Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta Gilbert Simanjuntak menilai kebijakan ganjil genap kendaraan bermotor yang kembali diberlakukan tidak tepat dilakukan tengah pandemi Covid-19.
Pasalnya, upaya mengurangi mobilitas tak akan efektif mengingat ada peraturan perusahaan yang mewajibkan untuk berkantor. Sementara, kendaraan umum pun lebih berisiko penyebaran Virus Corona.
"Peraturan ganjil genap di tengah pandemic Covid-19 yang semakin parah belakangan ini di Jakarta, terasa sangat tidak tepat karena menambah kesulitan masyarakat," kata dia dalam keterangan tertulis, Selasa (4/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau [ganjil genap diberlakukan] untuk mengurangi karyawan yang masuk, maka karyawan tetap akan masuk karena masalah peraturan kantor, dan risiko tertular karena transportasi umum lebih berisiko daripada kendaraan pribadi," imbuh dia.
Menurutnya, upaya mengatasi kemacetan dengan ganjil genap belum mendesak selama sekolah belum dibuka. Selain itu, membatasi penularan Covid-19 tidak cukup hanya dengan membatasi pergerakan atau dengan tes swab saja.
Gilbert menyebut perlu ada penerapan protokol kesehatan ketat dalam jangka panjang. Ia pun mendorong pengawasan pelaksanaan protokol kesehatan di lapangan dengan menurunkan aparatur sipil negara (ASN).
"Kebijakan [ganjil genap] ini terasa sangat tepat, tetapi menjadi sulit dilaksanakan oleh ASN DKI, karena Gubernur sendiri tidak memberi contoh turun mengawasi ke lapangan," kata dia.
Sistem ganjil genap kendaraan bermotor kembali diberlakukan di 25 ruas jalan protokol Ibu Kota mulai Senin (3/8), setelah ditiadakan sejak 16 Maret.
Dikutip dari akun instagram resminya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan kebijakan itu diambil karena berdasarkan indikator pandemi terjadi tren kenaikan kasus dalam beberapa minggu terakhir.
"Wabahnya belum usai, tapi mobilitas kembali normal, jika tidak kita rem maka resiko penularan wabah akan meningkat. Dengan kebijakan ini kami imbau masyarakat untuk melakukan perjalanan penting saja," kata dia.
Diketahui, sejumlah perusahaan tetap mewajibkan karyawannya untuk bekerja di kantor. Meskipun, kasus pada klaster perkantoran di DKI Jakarta makin bertambah.
(yoa/arh)