Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) meminta pemerintah di sejumlah daerah dapat membuka sekolah baru atau menambah kursi untuk memutus angka putus sekolah.
Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan Salim menyebut bahwa Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi, saat ini kembali memunculkan persoalan klasik terkait daya tampung sekolah untuk menerima calon siswa baru.
"Masalah PPDB yang kita temukan, pertama masalah klasik yaitu masalah bangku, kekurangan daya tampung," kata Satriwan dalam diskui daring, Selasa (21/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut dia, sejumlah daerah di Indonesia saat ini dihadapkan dengan persoalan jumlah satuan pendidikan atau sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menangah atas (SMA) yang lebih sedikit dibanding tingkat dasar (SD). Kondisi itu menurut Satriwan menyebabkan daya serap atau penerimaan SMP dan SMA terhadap siswa minim.
Di DKI Jakarta misalnya, ia menyebut bahwa daya serap SMA negeri untuk lulusan SMP hanya sekitar 36 persen. Kondisi itu disebabkan jumlah SMA negeri lebih sedikit dibanding SMP negeri.
"Jakarta itu SD kurang lebih ada sekitar 2.200, SMP 300-an. SMAN ada 117, artinya daya serap SMA negeri hanya 36 sekian persen, karena jumlah bangkunya terbatas," kata Satriwan.
Oleh karena itu, menurut Satriwan, bagi daerah yang memiliki jumlah siswa alih jenjang yang padat, seperti DKI Jakarta, menambah jumlah sekolah atau kursi bisa dijadikan opsi. Penerapan PPDB Zonasi, menurut dia, mestinya juga bisa dijadikan momentum bagi Pemda dengan kondisi demikian untuk memperbaiki atau menambah sekolah.
Berdasarkan catatannya, saat ini Kota Bekasi dan Pontianak menjadi dua wilayah yang telah membuka satuan pendidikan atau menambah kursi untuk menambah daya serap siswa lanjut sekolah. Namun demikian, Satriwan mengatakan ada pula daerah lain yang justru mengalami kondisi berkebalikan.
Di Kabupaten Banyumas dan Temanggung, Jawa Tengah, misalnya, ia menyebut jumlah peserta didik alih jenjang justru tidak sebanding dengan ketersediaan sekolah. Artinya, banyak sekolah di dua daerah itu yang kekurangan peserta didik.
![]() |
Merespons kondisi tersebut, Satriwan oleh karenanya meminta pemda melakukan evaluasi tahunan terkait daya tampung sekolah untuk menerima peserta didiknya.
"Titik mana yang mesti ditambah sekolah baru, mana Pemda yang mesti di-merger. Nah itu di antara persoalan," katanya.
Oleh karena itu, Satriwan juga menyoroti penerapan PPDB Zonasi yang dilakukan secara serentak di seluruh daerah. Ia menilai, bahwa dengan tidak meratanya jumlah satuan pendidikan di sejumlah daerah menyebabkan penerapan PPDB berpotensi menimbulkan masalah baru.
Masalah PPDB di sejumlah daerah menurut dia salah satunya juga disebabkan alokasi anggaran pendidikan yang masih di bawah 20 persen. Padahal jumlah itu, mestinya menjadi standar minimal bagi daerah untuk dialokasikan di sektor pendidikan.
"Model-model daerah seperti ini belum bisa menggunakan PPDB. Makanya harus ada klasifikasi. Jadi nggak bisa langsung berlaku secara nasional. Karena kondisi sekolah di NTT itu berbeda dengan di Jogja, Bandung. Demografi juga berbeda," ujar dia.
Satriwan juga menyampaikan lulusan SMK menjadi penyumbang pengangguran tertinggi di Indonesia selama 2019.
Pernyataan itu merujuk pada laporan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019, di mana angkanya berjumlah 7,05 juta orang, atau meningkat dari Agustus 2018 yang hanya 7 juta orang.
"Bahkan di 2019 data BPS, SMK menyumbang pengangguran tertinggi di Indonesia," kata dia dalam diskusi daring, Selasa (21/7).
Menurut Satriwan, Indonesia saat ini masih dihadapkan dengan masalah akses pendidikan bagi warga. Berdasarkan catatannya, merujuk laporan BPS pada 2018, rata-rata lama waktu pendidikan yang dijalani seorang anak hanya 8,17 tahun atau hanya sampai kelas dua SMP.
Selain itu, ia juga menyebut bahwa angka anak putus sekolah selama tahun pelajaran 2017/2018 relatif masih cukup tinggi. Angkanya bahkan didominasi siswa SMK dengan 73 ribu anak putus sekolah, disusul SMP dengan 51 ribu, SD sebanyak 32 ribu, dan SMA sebanyak 31 ribu.
"Nah, jadi ini yang menjadi persoalan di kita. Akses ke sekolah kemudian putus di tengah jalan," ujar Satriwan.
Oleh karena itu, menurut dia, PPDB lewat sistem Zonasi yang kali pertama diberlakukan pada 2017 menurut dia mestinya dapat menjadi solusi. Sebab, akses pendidikan diukur berdasarkan jarak siswa dengan sekolah, bukan lagi berdasarkan nilai.
Namun demikian, Satriwan menilai sistem ini mengagetkan sejumlah kalangan yang selama ini mengagungkan sistem nilai saat masa penerimaan peserta didik baru sekolah. Ia tak menampik bahwa Indonesia selama ini terlalu mengagungkan nilai sebagai parameter penerimaan siswa baru.
Oleh sebab itu, Satriwan tak heran penerapan PPDB Zonasi belakangan juga menuai kritik.
"Jadi ketika yang jadi ukuran jarak, nilai nomor sekian, nah ini mengubah sistem. Yang tadi anaknya pengen masuk SMAN 8, dari Bekasi sekarang terbatas," kata dia.
"Kondisi seperti ini mengganggu rezim nilai tadi. Baik bagi orang tua, maupun pemerintah daerah," sambung Satriwan.
(thr/pmg)