena menteri hanya melaksanakan kebijakan yang terbatas di bidangnya. Sedangkan yang tanggung jawab dan memastikan kebijakan berjalan baik adalah presiden sebagai satu-satunya atasan dari para menteri," jelasnya.
![]() |
Tangan Bersih Jokowi
Analis Politik Lembaga Riset Exposit Strategic, Arif Susanto mengatakan hal senada. Upaya penanggulangan wabah virus corona yang harus disorot justru adalah kepemimpinan Jokowi. Luapan amarah itu seolah ingin menunjukkan bahwa kegagalan penanganan pandemi covid-19 terjadi akibat kinerja bawahannya.
"Jokowi ingin menunjukkan kalau tangannya tetap bersih dengan memarahi menteri. Padahal dengan cara tersebut justru menunjukkan inkapabilitas presiden dalam menangani Covid-19," katanya.
Arif menduga ungkapan kemarahan yang disampaikan Jokowi itu dilakukan dengan terencana. Apalagi rekaman video tersebut baru diunggah lebih dari satu pekan sejak kemarahan itu berlangsung.
Pengajar di Universitas Paramadina ini menilai, kemarahan Jokowi yang akhirnya ditunjukkan ini tak cuma menjadi strategi untuk mengetahui respons publik namun juga mengetahui respons dari kawan maupun seteru politiknya.
Kendati demikian, ia tak menampik bahwa Jokowi memang dalam tekanan besar menghadapi pandemi Covid-19.
"Dari sisi strategi politik, apa yang dilakukan kemarin terukur dan terencana. Dia punya waktu 10 hari lho untuk memikirkan itu dan strategi ini berhasil," ucap Arif.
Menurut Arif, sikap ini bukan hal baru yang dilakukan Jokowi. Sejak lama Jokowi telah memiliki strategi serupa terhadap sejumlah persoalan jajaran di bawahnya yang mencuat ke publik.
Lihat juga:Jokowi: Saya Pertaruhkan Reputasi Politik |
Sebut saja polemik yang terjadi di Kabinet Kerja Jilid I antara mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.
Arif menyebut, Jokowi berhasil melakukan lokalisasi masalah sehingga polemik yang muncul saat itu seolah bukan menjadi tanggung jawab Jokowi. Upaya ini pula yang dilakukan Jokowi dalam menghadapi penanganan covid-19.
Jokowi, lanjut Arif, selama ini memang lebih dikenal sebagai sosok pemimpin yang tenang ketimbang marah dengan meledak-ledak. Berbeda dibanding sejumlah pemimpin yang populer karena menunjukkan amarah seperti mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Namun, menurut Arif, karakter Jokowi di periode kedua ini cenderung mirip dengan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Keduanya menempatkan diri sebagai korban atas inkapabilitas para bawahannya di pemerintahan.
"Cuma beda versi saja. Kalau SBY muncul dengan ekspresi sedih, memelas, tapi kalau Jokowi muncul dengan ekspresi tegas, marah," ucapnya.
Terlepas ada atau tidaknya misi politik tertentu, Arif menilai sudah saatnya ada perubahan signifikan yang dilakukan pemerintah. Tentu demi penanggulangan virus corona dan dampaknya yang lebih optimal dan memperoleh hasil maksimal.