Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Kementerian Kesehatan meminta maaf kepada publik setelah mengeluarkan surat peringatan kepada jurnalis Narasi TV, Aqwam Fiazmi Hanifan, pemilik akun Twitter @aqfiazfan.
Koalisi menilai tindakan Kemenkes tersebut sebagai upaya awal kriminalisasi.
"Kami meminta Kementerian Kesehatan meminta maaf kepada publik karena telah melakukan upaya awal kriminalisasi terhadap kritik publik atas kinerja dari Menteri dan Kementerian Kesehatan," kata Koordinator KontraS Rivanlee yang juga anggota Koalisi Masyarakat Sipil dalam keterangan tertulisnya, Rabu (5/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemenkes sebelumnya melayangkan surat peringatan, lantaran Aqwam me-retweet unggahan media Al Jazeera, @AJEnglish disertai komentar yang dinilai menghina Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.
Aqwam diketahui memberi komentar atas informasi dari Al Jazeera soal kemampuan seekor anjing di Jerman yang mampu mendeteksi orang yang terinfeksi Covid-19 dengan tingkat akurasi mencapai 94 persen. Dalam unggahannya, Aqwam menulis 'Anjing ini lebih berguna ketimbang Menteri Kesehatan kita'.
Menurut koalisi, cuitan yang disampaikan Aqwam menyebutkan 'anjing ini', artinya mengacu pada 'seekor anjing di Jerman yang mampu mendeteksi orang yang terinfeksi Covid-19 dengan tingkat akurasi 94%, dan bukan anjing pada umumnya.
Karena itu, koalisi berpendapat, menyebutkan 'anjing ini' tidak sama dengan menyebut atau mengumpat 'anjing!'.
"Kami khawatir Kementerian Kesehatan tidak cukup jernih melihat konteks cuitan tersebut dan terfokus pada kebiasaan umpatan menggunakan kata 'anjing'. Padahal cuitan tersebut diulang dalam surat Kementerian Kesehatan sendiri," tuturnya.
Surat Kemenkes juga dianggap menunjukkan sikap antikritik. Menurut Koalisi, dalam masa sulit seperti Pandemi Covid-19 ini kritik sesungguhnya lebih diperlukan karena dapat memberikan info dan pengingat.
Selain mendesak Kemenkes meminta maaf, koalisi juga meminta Presiden Joko Widodo mengevaluasi kinerja Menkes yang dinilai tidak menunjukkan kinerja yang memuaskan, apalagi di tengah pandemi virus corona (Covid-19).
Koalisi menilai kritik yang disampaikan Aqwam juga dirasakan oleh sejumlah masyarakat lain. Dalam catatan koalisi, memang terdapat beberapa hal yang harus disorot dan dikritisi atas kinerja Terawan dan Kemenkes dalam memimpin situasi darurat kesehatan masyarakat.
Di antaranya yakni, mengenai jumlah orang yang sakit dan meninggal karena terinfeksi virus corona, pasien suspek dan probable yang meninggal mengindikasikan kegagalan pemerintah dalam mencegah penyebaran kasus, dan mempersiapkan layanan kesehatan penanganan Covid-19 secara serius serta menunjukkan rendahnya kemampuan Menteri Kesehatan Terawan dalam merespons pandemi.
Selain itu, koalisi juga menyoroti ihwal ketidakakuratan dan transparansi informasi dan data yang diberikan oleh Kemenkes yang memicu ketidaktepatan penanganan dan misinformasi di tengah masyarakat.
"Tidak kunjung dipenuhinya target jumlah tes berbasis RT-PCR sesuai dengan anjuran WHO 1 orang per 1.000 penduduk setiap minggu hingga bulan kelima masa pandemi di Indonesia merupakan bukti tidak piawainya Menteri Kesehatan Terawan dalam menangani pandemi di tanah air," jelas Rivan.
"Padahal jumlah tes ini sangat menentukan deteksi dan diagnosa dini kasus Covid-19 sehingga bisa dijadikan basis pengendalian dan penanganan Covid-19 yang efektif," lanjutnya.
Adapun anggota Koalisi Masyarakat Sipil di antaranya: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Asia Justice and Rights (AJAR), AMAR, Amnesty International Indonesia, Centre for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Dialoka, Human Rights Working Group (HRWG), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesia Corruption Watch (ICW), Imparsial, Jurnalis Bencana dan Krisis (JBK).
Kemudian Kios Ojo Keos, Koalisi Warga Lapor COVID-19, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lokataru, Migrant Care, Pandemictalks, Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Protection International,Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Reformasi KUHP.
Rumah Cemara, Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC), Transparency International Indonesia (TII), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), WatchDoc, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Yayasan Perlindungan Insani.
(ain/dmi/ain)