Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menyebut keluarnya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dari program Organisasi Penggerak (POP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berimbas pada legitimasinya.
Sementara, DPR menyinggung proyek Kartu Prakerja karena program yang digagas Menteri Nadiem Makarim ini memberi keuntungan kepada pihak perusahaan.
Diketahui, Program Organisasi Penggerak ini menuai polemik karena meloloskan institusi yang terkait perusahaan atau diduga lembaha CSR, yakni Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dua lembaga pendidikan yang ikut program itu, yakni Lembaga Pendidikan (LP) Ma'arif PBNU dan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Disdakmen) PP Muhammadiyah, pun memutuskan mundur dari program.
"Keluarnya dua ormas itu merupakan kehilangan besar dan berimbas pada legitimasi program Kemdikbud tersebut," kata Anggota Komite III DPD RI Hilmy Muhammad, dalam keterangan tertulisnya.
Pasalnya, menurut dia, kedua ormas yang menaungi dua lembaga itu tak perlu diragukan lagi fokusnya dalam menggarap pendidikan.
"Bahkan mengisi ruang-ruang yang tidak mampu diisi oleh Kementerian Pendidikan. Sumbangsih mereka yang sedemikian besar ini harusnya diimbangi dengan
perhatian yang cukup," imbuh Hilmy.
Sebelumnya, Kemendikbud mengaku menghormati keputusan dua lembaga pendidikan dari dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia itu.
![]() |
"Kami menghormati setiap keputusan peserta program Organisasi Penggerak. Kemendikbud terus menjadi komunikasi dan koordinasi yang baik dengan seluruh pihak," kata Kepala Biro Humas dan Kerjasama Kemendikbud Evy Mulyani melalui keterangan tertulis, Rabu (22/7).
Terpisah, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menyinggung kasus kartu prakerja terkait polemik program Organisasi Penggerak. Sebab, kedua program tersebut dikaitkan dengan perusahaan.
"Kita lihat isu kartu prakerja Rp5,4 triliun buat siapa? Lalu ada isu pelatihan guru dikasih ke perusahaan juga," katanya melalui keterangan tertulis, Kamis (23/7).
Organisasi Penggerak sendiri merupakan program pelatihan guru yang melibatkan organisasi masyarakat bidang pendidikan. Ormas mengajukan proposal pelatihan untuk guru, kemudian Kemendikbud bakal menghibahkan dana.
Besaran dana yang diberikan bervariasi, mulai dari Rp1 miliar. Dua lembaga yang diduga CSR, yakni Tanoto Foundation dan Yayasan Putera Sampoerna, lolos dengan kategori gajah, dengan besaran dana hingga Rp20 miliar.
"Setelah kemarin marak guru yang protes karena tunjangannya disetop, sekarang anggaran gajah malah dikasih buat melatih guru, tapi melalui perusahaan besar. Ini ironi," cetus Fikri.
Ia menilai hal ini tak elok dilakukan mengingat pemerintah baru saja memotong anggaran tunjangan profesi guru. Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih mengedepankan kesejahteraan guru terlebih dahulu.
Tunjangan guru dipotong melalui Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2020 yang kemudian direvisi menjadi Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2020. Tunjangan guru profesi PNS daerah yang tadinya Rp53,8 triliun dipotong menjadi Rp50,8 triliun.
![]() |
Nihil Payung Hukum
Anggota Komisi X DPR RI Illiza Sa'aduddin Djamal mengatakan anggaran program Organisasi Penggerak belum dibahas dan disetujui DPR RI.
"Anggaran POP yang direncanakan sebesar Rp595 miliar per tahun di Komisi X masih berupa pagu indikatif. Jadi belum ada kesepakatan terkait hal tersebut, karena masih menunggu pembahasan di Badan Anggaran DPR RI," ungkapnya melalui keterangan tertulis.
Lebih lanjut, Illiza menilai program Organisasi Penggerak juga tidak memiliki payung hukum. Ini karena Komisi X DPR belum selesai membahas peta jalan pendidikan.
"Sehingga ketika peta jalan masih dalam tahap pembahasan, maka apapun program yang dijadikan sebagai pengejawantahan dari visi merdeka belajar yang realisasinya program menggunakan anggaran negara harus melalui pembahasan di Komisi X," lanjutnya.