Pilkada Kota Surabaya melahirkan pertanyaan besar tentang hakikat partai politik. Apakah masih berperan melakukan pengkaderan untuk melahirkan kader baru menjadi kepala daerah atau tidak.
Di Pilkada Surabaya ada dua paslon atau empat orang yang akan berkontestasi, yakni dua calon wali kota dan dua calon wakil wali kota. Akan tetapi, hanya satu calon yang merupakan kader tulen partai politik yaitu Armuji.
Armuji adalah calon wakil wali kota mendampingi Eri Cahyadi. Eri memang kader PDIP, tapi baru saja menjadi anggota usai diusung menjadi calon wali kota. Sebelumnya, Eri adalah PNS di Pemkot Surabaya. Eri-Armuji diusung oleh PDIP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lawan mereka adalah Machfud Arifin-Mujiaman. Keduanya bukan anggota partai politik yang memakan waktu panjang pengkaderan.
Machfud Arifin adalah pensiunan perwira tinggi Polri. Pernah menjabat sebagai Kapolda Jawa Timur. Sementara Mujiaman Sukirno adalah Dirut Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Surabaya.
Machfud Arifin-Mujiaman diusung oleh koalisi besar delapan partai, yakni PKB, Demokrat, PKS, PAN, Gerindra, PPP, NasDem dan Golkar. Peran 8 partai tersebut jadi pertanyaan karena mengusung bukan kadernya.
![]() |
Pakar Politik Universitas Airlangga (Unair) Prof Kacung Marijan, menilai hal ini sebagai fenomena kemunduran partai politik dalam mencetak kader yang menonjol dari aspek elektabilitas dan popularitas, dibandingkan tokoh non partai.
"Menurut saya perlu partai-partai melakukan introspeksi," kata Kacung, kepada CNNIndonesia.com, Jumat (25/9).
Partai politik, menurutnya selama ini hanya terfokus untuk mencetak kader yang hanya kuat di internal partai semata. Akibatnya, kader tersebut kurang menonjol di tengah publik.
"Dalam melakukan kaderisasi partai seharusnya bukan hanya mendidik kadernya untuk memperkuat diri di internal, tapi dia juga harus dididik untuk jadi figur publik," ucapnya.
Partai, kata dia seharusnya juga harus mampu membuat kadernya menjadi politisi yang tangguh, berkualitas dan berintegritas. Misalnya melalui kursi-kursi legislatif, di DPRD tingkat 1 atau 2.
Hingga pada saatnya, partai sudah bisa memilih kadernya sendiri yang dianggap pantas untuk maju dalam kontestasi kepala daerah. Bukan malah mengusung tokoh di luar partai.
Jika hal itu tak dilakukan, ke depan kader-kader partai akan semakin tersingkir. Mereka akan hanya jadi juru administrasi agar roda organisasinya tetap berjalan. Sementara yang mengambil peran lebih besar justru tokoh non partai.
"Kalau tidak, kader partai itu hanya jadi urusan administrasi, itu bahaya, nanti hanya ngurusi organisasi. Sementara yang jadi pejabat publik malah bukan kader partai," kata dia.
![]() |
Tak hanya itu, jika partai tak segera melakukan evaluasi maka bukan tak mungkin partai akan hanya jadi perahu yang disewa bagi tokoh non partai, yang belum tentu memiliki nilai-nilai yang sama dengan partai tersebut.
"Kalau tidak partai hanya jadi administrasi untuk menyewakan perahu," ujar dia.
Kacung menilai dipilihnya kader nonpartai bisa juga ditafsirkan sebagai bentuk kompromi agar koalisi yang sudah terjalin tak pecah. Kader non partai menjadi opsi tengah di antara kepentingan masing-masing partai.
Sementara itu, menurut Pengamat politik Universitas Trunojoyo Madura, Surokim Abdussalam, mengatakan bahwa dalam politik kontemporer, kader partai tidaklah selalu menjadi pilihan partainya sendiri.
Kini, partai dan koalisi akan lebih memilih untuk mengusung tokoh-tokoh terbaik, misalnya seorang profesional atau praktisi yang memiliki pengalaman lebih.
"Mencari yang terbaik sumber rekrutmennya tidak selalu harus kader kan. Ada profesional ada sumber rekrutemen yang lain," kata dia.
Meski demikian partai memang lah memiliki beban dan kewajiban untuk menyiapkan, mendidik, membentuk kadernya agar memiliki daya saing.
Partai, kata dia, idealnya juga harus mampu mencetak kader yang bisa diandalkan. Bukan malah mengambil jalan instan, dengan mengusung tokoh di luar partai.
"Seharusnya memang tidak instan, mendadak, baru jadi kader ketika mau ikut kontes, itu kan jalan pintas. Harapannya tidak jalan pintas tapi juga melalui proses kaderisasi bertahap dan mapan, sehingga kualitasnya bisa jadi andalan," ujarnya.
Apalagi, kata Surokim, selama ini partai politik mendapatkan persepsi dan kepercayaan publik yang kurang bagus karena banyak faktor. Bisa karena tingginya kasus korupsi, politik dinasti dan lainnya.
Harusnya, kata dia, hal itu menjadi cambuk dan tantangan bagi partai politik untuk mencetak kader yang profesional dan berintegritas, agar citra dan persepsi publik membaik.
Salah satunya yakni dengan menghasilkan kader partai yang berhasil dalam memimpin daerah. Hal itu lama kelamaan akan mengikis persepsi negatif publik pada parpol.
"Banyak menghasilkan kader partai yang berhasil yang pemimpin daerah itu lama-lama akan mengikis pengetahuan publik tentang kader partai," ucapnya.